Mohon tunggu...
Christie Stephanie
Christie Stephanie Mohon Tunggu... -

Siswi kelas 9A SMP Tunas Harapan Nusantara. Remaja labil yang berpikiran pendek dan menganggap menulis adalah bagian hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kursus Bahasa Berujung Sejarah

8 September 2013   20:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:10 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mending dikejer cowok, dikejer hansip atau satpam, dan dikejer temen waktu main polisi maling di kompleks, dibanding harus dikejer anjing di kompleks rumah orang. Tips. Jangan lari kalau ada anjing!"


Mira, gadis kecil berusia 10 tahun yang masih berstatuskan siswi SD kelas 5. Perawakannya tinggi 'semampai' dan kurus tinggal tulang saja. Matanya sipit, mirip lubang celengan saja, apalagi ketika tertawa. Rambut hitamnya yang tidak pendek dan tidak terlalu panjang menambah penampilannya yang biasa saja.

Bertempat tinggal di Kota Bekasi, Mira memilih untuk bersekolah di SD Tunas Harapan yang berada di kawasan Kota Harapan Indah. Mira banyak mengikuti kegiatan kursus untuk menunjang nilainya dibidang akademik. Secara, otaknya standar dan biasa saja. Teman Mira di rumah, sekolah, maupun tempat les bisa dikatakan cukup banyak.

Pada suatu sore yang menurut Mira dan semua orang biasa saja, tentu dengan langit yang masih biru cerah dengan awan tipis dan angin hangat yang terus menyapu atmosfer, sore ini terasa biasa. Apalagi dengan kegiatan sehari-hari Mira, kursus. Hari Rabu. Berarti saatnya Mira dan salah satu temannya yang akrab, Vivi, kursus bahasa mandarin bersama. Tempat kursus mereka berlokasi di daerah Bulevar Hijau. Tidak jauh.

Setibanya mereka di tempat kursus, kegiatan belajar mengajar berjalan dengan lancar, masih biasa. Sampai saatnya mereka selesai belajar. "Mama lo udah jemput belom?" Vivi menoleh ke arah Mira, melontarkan pertanyaannya.

"Belom nih," Mira menanggapi dengan singkat. Jujur, dia juga sudah bosan menunggu ibunya yang belum datang menjemput. Entah ibunya yang telat menjemput atau mereka yang selesai terlalu awal. Terlintas satu ide diotaknya. Seharusnya sih menguntungkan dua pihak, mutualisme. "Mau main dulu?"

Vivi melihat wajah Mira lekat-lekat. "Yakin? Lo tau jalan di sekitar sini?"

"Ngeremehin? Tau lah, gue kan keren!" Mira menyeringai di kata-kata pertama dan mengakhiri tanggapannya dengan tawanya yang khas, kata orang-orang ketawanya terkesan memaksa.

"Oke deh, boleh juga, daripada bosen banget di sini,"Vivi setuju juga akhirnya. Setelah izin pada guru kursus yang adalah seorang lansia sebenarnya, mereka beranjak keluar dari tempat kursus mereka yang sebenarnya rumah biasa yang dijadikan tempat mengajar. Mereka berjalan santai, dari gang ke gang satunya lagi, melintasi rumah-rumah warga kompleks. Sampai tiba di suatu gang yang nampak sepi sore itu. Di suatu rumah yang memelihara anjing-anjing yang ukurannya tidak bisa dibilang kecil.

Bodoh oh bodohnya mereka, Vivi dan Mira berlari sambil berteriak ketakutan. Refleks saja salah satu anjing yang tak terantai mengejar mereka sambil berlari dan menggonggong dengan keras. Heran juga, tak ada satu pun warga yang keluar dari kediaman mereka. Mereka berlari melintasi gang lainnya. Beruntung, Vivi menemukan celah untuk kembali ke tempat kursus. Vivi kembali terlebih dahulu. Mira yang polos tetap berlari seperti orang bodoh. Untung tak sedang sial, kalau sedang tak beruntung, mungkin sudah terjatuh saking cerobohnya dia.

Dia tetap berlari. Dengan wajah yang mulai pucat pasi karena lelah, dia baru menyadari kalau Vivi tak lagi bersamanya. Dalam hati dia merutuki kepergian Vivi yang dia sendiri tak ketahui kapan. 'Cih, sendirian lagi gue sekarang,' Mira berdecih dalam hati. Merutuki kesialannya sore ini.

Dia memasukki satu gang sepi. Karena sudah tak ada Vivi, sudah tak perlu jaim lagi kan? Yang penting selamat sekarang, gengsi dinomor-sekiankan saja. Ide bodoh menumpang lewat di pikirannya. Dia menoleh ke belakang, mendapati sang anjing yang sepertinya agak jauh darinya. Segera saja dia mengambil kesempatan untuk memanjat pagar rumah salah satu warga dan berteriak minta tolong dengan ekspresi hampir menangis. Rasanya dia belum mau rabies atau terluka digigit anjing.

Beruntung lagi, warga rumah itu keluar dengan wajah ramah dan mulai menasihati Mira. "Jangan lari, pantes kamu dikejar, kamu lari," orang itu menasihati Mira dengan tenangnya. Mira hanya manggut-manggut mengerti. Dia sudah terlalu lelah untuk berkata apa-apa lagi. Anjing itu entah lelah menunggu Mira turun atau apa, anjing itu berlari kembali ke rumah sang majikan. Mira mula turun dan berterimakasih pada orang itu.

Mira berjalan kembali ke rumah sang guru les. Didapatinya Vivi sedang tertawa terbahak-bahak melihat Mira berjalan kembali dengan wajah kelelahan. Mira ingin menangis, marah, perasaannya kesal dan juga malu, namun dia memilih untuk tertawa. Lucu juga rasanya membayangkan perasaan dikejar-kejar anjing tadi.

"Gimana Mir?" tanya Vivi sambil menyeringai penuh kemenangan.

"Dasar lo, gak setia kawan," Mira hanya memasang tampang pura-pura marah lalu tertawa. Mereka sama-sama tahu itu hanya candaan. Amosfer rasanya sangat ringan. Menyenangkan rasanya, pengalaman yang menjadi sejarah dan pelajaran tersendiri, jangan berlari saat ada anjing. Mereka tertawa lepas, yang lama-kelamaan hilang tersapu angin senja.

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun