Aku melangkah menuju pintu keluar kantor notaris itu dengan lega. Diiringi salam dan jabat tangan seorang pebisnis setengah baya, di wajahnya tersungging kepuasan atas berhasilnya transaksi yang diukurnya dengan angka-angka. Yah, dia patut memetik hasilnya, setelah dahulu membeli dengan murah rumah itu, kini ia mampu menjualnya dengan selisih harga yang lumayan. Untuk pasaran rumah di pinggiran Jakarta ini, harga yang ia dapat sungguh begitu tinggi.
Aku tak peduli, walaupun mungkin ada yang mengatakan aku adalah pembeli yang bodoh. Padahal banyak orang tahu, sebelum kosong dan ditinggalkan penghuninya, di rumah itu pernah terjadi riwayat kelam. Kisah miris, penuh darah. Pembunuhan.
Rumah yang telah lama kosong dan tak layak huni itu, kini telah ada yang membeli, yaitu aku, yang dulu menjadi pelaku pembunuhan itu. Menjalani hukuman bertahun-tahun dan tertatih-tatih untuk bangkit melangkah, hingga akhirnya berdiri tegak kembali, dan mengais kembali kenangan-kenangan yang menyisipi mimpiku tiap malam.
“ Kamu keterlaluan, Sur! Sampai kapan kau bisa melupakan dia? Untuk apa kamu beli rumah hantu itu dengan harga selangit?! Cah...gemblung!” Omel ayahku yang kuterima dengan wajar. Aku tahu ia menyesali langkah anehku. Ungkapan kesalnya sempat tertahan colekan lembut ibuku, yang tampak lebih banyak diam. Aku tak tahu, apa yang ada dalam benaknya. Apakah sama dengan ayahku, ataukah tengah mencoba menyelami dasar hatiku.
“ Aku ingin membeli kenangan, Pak. Walaupun itu mahal..”
“ Kenangan apa? Tentang Mayangmu itu? Yang sekarang tak tahu di mana rimbanya?”
“ Hmm...”, aku hanya terdiam, tak membantah ataupun menyangkalnya.
Terkesan bodoh dan berlebihan memang. Namun, harus ku akui, nama itu sampai kini masih selalu bersemayam. Wajah lelahnya terakhir kali mampu kuusap, dari balik jeruji besi. Aku tak mampu membalas kata, hanya sebuah anggukan yang jauh dari sebuah kata,.. mengharap. Ketika bibirnya yang bergetar, basah oleh aliran bening dari matanya, mengucap lirih “ Aku menunggumu...”. Dan sejak itu, kami tak lagi bertemu.
“ Sur, ingat. Andai saja dulu kamu tidak pacaran dengannya. Malapetaka itu tak mungkin terjadi!”
“ Sejak kapan Bapak jadi peramal?”
“ Oalaahh!! Anak nglunjak..!”
“ Pak...sabar, Pak...”, sergah ibuku yang mencoba menepuk bahu suaminya, ayahku, yang sejak aku dipenjara dulu, begitu mudah tersulut amarahnya.
“ Jalan hidup tak bisa dibaca, kan, Pak? Lagipula, semua telah terjadi..”
“ Yaaaa, tapi gara-gara gadis itu, kau harus berkelahi dengan kakaknya, lalu membunuhnya,..lalu meringkuk di penjara, layaknya penjahat saja...!”
“ Dia, pemabuk itu menyakiti Mayang, Pak! Bahkan kalau aku tak menghalanginya,...Mayang nyaris dibunuhnya!”
“ Kau bukan menghalangi, tapi membunuh!”
“ Tak sengaja...”
“ Tak terbukti! Faktanya? Kau mendekam di penjara..., tiga tahun itu lamaaa, Sur!”
“ Aku bisa menjalaninya...”, tak berniat lagi aku meladeni kecewa ayah. Jawabku beberapa patah itu kusampaikan sembari beranjak keluar rumah.
“ Mau kemana kamu?! Ke rumah hantu itu?!”
“ Hhhhh...., mau membahas apa lagi, Yah? Tak ada lagi yang butuh titik temu....”, sahutku datar sambil menyalakan mesin motorku. Lalu perlahan memutar gasnya, menggulirkan rodanya, menyahut ketidakpuasan ayah dengan deru knalpotnya. Selintas, masih samar kudengar suara panggilannya, juga cegah ibu yang berusaha meluruhkan kesalnya.
***
Rumah hantu. Kumaklumi sebutan ayah dan mungkin juga semua orang di komplek ini. Karena rumah yang usai kubeli ini hanya menampilkan sepi. Tanaman liar merambat pada dinding-dindingnya yang kusam. Penuh debu, redup, kelam dengan bayangan-bayangan yang seolah menggemakan jeritan-jeritan kesunyian. Ah, seperti suara kematian.
Terutama, di teras ini. Noda hitam yang menggumpal itu masih samar kulihat, meski tersaput debu-debu pekat. Itu bekas tumpahan darah. Itu darah Mas Tandi, kakak Mayang yang dulu, pada ulu hatinya kuhujamkan pisau dapur.
Masih nanar aku mengingat. Lekat. Malam itu, aku dan Mayang tengah bercengkerama berdua, menikmati manisnya buah mangga yang kami petik dari pohon yang kini begitu liar dan lebat daunnya. Lalu keriangan itu terusik dengan datangnya Mas Tandi yang mulutnya menyeruakkan aroma minuman keras.
Aku tahu, kakak beradik itu seringkali bertengkar mulut. Namun kali itu sungguh tak terkendali. Mas Tandi begitu kalap, kepal tangannya berulang kali mendarat keras di wajah kekasihku. Dan cengkeram jarinya yang kasar sepenuh tenaga mencekik leher Mayang hingga matanya membelalak. Aku pun kalap, lelaki yang selalu menjadi duri hubungan kami ini, harus meregang nyawa saat pisau itu kubenamkan keras di ulu hatinya. Kuakui,..aku bersalah. Saat itu aku memang menghentikannya dengan cara itu. Membunuhnya.
Berat sekali hempas nafasku mengenang itu. Kunci yang kubawa sangat sulit melawan karat saat akhirnya pintu itu terbuka. Derit yang terdengar begitu menyayat, layaknya tangis bayi yang begitu haus karena keringnya air susu sang ibu. Debu dan pengap menyeruak. Untaian tali temali yang teranyam, hasil karya para laba-laba menggelayut pada tiap sudutnya. Suara langkahku begitu gemerisik menapak lantai yang kumuh, juga bersentuhan dengan remah-remah puing perkakas yang tertinggal disana.
Ruang tamu, lorong tengah, dapur, dan setiap ruang yang dulu sempat akrab dalam kenangan, kutelusuri. Sejengkal demi sejengkal. Senyum manis itu masih samar tertinggal, pada tiap depa yang kini lengang.
Dan pada ruang ini, kamar Mayang yang dahulu tak pernah kumasuki, membuatku sekian lama tenggelam dalam kehampaan. Mimpi buruk itu sudah lama terjadi, dan kini aku hanya mencoba mengais sisa-sisa kepingan yang begitu lelah untuk melupakan.
Lemari mungil itu. Ah, apakah mereka begitu terburu-buru? Sehingga terlupa dan ditinggalkan? Ataukah Mayang memang sengaja menungguku di sana, keluar dari pintunya lalu menyambutku dengan pelukan? Oh,...jangan,..aku memang terjerembab dalam kerinduan, namun khayalku tak boleh mendekati sebuah kegilaan.
Sedikit bergetar tanganku membuka pintu mungilnya,..hm, tentu saja Mayang tak ada di sana. Hanya,..sebuah buku ungu yang tertinggal. Catatan harian. Mayang terlupa membawanya? Atau? Ah,..percik asa di dadaku sedikit menyala. Mayang sengaja meninggalkannya,..untukku?
Tak sabar kutepiskan debu yang membungkusnya. Lembar demi lembar kubaca. Kubiarkan aku tenggelam dalam senyum bangga, karena di antara catatan risaunya, tentang keluarganya yang terbeban dengan kakaknya yang selalu bermasalah, dituliskannya juga tentang rasa bahagia akan kisah kasih kami berdua.
Hingga lembar terakhirnya,..menjadikanku sedikit tersajikan sebuah celah pias, samar jawaban terhadap letihku menapaki bias-bias masa lalu.
“ Hari ini...18 Oktober di tahun yang kan usang...
Diary,...aku mungkin telah salah dalam ketidakberdayaan..
Papa dan Mama ingin kami semua membuka lembaran baru..
Melupakan segala mimpi buruk..
Meninggalkan rumah ini..
Melupakan Mas Tandi....
Kami harus membuka hari baru di Surabaya kini...
Papa dan Mama berharap aku belajar membuka diri..
Dengan menimbang lelaki yang ingin menjadikanku istri..
Apa artinya itu diary?
Saat ini, aku memang masih teguh memegang janji..
Pada seseorang yang kukasihi...
Yang menderita karena semua ini..
Tapi, sampai kapan aku bertahan?
Mungkinkah aku mampu memegang janji..?
Sampaikan maafku yang tak tahu diri ini..
Jika pada saatnya nanti,..aku mengecewakannya...
Diary..
Andai saja dulu aku terbunuh mati...
Pasti tak sesulit ini...
..
May...”
.
Kututup perlahan tulisan yang kuanggap sebuah pesan itu. May,..terima kasih. Aku mencoba mengerti. Surabaya? Tapi di sudut yang mana? Aku bimbang. Pengais mimpi ini selintas ingin kesana mencari. Namun, adakah aku benar-benar mampu menghadapi kenyataan, jika kau telah hidup baru dengan lelaki lain? Atau, adakah mungkin kau masih bertahan dengan janjimu,..menungguku?
Aku hanya ingin tahu pasti, bahwa kau telah bahagia kini. Diary ungu,..katakan padaku, bagaimanakah caraku bertemu.
***
.
.
C.S.
18 Oktober di tahun yang kan usang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H