Problema  kedua dalam Pendidikan Indonesia adalah mengatasi dan memberantas guru radikal anti Pancasila. Berdasarkan survey terpercaya,  lebih dari  50% guru muslim ternyata penganut paham radikal dan anti Pancasila. Karena itulah,  guru-guru radikal Anti Pancasila harus ditegur dan dipecat. Terlalu  besar risiko membiarkan guru -guru "sakit" leluasa merusak jiwa jutaan generasi muda Indonesia.Â
Problema ketiga adalah Pemerintah belum terbuka mendukung Komunitas Orangtua sebagai Guru Utama, yang siap mengajar anak-anaknya langsung. Komunitas itu dikenal dengan Homeschooling.  Padahal sejak 2017 PGRI, organisasi guru terbesar Indonesia sudah menyadari fenomena keberhasilan homeschooling tunggal maupun homeschooling komunitas di  Indonesia dengan mendirikan Asosiasi Pendidik dan Homeschooling APHI PGRI.Â
Problema keempat adalah penggunaan dana pendidikan Indonesia yang tidak tepat sasaran. Dana berlimpah tetapi hasilnya zonk. Alokasi Dana Pendidikan sama sekali tidak meningkatkan kualitas pendidikan jutaan siswa di 514 kabupaten kota. Faktanya peringkat kualitas pendidikan Indonesia terbawah di dunia. Literasi Bahasa dan Matematika peringkat 72  dan  Sains  di peringkat 70 dari 78 negara peserta Programme for International Student Assessment PISA . Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.
Ternyata alokasi  dana Pendidikan tahun 2020 senilai Rp 549,5  trilyun dihabiskan banyak sekali untuk gaji belasan ribu pegawai Kemdikbud + Dinas Pendidikan Provinsi sampai Kecamatan + jutaan  guru PNS dan honor guru dan PPPK. Â
Dana Pendidikan juga digunakan untuk renovasi gedung-gedung sekolah bahkan membangun gedung gedung sekolah di tempat terpencil (tanpa kepastian siapa guru berkualitas yang mau mengajar di sana).Â
Bahkan Dana Pendidikan berlimpah disiasati untuk proyek Organisasi Penggerak, yang sarat kepentingan,akhirnya dibatalkan. Masih ingat dengan 'prestasi'  Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang rajin sekali  mark-up anggaran, termasuk  Rp 82,8 milyar untuk membeli lem aibon.
Padahal amanat UUD 45 untuk Pendidikan adalah Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, terutama generasi muda usia sekolah. Pertanyaan kita apakah alokasi dana pendidikan APBN 2020 sudah tepat sasaran?  Kemdikbud menjawabnya  dengan 5 strategi baru :
- Kepala Sekolah dipilih dari guru-guru terbaik
- Mencetak guru generasi "baru" (dengan cara Kemendikbud membiayai  10.000 sekolah penggerak yang akan menjadi pusat pelatihan guru dan katalis bagi transformasi sekolah-sekolah lain).
- Menyederhanakan Kurikulum
- Asesmen Kompetensi Minimum AKM Â sebagai pengganti Ujian Nasional. (Mulai 2021 AKM digunakan untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa, dua kompetensi inti yang menjadi fokus tes internasional seperti PISA)
- Platform teknologi pendidikan berbasis mobile  (Pembuatan platform teknologi dengan mendorong ratusan Organisasi Penggerak mendampingi guru-guru di Sekolah Penggerak)
Jika kita amati dari 5 grand desain Mas Menteri --yang cuma dua tahun sekolah di Indonesia, selebihnya di luar ngeri--  masih berorientasi pada guru, tidak langsung menyentuh  jutaan siswa. Â
- Asumsi Kemdikbud adalah : untuk mencerdaskan siswa harus melalui guru (sekolah formal).
- Jadi prioritas Dana Pendidikan untuk pelatihan jutaan guru secara online dan offline selama bertahun-tahun (karena tidak cukup sekali pelatihan, harus berpuluh-puluh kali yang jelas menghabiskan Dana Pendidikan). Setelah guru-guru terlatih,  mereka pasti bisa  mencerdaskan semua siswanya.Â
- Padahal siapa yang bisa menjamin kalau  gurunya cerdas maka dia mampu otomatis mencerdaskan semua muridnya.
Apakah Strategi Kementerian berdasarkan  asumsi belaka? Karena di lapangan  berbeda. Kalau guru bagus maka semestinya semua (bukan beberapa) muridnya bagus. Â
Satu bukti lagi,  selama pandemi ini,  mayoritas  murid sekolah formal (dan orangtuanya)  mengeluhkan kinerja para guru. Guru yang dimaksud bukan hanya guru junior, guru honorer, tetapi guru senior, guru berakreditasi ini itu, singkatnya guru guru berkompeten dan berpengalaman. Kenyatannya,  guru guru itu dikeluhkan karena kurang kreatif membuat murid-muridnya makin malas dan tertekan.