Mohon tunggu...
Christhio G
Christhio G Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Hikikomori yang Ada di Jepang

7 Agustus 2015   00:00 Diperbarui: 7 Agustus 2015   00:00 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Photo by hyena reality | FreeDigitalPhotos.net"]

Barangkali beberapa pembaca sudah pernah membaca atau mendengar tentang yang namanya Hikikomori. Tetapi, mungkin masih banyak dari pembaca yang belum pernah tahu apa itu hikikomori dan untuk yang sudah tahu pun masih banyak misconception tentang hikikomori. Sebisa mungkin penulis ingin menjelaskan apa itu Hikikomori. Mudah-mudahan bisa membantu siapapun yang mampir dan membaca artikel ini.

Jadi Apa Itu Hikikomori ?

Menurut Oxford Dictionary Online, Hikikomori itu: 

"(In Japan) the abnormal avoidance of social contact, typically by adolescent males."

Arti Hikikomori secara harfiah (literally) ialah "tinggal di dalam ruangan, menarik diri (dari masyarakat)". Pada umumnya, Hikikomori merujuk kepada seseorang yang tinggal di dalam rumah dalam jangka waktu yang panjang tanpa berpartisipasi dalam kegiatan sosial, seperti mempunyai teman, pergi ke sekolah atau bekerja.

Pada tahun 1998, psikiater Saito Tamaki, yang kemudian menjadi salah satu figur terkenal hikikomori, menerbitkan buku Shakaiteki hikikomori (Social Withdrawal). Dia mendefinisikan hikikomori sebagai:

"A condition where a youth withdraws into the home and does not participate in society for a period of over six months, of which a mental illness is not likely to be the primary cause."

Pengalaman tipikal seorang hikikomori ialah kebalikan dari pagi dan malam, dimana mereka bangun saat malam dan baru tidur ketika pagi mulai. 81% dari kasus hikikomori mengalami pengalaman ini, seperti survei yang dilakukan oleh Saito Tamaki. Banyak dari mereka tidur sehari penuh, tidak mandi, dan main permainan komputer atau baca buku (termasuk komik) untuk lari dari interaksi sosial. Beberapa memiliki waktu makan yang berbeda dengan keluarganya, dengan tujuan untuk menghindari interaksi sosial dengan anggota keluarga dan juga membebaskan diri mereka dari makan dengan waktu teratur.

Hikikomori mulai diperbincangkan khalayak ramai di Jepang mulai dari akhir tahun 1990-an dipicu oleh berita-berita dari media di Jepang. Berita tentang Hikikomori menjadi panas setelah serangkaian peristiwa yang menghebohkan negara Jepang, seperti:

  • Tanggal: 21 Desember 1999, seorang pemuda tiba-tiba masuk ke tempat bermain sekolah SD di Kyoto, secara tragis menusuk sampai mati seorang bocah laki-laki. Mereka tidak memiliki koneksi apapun sebelumnya. Tersangkanya (pemuda 21 tahun tanpa pekerjaan) bunuh diri setelah diminta untuk pergi ke kantor polisi awal tahun 2000.
  • Tanggal: 28 Januari 2000, polisi di Niigata menemukan seorang perempuan berumur 19 tahun dikurung di dalam rumah seorang pria pengangguran berumur 37 tahun. Perempuan itu sudah menghilang kurang lebih 9 tahun. Ibu pelaku (73 tahun) melaporkan bahwa tidak mengetahui kalau ada seorang perempuan di dalam kamar anaknya itu, meskipun tinggal satu rumah.
  • Tanggal: 3 Mei 2000, seorang laki-laki berumur 17 tahun di kota Saga membajak sebuah bus ekspres dan menusuk seorang penumpang sampai mati. Liputan selanjutnya melaporkan anak laki-laki itu sudah berhenti datang ke sekolah SMA, jarang berteman, dan cenderung menutup diri.

Di media Jepang dilaporkan bahwa pelaku dari ketiga kasus diatas adalah seorang hikikomori. Berkat ini, hikikomori jadi terkenal di Jepang dan juga hikikomori dikaitkan dengan berpotensi membahayakan. Ini mengakibatkan 'moral panic' di Jepang. Pemerintah pun mengeluarkan pedoman untuk memberitahu institusi/lembaga bagaimana cara terbaik menangani hikikomori. Setelah 'moral panic' mulai padam, hikikomori dipandang sebagai orang yang membutuhkan dukungan dan perawatan. Sejak saat itu, bukan hanya pemerintah yang ikut andil dalam mengadakan survey, mendistribusikan pedoman, dan mencoba mendirikan layanan konsultasi, tetapi juga banyak media massa, kedokteran, psikologi, lembaga pendidikan, dan juga grup pribadi telah aktif membantu dan merawat hikikomori. Mereka kadang-kadang disebut sebagai "industri hikikomori".

Stereotype tentang Hikikomori

Menurut Sachiko Horiguchi, seorang antropolog yang mempelajari tentang kesehatan mental pemuda di Jepang, ada 5 stereotype hikikomori yang beredar di masyarakat.

1. Hikikomori Sebuah Fenomena Unik dalam Masyarakat Jepang

Hikikomori bukan sebuah fenomena yang unik di Jepang, tetapi keunikannya berada dalam kategori hikikomori itu sendiri. Ini dikarenakan tidak ada istilah yang sebanding dengan hikikomori diluar Jepang.

2. Lebih Banyak Kasus Laki-laki Hikikomori daripada Perempuan

Media massa dalam survei melaporkan lebih banyak kasus laki-laki hikikomori daripada perempuan. Ini tidak berarti dalam kenyataan lebih banyak kasus laki-laki, tetapi lebih tingginya kemungkinan kasus laki-laki dilaporkan. Hikikomori bisa disebabkan dari pressure untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Untuk pria, pressure-nya cenderung datang dari asumsi untuk mendapatkan gaji yang stabil sebelum pernikahan. Sedangkan wanita mungkin mendapatkan pressure untuk segera menikah. Dikutip dari buku, "In this sense, hikikomori is seen as symbolizing the gendered pressures on Japanese youth to participate in society, either through dating, marriage, or work".

3. Hikikomori Itu Fenomena Middle-Class (Kelas Menengah)

Seringnya dilaporkan sebagai fenomena kelas menengah dikarenakan kebanyakan orang Jepang melihat diri mereka sendiri dalam kategori middle-class. Namun, ini tidak boleh dibilang hikikomori hanya terjadi pada keluarga kelas menengah. Menurut pengamatan Sachiko Horiguchi di lapangan, dia melihat hikikomori berasal dari berbagai latar belakang keluarga, termasuk dari anak seorang pekerja kerah biru (blue-collar) begitu juga pekerja kerah putih (white-collar), two parent-families dan juga single-parent families, dengan beragam latar pendidikan.

4. Ada Sekitar 1 Juta Hikikomori di Jepang

Perkiraan 1 juta hikikomori ini disediakan oleh psikiater Saito Tamaki, seorang yang terkenal di bidang hikikomori. Ternyata dalam satu wawancara, Saito mengaku dia asal mengeluarkan angka ini berdasarkan pengalaman sebagai psikiater. Awal tahun 2000, perkiraan angka 1 juta ini dengan cepatnya menjadi sebuah 'fakta'. Survei lainnya menunjukkan perkiraan hikikomori mulai dari 300.000 sampai dengan 700.000. Meskipun demikian, tidak ada yang menunjukkan mendekati 1 juta. Ini menunjukkan menurut Sachiko Horiguchi, "demonstrating the keenness of key actors to play up the importance of the 'problem' as well as the corresponding willingness of the media and the public to embrace exaggerated estimates of controversial youth problems".

5. Hikikomori Adalah Seseorang Yang Tidak Pernah Keluar dari Kamar

Berbeda dengan stereotype seorang hikikomori yang tidak pernah keluar kamar, banyak hikikomori yang keluar sekali sehari atau sekali seminggu. Berdasarkan survei dari pemerintah, 9,7% tidak bisa keluar kamar mereka, 17% tidak bisa keluar mereka tetapi bisa jalan-jalan di dalam rumah, 20,8% dapat keluar rumah dalam situasi tertentu, dan 40,8% keluar rumah regularly. Dalam survei yang dilakukan grup orang tua menunjukkan 83,72% dari mereka keluar rumah secara reguler, dan kebanyakan keluar untuk pergi ke 24-hour convenience stores (konbini).

Apa Sih Penyebab Hikikomori ?

Penyebab seseorang menjadi hikikomori berasal dari banyak faktor, dengan perpaduan biologi, psikologi, dan faktor sosial. Dikarenakan istilah dari hikikomori yang ambigu dan banyaknya cakupan gejala hikikomori, akademik dan komentator terkenal mendiskusikan penyebab hikikomori dari berbagai perspektif.

Yang tertarik dengan isu pendidikan, cenderung mengaitkan masalahnya dengan pendidikan, terutama dengan absen (futoko) dan bully (ijime). Ada yang memfokuskan pada isu psikologis, seperti trauma dan dilema dalam komunikasi atau juga sifat pemuda/i Jepang yang mempunyai kesulitan berbicara tatap muka dengan orang lain. Dalam sudut pandang ekonomi, hikikomori dikaitkan dengan berkurangnya peluang orang muda dalam bekerja, seperti masalah freeters, NEETs (Not in Education, Employment, or Training) dikarenakan resesi ekonomi yang berkepanjangan di Jepang. Dan dari sudut pandang sosio-ekonomi, hikikomori dikarenakan kemakmuran / kekayaan dari generasi "baby boomer" (orang tua hikikomori) yang memungkinkan untuk membiayai hikikomori.

Perdebatan Definisi Hikikomori

Definisi hikikomori oleh psikiater Saito Tamaki yang ada di awal artikel ini banyak di kritik oleh pakar-pakar lainnya. Contohnya: psikiater Takaoka Ken, sosiolog Takemura Yosuke, seorang kritik sosial Serizawa Shunsuke menganjurkan daripada mengartikan menarik diri sebagai suatu penyakit yang perlu ditangani psikiater, mereka menyarankan menarik diri mungkin suatu proses yang sangat diperlukan dalam banyak kehidupan seseorang. Karena itu, mereka mengkritik Saito yang menurut mereka mencoba untuk mengobati hikikomori, yakni keinginan Saito untuk memposiskan withdrawn youth sebagai objek untuk intervensi medis.

Sependapat dengan Takaoka dkk, Tanaka Mihoko, seorang clinical psychologists, percaya bahwa hikikomori mungkin menunjukkan pengunduran diri sesaat dari dunia luar yang dapat membantu seseorang memikirkan kembali kehidupannya dan membangun kembali dirinya sendiri.

Pemimpin grup pendukung kaum muda mempunyai ide sendiri tentang asal muasal dari penarikan diri, seperti pendiri Friend Space Tomita Fujiya berpendapat hikikomori sebuah kondisi psikologis yang mana seseorang ingin berkomunikasi dengan lainnya tetapi tidak dapat melakukannya. Dengan begitu, Friend Space didirikan supaya participant dapat berada dalam situasi dimana memungkinkan mereka untuk bersantai dan berinteraksi dalam beberapa program yang menargetkan komunikasi, suatu tempat yang memungkinkan untuk menjadi diri sendiri.

Ada juga yang tidak setuju dengan cara Tomita, grup lainnya menawarkan "systematic regime of employment-oriented, seperti latihan displin supaya mereka bisa bekerja atau berperan dalam lingkungan sosial.

Dalam perdebatan kaum muda, arti hikikomori sudah mencakup banyak tempat (bercabang-cabang) dan istilahnya telah digunakan untuk grup yang sangat berbeda, seperti: orang sakit mental; orang yang mempunyai teman tetapi tidak punya pekerjaan begitu juga dengan orang yang mempunyai pekerjaan tanpa punya teman; dan juga yang kelihatannya punya sifat tertutup.

Sebetulnya, hampir semua orang yang tinggal di Jepang bisa masuk kategori hikikomori. Ini bukan berarti hikikomori makin bertambah, tetapi menunjukkan kepopuleran istilah ini dan penggunaanmya dalam beragam situasi.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Sachiko Horiguchi dengan psikiater, psikolog, konselor, lay supporters dari hikikomori, dan yang mengalami hikikomori beserta keluarga mereka, dia menyimpulkan luasnya variasi dari konsep hikikomori mengakibatkan dilema seperti seberapa jauh hikikomori perlu didukung atau dirawat oleh psikiatri; apakah pengobatan untuk hikikomori akan terus terlihat atau tidak; apakah patut dicampur tangani.

Kepopuleran Hikikomori

Kepopuleran fenomena hikikomori beranjak naik dari akhir tahun 1990-an sampai akhirnya turun saat NEET (Not in Education, Employment, or Training) diperkenalkan pada tahun 2004. Menariknya, beberapa grup yang tadinya mendukung hikikomori pindah menjadi grup pendukung NEET. Seringkali, hikikomori dan NEET adalah istilah yang berkaitan satu sama lain. Namun, Saito menekankan perbedaan NEET dengan hikikomori, yakni: NEET  butuh pekerjaan, sedangkan hikikomori seringkali membutuhkan dukungan dalam membangun kepiawaian berkomunikasi.

Akhir kata, seperti dikutip dari buku:

"Although the "hikkimori boom" is said to be fading out --- at least in terms of media coverage --- "issues" surrounding the family persist, particularly as hikikomori age."

"... suggest that the next hikikomori controversy may well focus on 'social withdrawal among the aged', providing us a rare example of how a youth problem can sometimes mature into an 'adult' malaise"

Sumber Artikel

  • Horiguchi, S. (2011) 'Coping with hikikomori: socially withdrawn youth and the Japanese family', in A. Alexy and R. Ronald (eds) Home and Family in Japan: continuity and transformation, London and New York: Routledge.
  • ____ (2012) 'Hikikomori: how private isolation caught public eye', in R. Goodman, Y. Imoto, and T. Toivonen (eds) A Sociology of Japanese Youth: From returnees to NEETs, London: Routledge.
  • ____ (2014) 'Mental health and therapy in Japan', in J. Kingston (eds) Critical issues in contemporary Japan, London and New York: Routledge.

Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun