Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketika 'Krisis Moneter' Tahun 1998, Melanda .....

21 September 2011   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:46 1996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13096071791943036955

By Christie Damayanti

[caption id="attachment_136318" align="aligncenter" width="625" caption="regional.kompas.com"][/caption]

Krisis Moneter tahun 1998 ......

Kami tertegun. Proyek kami mau di 'demolish', mau dibubarkan! Padahal, proyek ini baru pemancangan pondasi. Bagaimana bisa? Ya, kami terkena dampak krisis moneter di Indonesia dan kami mengalami 'massal lay-off', bersama  sekitar 2000 lebih pegawai disana.

"Waduhhh ..... bakalan kami jadi pengangguran nih", aku membatin.

Dan 1 minggu kemudian kami harus ke kantor pusat, dimana kami bekerja, di salah satu perusahaan developer terkemuka di Jakarta. Kami mengambil gaji terkhir dan pesangon. Untung, kami masih mendapat pesangon yang layak. Aku waktu itu, aku sudah bekerja selama  5 tahun, jadi aku bisa mendapatkan pesangon yang  lumayan. Aku ingat, wakti itu aku berhitung, jika dalam waktu 1 tahun aku belum mendapatkan pekerjaan, alamat kami harus menjual asset kami ! Karena pesangonku hanya cukup selama 1 tahun, dengan 1 anak .....

Pertama aku bangun besok paginya setelah aku tidak bekerja, aku merasa aneh dan tiba2 sedih, walaupun aku tahu bahwa perusahaan memberikan kesejahteraan lewat pesangon selama 1 tahun, dimana banyak perusahaan yang tidak memberikan apa-apa. Aku mulai mencari tahu, apa yang aku kerjakan untuk menyambung hidup jika pesangonku sudah habis. Dunia konstruksi khususnya di Jakarta, semuanya 'habis' secara semua memang sudah habis di rusak, di bakar dan ditinggalkan investor. Beberapa proyekku di jarah, besi2 beton, semen2, aluminuim dan sebagai. Aku merasa, kehidupanku akan berubah drastis ......

Sekarang, apa yang aku bisa lakukan? Saat itu, aku bersama suamiku ( dulu ) memang juga membuat perusahaan kecil2an di bidang konsultan dan kontraktor. Tetapi seperti yg aku tulis di atas, dunia konstruksi hancur dan bidang usahaku tidak bisa berjalan, bahkan beberapa assetku di jarah di workshop kami. Berhari2 aku memikirkan kesempatan kerja apa untuk kami? Dan seakan kehidupan Jakarta mengalami 'mati suri', termasuk kami ......

Tukang2 kami ( di perusahaanku dan suamiku ) tidak mau pulang karena memang hubungan kami dekat. Kami menanamkan manajemen keluarga, dimana beberapa dari mereka bisa tidur di rumah kami atau tidur di workshop kami. Dan ketika penjarahan itu terjadi, mereka benar2 membuktikan kepada kami untuk menjaga kami, aku ex suami dan anakku yang baru berumur 2 tahun serta menjaga keluarga besarku dan ex suamiku di Jakarta, secara ex suami adalah ber-etnis Tiong Hoa, sangat mengerikan, ketika ada saudara kami di Tangerang hampir di perkosa dan manjarah apa yang ada .....

Tukang2 kami semua berasal dari Brebes, hanya sekitar 3-4 jam dari Jakarta mengendarai bis. Dan keluarga tukang2 itu biasanya bercocok tanam, mengikuti tuan tanah. Adalah seorang tukang, yang sudah lama ikut kami, sejak kami belum menikah, sekitar tahun 1990, ketika aku masih kuliah. Namanya Nur Ali. Istrinya mengikuti tuan tanah, menanam bawang mwrsh dan berternak bebek serta burung puyuh. Tanah majikannya cukup besar, dan biasanya bawang2 merah itu dijual ke tengkulak dengan harga rendah. Begitu juga telur2 bebeknya. Jika hanya sekedar dijual di pasar lokal atau menjual kepada turis lokal yg lewat dareah itu, hanya sedikit. Dan karena tanah si tuan tanah besar, pasti sebagian besar di jual ke tengkulak.

Tengkulak2 membeli bawang merah dari petani2 di Brebes dengan harga sangat murah dan dijual dengan harga tinggi di Jakarta.

Disitu, aku mulai melihat kesempatan. Bukan sebagai arsitek, tetapi sebagai pedagang. Kami mendatangi si tuan tanah, dan membeli sebagian besar panen bawang merahnya dan telur2 bebeknya. Aku pikir,

"Mungkin Tuhan mau menjadikan kami bisa mandiri dan untuk membuat kami dewasa".

Aku ingat, jika panen bawang merah, harga dari si tuan tanah di brandol sekitar Rp.6,500 / kg untuk per-100 kg ( 1 kwintal ) dalam keadaan basah. Aku juga ingat, aku mengambil sampai 10 kwintal. Dan telur bebek aku ambil Rp.700 / butir dan aku bisa mengambil sekitar 1000 telur. Aku sudah memikirkannya, jika aku tidak bisa menjual sendiri, aku mungkin akan 'kulakan' ke pasar induk di Cipinang.

Dengan menyewa truk, kami pulang membawa 10 kwintal bawang merah dan 1000 telur bebek yang belum diasinkan. Dan sampai dirumah, kamu beberes untuk membuat tempat menjemur bawang. Karena bawang merah laku jika dalam keadaan kering. Jika basah, konsumen sebagai pengguna terakhir ( end-user ) tidak mau, karena mereka harus menjemur ulang.

Petani bawang merah menuai panenannya.

Dulu, rumahku tidak seberapa besar, tetapi kami punya 2 rumah, berada 3 rumah dengan rumah kami. Disitulah biasanya kami menaruh barang2 asset kami dalam pekerjaan kami dan disitulah kami menjemur bawang merah kami. Berhari2 kami menjemurnya dan ketika sudah kering dan ditimbang, ternyata bawang merah kami dari 10 kwintal susut sekitar 10%. Aku mulai memikirkan harga jual bawang merah kami dan dimana kami akan 'melempar'nya .....

Bawang merah dijemur untuk mengasilkan bawang merah kering yang waktu itu berharga tinggi sekali. Dan bawang merah yang sudah kering, siap dijual.

Telur2 bebek kami ternyata beberapa busuk, mungkin sekitar 10% juga. Kami mengasinkan dengan arang. Kata orang, termasuk aku, semakin asin telur bebek sampai kuningnya berminyak, maka telur itu semakin enak. Jadi, aku menyimpannya lama, baru merebusnya, sampai sesaat sebelum dijual.

Telur bebek yang sedang diasinkan dengan arang.

Telur bebek matang yang sudah diasinkan. Jika hanya sedikit asin, telur kuning berwarna kuning pucat, tetapi jika telur kuning berwarna orange, tandanya rasanya sangat asin, dan memang lebih enak.

Dalam menunggu bawang merah kering, aku men-survey tempat untk melempar daganganku. Ke supermarket, ke pasar induk, ke teman2 dan sebagainya. Dan ternyata, semua supermarket, ataupun pasar induk sudah mempunyai vendor2 / pemasok sendiri2. Aku mulai cemas. Uangku sudah ada sebagai modal, masakan tidak kembali? Belum lagi untuk masa depan Lalu, mulailah aku mencari tempat untuk berjualan sendiri ......

Beberapa temanku membantuku untuk berjualan. Katanya, jika pagi hari, apa lagi hari Sabtu dan Minggu, di Istora Senayan, kita dapat berjualan disana. Aku men-surveynya. Dan ternyata memang banyak sekali pedagang2 disana. Mulai dari pedagang2 asli, pegadang2 asongan sampai pedagang2 musiman ibu2 rumah tangga serta mahasiswa. Juga mulai dari berdagang baju, sepatu, buah, bahkan makanan. Aku menyusuri Istora Senayan dan aku belum mendapatkan pedagang bawang merah dan telur asin. Pikirku,

" Inilah saatnya aku berjualan",

walau sebersit rasa malu dan tidakercaya diri ..... ya, jujur, aku sangat tidak percaya diri, walau bukan karena gengsi tetapi sangat berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya sebagai 'kuli proyek' .....

Di rumah, aku dengan pembantuku, berjalan ke pasar untuk mensurvey harga bawang merah. Secara waktu itu, semua harga bahan dasar makanan melonjak drastis. Dan ternyata benar! Harga bawang merah kering di pasar sekitar Rp.12.000 / kg, sampai Rp.15.000 / kg ( biasanya sekitar Rp.4.000 / kg ). Dan harga telur asin matang antara Rp.1.000 / butir mentah dan Rp.1.200 / butir matang. Dan ketika mendengar harga seperti itu, aku mulai sangat bersemangat untuk berjualan bawang metah dan telur asin. Jam 5 pagi hari berikutnya, aku sudah berangkat menuju Istora Senayan. Memang disana banyak orang berjualan karena banyak yang olah raga pagi. Aku mencari tempat yang nyaman dan aku didatangi petugas berseragam untuk membayar uang sewa lapak, kalau tidak salah sekitar Rp.3.000 saja selama berjualan. Aku dibantu supirku, menggelar plastik biru untuk daganganku dan kami menggelar tikar untuk dudukku. Kami mempersiapkan timbangan dan plastik2 untuk membawa barang jika mereka membeli daganganku. Begitu kami selesai membereskannya, aku duduk memperhatikan orang2 berlari2 pagi dan beberapa melihat2 barang2 dagangan yang ada.

Aku bersebelahan dengan pedagang buah di sebelah kiri dan pedagang makanan kecil di sebelah kananku, dan merekalah yang selalu membantuku ,karena mereka memang pedagang asli. Jika siang sampai malam, mereka berjualan di pasar, tidak seperti aku. Mereka adalah seorang bapak tua pedagang buah dan seorang ibu separuh baya pedagang makanan kecil. Pertama kali, aku sangat tidak percaya diri. Orang2 berlalu lalang memperhatikan kami, termasuk aku, dan mungkin mereka melihat aku, sebagai pedagang bawang merah dan telur asin dan sepertinya mereka tidak percaya .....

"Berapa mba, bawang merahnya?", seorang ibu bertanya.

"Tiga belas ribu per kilo, bu", aku menjawab. Dadaku berdegub keras,

"Pembeli pertama", pikirku. Ibu itu tidak menawar, mungkin memang harga itu di Senayan, murah.

"Minta 4 kilo, mba" .....

Aku semangat menimbang dan membungkus bawang merah untuk ibu itu. Ketika ibu itu membayar untuk daganganku, mataku merebak merah. Aku terharu, sungguh aku teringat  betul. Ini pertama aku berjualan untuk menyambung hidupku setelah di pecat karena krismon.

Telur asinku pun demikian. Ternyata banyak orang suka telur asin. Dengan membeli kopi, mereka memakan telur asinku untuk teman kopi pagi setelah olahraga. Satu orang bisa sampai memakan 2 telur, biasanya lelaki. Katanya, untuk menambah daya tahan! Hehehe ..... aku tidak tahu sama sekali soal itu.

Dan sekitar 2 minggu, daganganku mulai menipis. Kami gembira karena ternyata usaha kami berhasil. Sebelum habis, kami membeli bawang merah dan telur asin lagi ke Brebes dan kami mengulangi tahapan2 seperti sebelunya .....

Berkali2 kami mengulanginya dan dengan cepat tabunganku bertambah. Kami mulai memikirkan untuk banting setir, dari kuli proyek ke pedagang bawang merah dan telur asin eceran. Dan mulailah aku bernegosiasi dengan pemilik tanah majikan istri ex tukangku di Brebes. Dia memodali tanah, benih, pupuk dan pekerja, kami membeli lebih mahal dari tengkulak asal kami bisa langsung untuk berhubungan jika kami membutuhkannya. Cara itu kami anggap berhasil dan kami bekerja sama untuk bulan2 berikutnya pada masa panen ini.

Hampir satu tahun kami menjalankan usaha ini dan dengan modal sabagian pesangonku, tabunganku bertambah dengan cepat. Kami mulai memikirkan usaha ini setelah ada seseorang yang menawarkan kerja sama berdagang bawang merah ke Singapore. Kami mulai hitung2an dan bolak balik kami ke Brebes untuk mencari tanah menanam bawang merah sendiri.

Ketika kami sesaat sebelum menanda-tangani penyewaan tanah di Brebes, si tuan tanah yg tanahnya sekitar 1 km dari tanah yang mau kami sewa, menceritakan, akhir panen itu bawang merahnya di jarah ....... astaga ..... ternyata penjarahan sudah sampai Brebes ..... kami tidak jadi menandatangani sewa tanah untuk menanam bawang merah. Kami takut, kejadian di Jakarta terulang lagi, kerusuhan sebagian berawal dari SARA .....

Begitu kami di rumah, aku mulai bingung lagi untuk bagaimana kami bisa kerja, karena takut tentang penjarahan.

"Terima kasih, Tuhan, Engkau sudah memberikan waktu untuk berusaha dan memberitahukan bahwa mungkin akan ada penjarahan lagi, tanpa kami bisa memahaminya ....".

Dan beberapa hari setelah itu, Brebes di landa cemas karena panenan bawang merah benar2 terjarah sampai habis2an karena memang waktu itu bawang merah termasuk barang dagangan berharga mahal selain cabe merah.

Kami sempat terpukul. Tetapi - luar biasa Tuhan - tiba2 kami dikontak seseorang yang ingin membuat rumah mewah beserta interiornya, karena rumahnya dibakar saai habis ketika kerusuhan !!!

Ya ampun ...... ternyata  masih ada orang kaya yang ingin membuat rumah disaat Jakarta 'berhenti' berkonstruksi. Puji Tuhan ...... Dan itulah awal mula kami mulai lagi bekerja sebagai arsitek ... dan hidupku ternyata tidak sampai berubah. Kami tetap bisa hidup dengan baik tanpa mengurangi kualitas hidup kita dan anakku tidak sampai menangis minta susu .....

Terima kasih, Tuhan ...... karena kami percaya bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan pada kami, tetapi pasti Tuhan merencanakan masa depan kami, sungguh luar biasa ......

Salamku ......

............

...........

Profil | Tulisan Lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun