Sebagai seorang jurnalis, kita dipercayai oleh masyarakat untuk mewakili orang-orang agar dapat menulis dan menyebarkan berita melalui media.
Kepercayaan ini harus dapat jurnalis pegang melalui kode etik jurnalistik yang berlaku untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh berita yang benar.
Maka mulai dari penulisan judul, hingga isi tulisan, harus dapat diverifikasi secara tepat dan akurat.
Lantas bagaimana dengan penulisan judul clickbait yang banyak beredar di media?
Melalui tulisan ini, Oliva Lewi Pramesti selaku dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta, anggota komunitas Jaringan Pegiat Literasi Digital, dan juga peneliti dan akademisi di bidang jurnalisme dan media, membagikan pandangannya terhadap berita dengan judul-judul clickbait yang banyak beredar.
Apa itu Jurnalis?
Jurnalis merupakan seseorang yang bertugas dan bertanggung jawab atas berita yang dibuat dan disebarkan kepada pembaca melalui media.
Menurut KBBI online, jurnalis diartikan sebagai orang yang bekerja dalam mengumpulkan dan menulis berita di berbagai media.
Jadi, tidak hanya di media cetak seperti koran saja, melainkan juga dapat pada media digital, seperti artikel pada portal berita online.
Seorang jurnalis dapat dikatakan sebagai perwakilan dari suara masyarakat terdapat suatu fenomena yang terjadi.
Maka dari itu, seorang jurnalis harus dapat bertanggung jawab dalam berita apa yang sedang dikerjakannya.
Apa itu Judul Clickbait?
Judul clickbait merupakan judul yang menarik perhatian dan pikiran pembaca dalam mengklik berita. Pada mulanya, judul clickbait sudah ada sejak tahun 1800an di Amerika Serikat, dengan nama Jurnalisme Tabloid.
Clickbait merupakan cabang baru dari jurnalisme tabloid atau jurnalisme kuning. Jurnalisme Tabloid identik dengan isi yang berkaitan dengan drama atau sensasi yang mengundang pembaca, seksualitas dan rumor mistis.
Kemudian setelah berkembangnya teknologi dan internet, judul-judul clickbait saat ini bisa kita temukan di internet.
Pramesti, O L (2019) dalam Zaenudin mengatakan bahwa clickbait diartikan sebagai fenomena pada media online karena mendewa-dewakan page view atau banyaknya klik yang masuk pada satu link.
Zaenudin mengatakan bahwa media online memiliki perbedaan dengan media konvensional, salah satunya ialah keterbacaan artikel. Semakin banyak pengguna yang membaca satu artikel, maka akan semakin banyak juga page view pada sebuah media.
Banyaknya page view ini akan berpengaruh pada munculnya iklan pada laman, maka page view ini sangat diharapkan atau dinanti-nanti media online.
Pramesti, O L (2019) dalam Chakraborty dkk mengatakan bahwa suatu judul, dapat disebut sebagai judul clickbait jika memiliki karakteristik seperti,
jumlah kata yang lebih dari 10, judul berita memiliki anak kalimat yang panjang, judul memiliki kata dan tanda baca yang menghebohkan seperti 'wow', 'astaga', 'ckck', 'yuk',  '!!!!', '!?', '***', dan lain-lain.
Pramesti, O L (2019) dalam Chakraborty dkk mengatakan bahwa judul clickbait menindas sisi kognitif manusia atau curios gap dengan menampilkan judul atau headline yang menimbulkan keinginan untuk mengklik suatu link.
Jika link yang sudah di klik memiliki isi berita yang tidak sesuai dengan harapan pembaca, maka akan menimbulkan rasa kecewa terhadap bacaan.
Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik dibentuk guna menjamin kemerdekaan pers serta memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang akurat.
Seorang jurnalis atau wartawan perlu landasan moral dan juga etika dalam mengerjakan pekerjaannya sebagai pedoman dalam menjaga rasa percaya terhadap public dan menegakkan integritas tinggi dalam kerja yang professional.
Lantas seperti apa bentuk kode etik yang dimiliki seorang jurnalis atau wartawan? Kode Etik Jurnalistik berisi11 pasal yang merupakan bagian dari revisi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang memuat 9 pasal.
Melalui 11 Pasal ini, yang menjadi pasal penting pastilah semuanya, namun yang utama yaitu pemberitaan pers harus cover both sides, tidak boleh menyiarkan berita bohong dan berita yang menyebabkan konflik antar golongan atau agama.
Hal seperti ini ditujukan agar menjaga rasa kepercayaan publik terhadap seluruh pihak dalam pers yang menyebarkan berita.
Apa Kata Peneliti dan Akademisi di Bidang Jurnalisme dan Media?
Melalui channel YouTube Siberkreasi dengan judul "Judul berita clicbait, bolehkah langsung diklik? ft. Olivia Lewi Pramesti, S.Sos., M.A." melakukan ngobrol-ngobrol bersama Olivia Lewi Pramesti selaku
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyarakarta, peneliti dan akademisi di bidang jurnalisme dan media, anggota komunitas Jaringan Pegiat Literasi Digital, dan juga merupakan bagian dari aliansi jurnalis independen bersama media kediripedia.com.
Beliau melihat fenomena ini merupakan fenomena yang sebenarnya sudah pernah terjadi di Indonesia pada media cetak dengan nama koran kuning.
Koran kuning ini memiliki judul dan isi berita yang mengarah vulgar, melebih-lebihkan, dan terdapat unsur sadis. Hal ini bisa dilihat melalui penelitian yang
dilakukan oleh Awaluddin Yusuf (dalam Rahmitasari, 2013) yang meneliti headline pada 4 surat kabar yang ada di Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Tengah, yaitu Pos Kota, Lampu Merah, Merapi, dan Meteor.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ke-4 surat kabar ini menggunakan bahasa yang memiliki sensasi pada headline dan isi berita untuk menarik pengguna dalam membaca.
Beliau melihat fenomena clickbait ini bisa terjadi karena adanya ketertarikan dari pengguna, terkhusus generasi milenial.
Generasi milenial dinilai suka terhadap sesuatu yang berbeda dan mengundang dirinya untuk harus mengklik suatu link.
Kemudian melalui pertanyaan pewawancara, pewawancara menanyakan apakah judul clickbait itu dibuat untuk memadatkan isi berita?
Mbak Lewi menjawab, bahwa clickbait dibuat bukan untuk memadatkan isi berita melainkan sebagai salah satu strategi yang dibuat oleh media untuk memancing keingintahuan pembaca agar pembaca mau untuk klik suatu link.
Mbak Lewi juga menjelaskan bagaimana pro dan kontra yang dilakukan oleh pelaku pembuat headline atau judul berita.
Mbak Lewi melakukan survey terhadap rekan-rekannya yang juga termasuk dari pelaku pembuat headline atau judul berita, mbak Lewi mengatakan bahwa jika tidak dibuat judul clickbait, maka pembaca dari generasi milenial tidak akan suka.
Generasi milenial ini ditujukan untuk mereka yang kelahiran tahun 1981-1996. Generasi milenial dinilai suka terhadap headline dan isi berita yang ringan dan tidak sulit dipahami,
maka jika pelaku pembuat headline atau judul berita ini tidak membuat judul clickbait, maka tidak ada pemasukkan.
Kemudian melalui survey tersebut, mbak Lewi mengatakan bahwa hal seperti dinilai sah dan tidak masalah, karena itu merupakan bagian dari strategi media untuk mencari keuntungan yang juga sudah diatur dalam undang-undang pers.
Namun jika dilihat melalui sisi kontra akan terlihat dari sisi konsumen yang tidak bisa mendapatkan fakta yang akurat.
Padahal dalam jurnalisme yang melaksanakan aktivitas jurnalistik, seorang jurnalis harus dapat memberitakan berita yang benar.
Mbak Lewi juga mengatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan judul-judul clickbait adalah banyaknya pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media dengan menipu pembaca dengan judul yang tidak sesuai,
isi berita yang tidak ada verifikasi, media yang lebih mengedepankan sisi ekonomi tanpa berpikir apakah isi berita ini dapat mencerdaskan pembaca atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H