“ Pak...sabar, Pak...”, sergah ibuku yang mencoba menepuk bahu suaminya, ayahku, yang sejak aku dipenjara dulu, begitu mudah tersulut amarahnya.
“ Jalan hidup tak bisa dibaca, kan, Pak? Lagipula, semua telah terjadi..”
“ Yaaaa, tapi gara-gara gadis itu, kau harus berkelahi dengan kakaknya, lalu membunuhnya,..lalu meringkuk di penjara, layaknya penjahat saja...!”
“ Dia, pemabuk itu menyakiti Mayang, Pak! Bahkan kalau aku tak menghalanginya,...Mayang nyaris dibunuhnya!”
“ Kau bukan menghalangi, tapi membunuh!”
“ Tak sengaja...”
“ Tak terbukti! Faktanya? Kau mendekam di penjara..., tiga tahun itu lamaaa, Sur!”
“ Aku bisa menjalaninya...”, tak berniat lagi aku meladeni kecewa ayah. Jawabku beberapa patah itu kusampaikan sembari beranjak keluar rumah.
“ Mau kemana kamu?! Ke rumah hantu itu?!”
“ Hhhhh...., mau membahas apa lagi, Yah? Tak ada lagi yang butuh titik temu....”, sahutku datar sambil menyalakan mesin motorku. Lalu perlahan memutar gasnya, menggulirkan rodanya, menyahut ketidakpuasan ayah dengan deru knalpotnya. Selintas, masih samar kudengar suara panggilannya, juga cegah ibu yang berusaha meluruhkan kesalnya.
***