Mohon tunggu...
Christhio G
Christhio G Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Hikikomori yang Ada di Jepang

7 Agustus 2015   00:00 Diperbarui: 7 Agustus 2015   00:00 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Sachiko Horiguchi dengan psikiater, psikolog, konselor, lay supporters dari hikikomori, dan yang mengalami hikikomori beserta keluarga mereka, dia menyimpulkan luasnya variasi dari konsep hikikomori mengakibatkan dilema seperti seberapa jauh hikikomori perlu didukung atau dirawat oleh psikiatri; apakah pengobatan untuk hikikomori akan terus terlihat atau tidak; apakah patut dicampur tangani.

Kepopuleran Hikikomori

Kepopuleran fenomena hikikomori beranjak naik dari akhir tahun 1990-an sampai akhirnya turun saat NEET (Not in Education, Employment, or Training) diperkenalkan pada tahun 2004. Menariknya, beberapa grup yang tadinya mendukung hikikomori pindah menjadi grup pendukung NEET. Seringkali, hikikomori dan NEET adalah istilah yang berkaitan satu sama lain. Namun, Saito menekankan perbedaan NEET dengan hikikomori, yakni: NEET  butuh pekerjaan, sedangkan hikikomori seringkali membutuhkan dukungan dalam membangun kepiawaian berkomunikasi.

Akhir kata, seperti dikutip dari buku:

"Although the "hikkimori boom" is said to be fading out --- at least in terms of media coverage --- "issues" surrounding the family persist, particularly as hikikomori age."

"... suggest that the next hikikomori controversy may well focus on 'social withdrawal among the aged', providing us a rare example of how a youth problem can sometimes mature into an 'adult' malaise"

Sumber Artikel

  • Horiguchi, S. (2011) 'Coping with hikikomori: socially withdrawn youth and the Japanese family', in A. Alexy and R. Ronald (eds) Home and Family in Japan: continuity and transformation, London and New York: Routledge.
  • ____ (2012) 'Hikikomori: how private isolation caught public eye', in R. Goodman, Y. Imoto, and T. Toivonen (eds) A Sociology of Japanese Youth: From returnees to NEETs, London: Routledge.
  • ____ (2014) 'Mental health and therapy in Japan', in J. Kingston (eds) Critical issues in contemporary Japan, London and New York: Routledge.

Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun