[caption id="attachment_199378" align="aligncenter" width="400" caption="illustrasi from google/www.pixdaus.com"][/caption]
Perjodohan memang seringkali menyakitkan. Meski aku melihat sisi sakitnya ini dalam dimensi yang berbeda. Sakit karena harus bimbang untuk menimbang, harus bagaimana memutuskan ketika gadis yang dijodohkan denganku adalah seseorang yang mencintaiku dan sekian lama waktu berlalu tumbuh pula rasa itu direlungku.
Di luar itu, masih ada pula alasan yang akan terus menerus mengusikku, menjadi beban yang maha berat untuk takut menggoreskan luka di hatinya. Karena orang tua gadis itu yang selama ini menjadi ayah asuhku, memenuhi segala kebutuhan kuliahku. Meski aku yakin dan tahu, semua itu mereka lakukan karena begitu dermawannya mereka, bukan hanya karena ingin menjadikan aku menantunya.
Ayu...gadis itu bagai pualam lembut yang setia menantiku di sana. Menanti aku menjemputnya, untuk mengarungi hidup bersama. Dia setia menunggu, dengan penuh kesetiaan dan rindu. Dia begitu percaya padaku, yang sedang tekun menyelesaikan rencana dan cita-cita di kampus teduh yang menjadi sarana menggapai asa. Namun keteduhan rindang pohon di taman fakultasku ini, tak mampu juga mengurai sebuah langkah yang harus kuputuskan. Sebuah keberanian karena mungkin sebuah kesalahan yang membuatku bimbang.
"Doooorr!!" , hentakan renyah ini mengagetkan.Namun dari indah suaranya, aku tahu. Dia adalah Citra, gadis manis satu kampus denganku, yang sekian lama ini mengisi hari-hariku, dan sayang sekali hatiku juga.
" Nggak kaget...weee".
" Ah..masa?..tuh, buktinya Mas gelagapan".
" Dah selesai?"
" Sudah, Mas masih ada kuliah?"
" Udah nggak ada, langsung pulang aja?"
" Terserah Mas aja lah".
" Kita duduk-duduk di sini dulu ya Cit, menunggu senja.."
" Hmm..ya. Tapi Mas sakit ya, kok agak lesu gitu?"
" Ah..nggak, mungkin capek saja".
Angin desember yang sedikit basah menghembus daun-daun mahoni di taman kampus ini. Suara dari seberang sana, di tanah lapang, samar-samar terdengar riuh rendah dan riang, anak-anak luar kampus yang bermain sepak bola. Gembira sekali mereka, tanpa beban, lepas dan terbang.
Aku baru sadar, sekian lama aku kosong terdiam. Tak sadar pula, mata Citra terus memandang. Dia pun memilih diam, sangat mengerti saat dimana aku sedang resah, marah, ataupun bimbang.
" Ada apa, Mas?...nggak mau cerita?"
Aku masih diam. Hanya mengalihkan pandang ke bias matanya yang bening. Telaga sejuk yang mampu meredam peristiwa yang seharusnya adalah duka. Namun tidak dengannya. Sakit yang sekian lama mengendap ditubuhnya, tak mampu melenyapkan semangat hidupnya. Juga keberaniannya untuk menyatakan cinta, yang tak mampu sekejap pun, terbersit aku untuk menolaknya. Karena memang rasa itu bersemayam pula di dadaku.
Kebersamaan ini sekian lama semakin membuat gairah hidupnya berbinar dan makin bersinar, secerah wajah manis dan keceriaannya. Lalu apakah aku harus sekejam itu melenyapkannya? Aku tak sanggup. Tapi..tapi nun jauh di sana, ada sepotong hati pula yang tulus menanti. Ah, Ayu....harus bagaimana aku mengakhiri?
" Udah hampir gelap Mas, mau hujan".
" Iya Cit. Desember selalu begini, tiap sore pasti hujan".
" Aku suka hujan Mas".
" Ih..kamu kan gampang menggigil?"
" Kan, Mas pasti meluk aku..hehehe..".
" Dasar genit..".
"Ihhhh..". Rajuknya sungguh membuatku tenteram.
Sebenarnya, tak perlu dia meminta. Aku sudah pasti dengan penuh rela memeluknya. Tak perlu sebuah hujan, yang akan membuatnya menggigil kedinginan. Gerimis kecil seperti sore ini pun, sudah cukup membuatku tergerak untuk mendekapnya. Bukan hanya untuknya, tapi kedamaian untukku juga.
Kami berpelukan beriring, menyusuri jalan setapak. Kehangatan yang nyaman dalam diam. Diamnya yang mengerti dan diamku yang resah tak terperi. Akan sampai kapankah ini, sungguh aku tak mampu menyakiti, gadis suci yang darinya kasih tulus diberi. Lagi dan lagi, sampai detik ini aku tak sanggup mengucap cerita. Tak cukup rasanya dengan sejuta maaf sebagai pembuka. Sebuah diam yang sama, seperti saat sebuah kata yang tak tahu harus mulai dari mana, saat pertemuanku dengan Ayu, nun jauh di sana.
Gerimis semakin basah. Rintiknya menetes perlahan, menitipkan sisanya di lebat rimbun daun-daun pepohonan. Desember ini, musim penghujan akan tiba, seiring dengan anginnya yang dingin membuat hati terendam. Terendam dalam bimbang, apa yang harus ku lakukan. Berjalan dan terus berjalan, dengan rasa gundah tak bertepian.Rintik dan hembusan desember selipkan sendu nyanyian. Nada-nada gelisah penuh pertanyaan...kebimbangan..., bisikan hati yang pelan tak sanggup mengatakan...
" I can tell her my troubles, she makes them all seem right
I can make up excuses, not to hold her at night
We can talk of tomorrow, I'll tell her things I want to do
But Girl, how can I tell her about you?"
.
"How can I tell her about you?
Girl, please tell me what to do
Everything seems right, whenever I'm with you
So Girl, won't you tell me
How to tell her about you"
Dan gerimis semakin basah, menjadi hujan. Dinginnya mengalir, menitipkan sisanya di sela rimbun pepohonan, setelah curahnya mengguyur kami yang berpelukan erat, menyusuri lengangnya jalan setapak.
.
Desember
2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H