Permintaan maaf dari sekuriti mall tersebut membuka banyak mata orang terbuka bahwa sebuah video viral selalu luput dari pengabaian fakta yang sebetulnya. Bak nasi sudah menjadi bubur, video tersebut sudah beredar dan menimbulkan kerugian untuk seseorang. Dari peristiwa ini tergambar jelas bahwa setiap orang ingin viral namun selalu mengabaikan fakta yang sebetulnya menjadi dasar dari semua peristiswa. Hal itu mengabaikan sisi lainnya yang ternyata berimbas besar merugikan orang lain.
Dalam hal ini menjadi viral menggambarkan bagaimana seseorang ingin mencari perhatian. Berbasis dasar ingin memviralkan aksi kekerasan pada hewan, malah merusak keadilan untuk manusia. Meski terlihat kompleks, hal itu memang sering ditemukan oleh sebagian orang yang menggunakan berbagai cara agar viral. Misalnya dengan cara-cara yang menghadirkan negatif sampai hujatan dari netizen terhadap sekurit tersebut. Namun semata-mata itu karena ingin mendapatkan ketenaran serta perhatian.
Media sosial sendiri menjadi sebuah platform yang hadir secara bebas. Maksudnya setiap penggunanya secara bebas mengekspresikan diri dengan mengunggah berbagai konten sesuai keingiannya. Meski begitu, sebagai pengguna kita juga perlu mengetahui semua informasi di media sosial tidak ada gathkeeper yang menanaunginya. Oleh karenanya, seruan fakta bisa saja dikemas dengan segitunya, padahal abai dengan berbagai sisi lainnya yang menyelimuti sebuah kejadian.
Untuk itu, sebagai pengguna media sosial, bijaklah dalam memilah informasi. Viral boleh untuk mencapai berbagai tujuan utama sifat dasar manusia seperti menurut psikolog. Namun, dalam pembuatan konten haruslah tetap menjaga marwah fakta. Dengan demikian bukan hanya ingin dipuji, sebuah konten yang ingin menjadi viral tetaplah terus memegang prinsip mengedukasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H