By Christie Damayanti
[caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="www.lintasme.com"][/caption]
Pemukiman bantaran sungai-pun sudah menjadi bangunan semi-permanen, dengan memakai material keras, bukan hanya material ayu atau tripleks dan 'gedeg' ...
***
Mendengar kata 'Kampung Melayu' pikiran kita pasti langsung menuju kata 'BANJIR'. Benar, tidak?
Kampung Melayu adalah kawasan di Jakarta Timur, berdekatan dengan tempat tinggalku di Tebet. Dan karean Kampung Melayu merupakan tetangga dengan Tebet, setiap saat aku selalu berada di kawasan itu untuk berbagai hal.
Yang pasti, jembatan layang Kampung Melayu adalah tempat berputarnya mobilku dari arah jalan Casablanca untuk menuju ke komplek perumahanku. Atau juha Kampung Melayu adalah tempat lintasan sekolah anak2ku yang berada di Jatinegara dan di Cipinang. Sehingga minimal tiap pagi dan sore kami selalu melintasi Kampung Melayu untuk berkegiatan ...
Kawasan Kampung Melayu memang berbeda dengan kawasan2 di Jakarta. Kata orang, kawasan ini memang mendapat julukan 'kawasan slump', karena sebagian besar kawasan ini merupakan daerah pemukiman padat (sekali), dimana sebenarnya Kampung Melayu dilalui oleh Sungai Ciliwung dan DAS (daerah aliran sungai  nya merupakan pemukiman bantaran sungai.
Sebenarnya DAS tidak diperuntukkan sebagai dareah pemukiman tetapi karena penduduk kota Jakarta yang sngat padat, membuat warga kota lebih memilih tinggal di bantaran sungai ketimbang 'pulang kampung' untuk membangun desanya.
Ketika aku masih kecil, aku sudah tinggal di rumah orang tuaku yang sekarang ini di Tebet. Mlai tahun 1972 dan tahun 1974 aku bersekolah di sebuah TK di Salemba, lagi2 selalu melewat Kampung Melayu.
Waktu itu jalanan disana sangat2 kecil. Hanya masuk untuk 2 mobil tetapi itu sangat pas, karena di sebelah kanan dan kirinya (yang sekarang berubah menjadi ruko2) adalah Pasar Kampung Melayu. Jalanannya becek sekali. Dan jujur, aku malas lewat sana karena terlihat sangat kotor dan sumpek! Sehingga jika waktunya tidak terlalu kepepet, kami pasti memutar lewat Cawang atau Bukit Duri.
***
Dijaman sekarang dimana 'global warming' membuat perubahan iklim menjadikan Kampung Melayu, yang merupakan perkampungan multi-etnik ( alah satu hasil dari arus urbanisasi) tergolong sangat memprihatinkan. Terkait masalah lingkungan yang membuat Kampung Melayu rentan khususnya dalam menghadapi banjir.
Kondisi kawasan Kampung Melayu yang tidak terawat (jika kawasannya saja tidak terawat, apalagi pemukiman dan lingkungannya?) serta di bagian ruko2 yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung, banyak bangunan2 yang ditinggalkan penghuninya,serta toko2 yang bangkrut karena sering dilanda banjir, menjadikan Kampung Melayu memang merupakan kawasan yang terus 'menurun' dari waktu ke waktu.
Sebenarnya, jika mereka masih ingin tinggal di Kampung Meayu, paling tidak mereka harus membangun sebuah lingkungan yang lebih baik. Pemukiman di bantaran sungai harus tidak ada lagi, terkait dimanapun jika tinggal di bantaran sungai, PASTI AKAN TERUS MENGALAMI BANJIR! ( wong tinggal di sungai, koq! ).
Saat ini, warga yang tinggal di Kampun Melayu masih seputar tindakan responsif, untuk berjaga2 dengan 'banjir kiriman' dari Bogor. Mereka sekarang ini, mulai meninggikan rumah2 mereka dan membangun tanggul2 darurat. Tetapi itu sangat bersifat sementara.
Semisal meninggikan rumah2 jika tidak dibarengi dengan peraturan2, semuanya tidak ada gunanya, malah hanya buang2 saja! DAS Sungai Ciliwung harus merupakan tempat yang aman sebagai daerah resapan dan pengaman dari air sungai (termasuk banjir kiriman). Tetapi jika mereka ngotot tinggal di DAS atau bantaran sungai, bagaimana tidak banjir lagi? Alur alamiahnya saja dilanggar .....
[caption id="" align="aligncenter" width="456" caption="www.tribunnews.com"]
Coba lihat foto diatas, Sungai Ciliwung benar2 'mepet' dengan pemukiman penduduk, bagaimana tidak banjir? Dengan adanya DAS,memungkinkan air dari sungai akan meresap ke dalam tanah, sehingga pemulikan yang SEHARUSNYA berjarak MINIMAL ½ DARI LEBAR SUNGAI di kanan dan kiri sungai, akan selamat dari banjir ......
***
Dalam membangun kawasan Kampung Melayu ini, bukan hanya berupa fisik dan materianya saja, tetapi justru kita perlu dan harus memangun kepedulian warga, sosial-masyarakat dengan konsep2 yang menggunakan kekuatan lokal bersumber pada manusianya ( SDM ) dan semua lapisan masyarakatnya di sana.
Itupun pasti membutuhkan waktu yang lama. Karena kepedulian itu harus ditanamkan sejak kecil. Masing2 keluarga harus membangun kapasitas hidupnya untuk lebih baik. Memang tidak gampang. Pendekatannya harus fleksibel, apalagi hampir semua warga disana merupakan kaum marjinal, dimana kita harus memberikan keseimbangan sosial dengan pendekatan2 komunitas untuk menghindarkan konflik2 kepentingan.
Di sisi fisik kawasan Kampung Melayu ini, ternyata Pemprov Jakarta sudah menyiapkan konsep2 kampung deret di lokasi2 padat penduduknya, dimana diharapkan mereka yang sekarang tinggal di bandataran sungai, mau menempati rumah barunya. Konsep kampung deret pun harus dibangun sedemikian untuk menhindari banjir, baik karena banjir lokal ataupun kiriman. Pemda harus meneliti banyak hal, untuk membangun kampung deret ataupun kampung vertikal, seperti yang aku tuliskan di 'Rusun Kampung Deret' : Konsep Menarik bagi Jakarta, Tetapi .....
Bahwa untuk membangun kampung deret atau kampung vertikal atau kampung2 yang lainnya itu sangat baik, TETAPI tetap harus dipikirkan dampak2nya sesuai dengan yang aku tuliskan di link diatas. Bahwa INFRA-STRUKTUR nya harus juga dibenahi serta membangun penyerapan segera!
Tetapi dari berita2 yang dilansir di banyak media dikatakan bahwa konsep kampung deret susun dipastikan akan terlaksana di 100 kampung kumuh di Jakarta, dan akan memakan waktu sekitar 8,5 bulan (?).
Delapan setengah bulan? Ga, salah?
Ok, semuanya memang harus secepatnya dikerjakan, tetapi ketika aku sudah malang melintang di dunia konstruksi lebih dari 20 tahun, aku mengerti dan sangat tahu bahwa untuk membangun bangunan yang cukup baik, apalagi bangunan bagi masyarakat luas, tidak cukup sekedar 'membangun' saja. Karena jika benar2 8,5 bulan selesai,aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kualitasnya. Yang ada, semuanya akan sebentar saja mereka merasakan nikmatnya tinggal di kampung deret .....
Belum lagi faktor2 iklim yang aku jabarkan diatas. Dengan bangunan dan material2 sesuai dengan 8,5 bulan, yang pastinya merupakan 'bangunan murah', membuat kampung deret hanya sekedar 'simbolis' saja untuk menjadikannya 'sesuatu' bagi Jakarta.
Kembali lagi tentang Kampung Melayu. Sekarang jika aku melewati Kampung Melayu untuk memutar balik menuju kompleks rumahku, aku melihat tanggulan2 darurat dari karung2 yang di isi 'sesuatu' untuk merembeskan air. Lalu aku berpikir,
"Lha, mereka sangat 'pandai' untuk membuat tanggula darurat dengan karung2 yang diisi oleh 'sesuatu' ( mungkin sampah dari got, mungkin tanah, karena aku pernah melihat mereka membuang sampah dari got di depan rumah mereka ke dalam karung ) untuk meresapkan air, tetapi mengapa mereka sangat 'bodoh' untuk menutup tanah yang seharusnya menjadi penyerapan ??"
***
Pagi ini, Kampung Melayu sedang kebanjiran karena banjir kiriman dari Bogor. Akankah mereka mulai berpikir tentang keinginan sebuah kawasan yang nyaman untuk ditinggali? Ataukah mereka tetapi tidak peduli dengan lingkungannya, dan tidak peduli untuk tetap tinggal di bantaran sungai, walau taruhannya adalah kebanjiran setiap saat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H