" Terserah Mas aja lah".
" Kita duduk-duduk di sini dulu ya Cit, menunggu senja.."
" Hmm..ya. Tapi Mas sakit ya, kok agak lesu gitu?"
" Ah..nggak, mungkin capek saja".
Angin desember yang sedikit basah menghembus daun-daun mahoni di taman kampus ini. Suara dari seberang sana, di tanah lapang, samar-samar terdengar riuh rendah dan riang, anak-anak luar kampus yang bermain sepak bola. Gembira sekali mereka, tanpa beban, lepas dan terbang.
Aku baru sadar, sekian lama aku kosong terdiam. Tak sadar pula, mata Citra terus memandang. Dia pun memilih diam, sangat mengerti saat dimana aku sedang resah, marah, ataupun bimbang.
" Ada apa, Mas?...nggak mau cerita?"
Aku masih diam. Hanya mengalihkan pandang ke bias matanya yang bening. Telaga sejuk yang mampu meredam peristiwa yang seharusnya adalah duka. Namun tidak dengannya. Sakit yang sekian lama mengendap ditubuhnya, tak mampu melenyapkan semangat hidupnya. Juga keberaniannya untuk menyatakan cinta, yang tak mampu sekejap pun, terbersit aku untuk menolaknya. Karena memang rasa itu bersemayam pula di dadaku.
Kebersamaan ini sekian lama semakin membuat gairah hidupnya berbinar dan makin bersinar, secerah wajah manis dan keceriaannya. Lalu apakah aku harus sekejam itu melenyapkannya? Aku tak sanggup. Tapi..tapi nun jauh di sana, ada sepotong hati pula yang tulus menanti. Ah, Ayu....harus bagaimana aku mengakhiri?
" Udah hampir gelap Mas, mau hujan".
" Iya Cit. Desember selalu begini, tiap sore pasti hujan".