Â
                                                 Â
Pada pertandingan babak 16 besar yang dilangsungkan di Bucharest, ibukota Rumania (28/6), Prancis sudah unggul dengan skor 3-1 atas Swiss hingga menit ke-80 melalui 2 gol Benzema dan gol cantik dari Paul Pogba. Akan tetapi segalanya berubah menjadi petaka ketika juara Piala Dunia 2018 tersebut kebobolan oleh Swiss pada menit ke-81 dimana skor menjadi 3-2, gol tersebut pula yang menjadikan momentum bagi Swiss untuk menyamakan kedudukan. Hasilnya, Swiss berhasil menyamakan kedudukan pada menit ke-90 dan skor menjadi 3-3. Ketika babak adu penalti dimulai, Kylian Mbappe yang merupakan pemain bintang andalan Prancis dan calon pemain terbaik dunia di masa depan malah gagal mencetak penalti serta memastikan Prancis tersingkir dari kejuaraan Piala Eropa.Â
Ketika Prancis menjadi juara Piala Dunia pada bulan Juli 2018, kemenangan dan keberhasilan Les Blues memang membawa suka cita dan perayaan besar bagi Prancis karena mereka berhasil menorehkan sejarah untuk menjuarai Piala Dunia untuk kedua kalinya. Akan tetapi dalam kurun waktu 4 tahun semenjak perayaan tersebut, Prancis mulai diselimuti oleh kisruh dalam negeri yang terus berlanjut hingga saat ini.Â
Pada tanggal 17 November 2018, terjadi suatu demonstrasi besar-besaran yang meluas ke seluruh penjuru negeri Prancis yang dinamakan Gilet Jaunes atau Yellow Vest demonstration dimana ribuan peserta demonstrasi tersebut memakai rompi kuning dalam menjalankan aksi protes mereka. Tujuan dari gerakan demonstrasi ini adalah untuk menentang kebijakan Presiden Macron yang memutuskan untuk menaikan harga barang pokok, pajak, dan tempat tinggal yang tidak sesuai dengan gaji dan pendapatan warga kelas menengah yang cukup menyulitkan mereka. Siapa sangka jika kemudian gerakan demonstrasi tersebut juga menyebar ke berbagai negara tetangga seperti Belgia, Belanda, Polandia, dan Inggris.Â
                                          Â
                                                      Â
Emmanuel Macron, Presiden muda Prancis yang terpilih sejak tahun 2017 memang awalnya diharapkan membawa angin segar dan pembaharuan bagi negara Prancis. Akan tetapi, setahun kemudian segalanya berjalan menjadi buruk dibawah kepemimpinan Macron yang berakibat pada gerakan demonstrasi Gilet Jaune, yang terus terjadi hingga saat ini.Â
Aksi demonstrasi besar-besaran ini memang telah menimbulkan aksi kerusuhan di seluruh penjuru negeri terutama di ibukota Paris, yang selama ini memang terkenal sebagai salah satu tujuan destinasi wisata dan juga terkenal dengan estetika keindahan kotanya.Â
Aksi demonstrasi ini memang telah mencoreng negara Prancis serta menimbulkan suatu Travel Alert yang dikeluarkan oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan negara lainya untuk mencegah supaya warganya tidak ikut terimbas dari aksi demonstrasi ini. Aksi demonstrasi ini juga menimbulkan dampak krisis ekonomi terutama di kota Paris dikarenakan banyak aktivitas perdagangan dan hiburan yang lumpuh dan takut untuk beroperasi.Â
                                                        Â
Di tengah gawatnya Pandemi Covid-19 di negara tersebut, Presiden Macron tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang cukup mengguncangkan dunia. Setelah terjadi peristiwa pemenggalan seorang guru sejarah Prancis yang dilakukan oleh seorang ekstremis asal Chechnya yang diduga tidak terima karena guru tersebut menghina Nabi Muhammad,Â
Macron mengeluarkan statement yang mengatakan bahwa "Islam itu adalah agama teroris". Statement tersebut segera memancing kemarahan besar di negara-negara muslim di dunia termasuk Indonesia.Â
Seruan untuk memboikot produk Prancis dan demonstrasi besar-besaran di depan Kedubes Prancis segera terjadi, pernyataan tersebut semakin menambah panjang krisis negara Prancis setelah Gerakan demonstrasi besar-besaran dan Pandemi Covid-19. Beberapa tahun sebelumnya, Prancis juga menghadapi berbagai serangan teroris yang dilakukan oleh ekstremis ISIS yang melancarkan aksinya di ibukota Paris sebanyak 2 kali.Â
Oleh karena itu, di tengah krisis yang parah, sepakbola mungkin menjadi satu-satunya harapan bagi Prancis untuk menjadi penghibur dan penyemangat bagi seluruh rakyat Prancis di tengah krisis dan kesulitan yang menimpa negara mereka. Oleh karena itu ketika Prancis harus tersingkir di babak 16 besar Euro 2020 (2021), mungkin awan mendung akan semakin besar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H