Aksi Demonstrasi di Myanmar
Kondisi di Myanmar hari demi hari semakin tragis dan memprihatinkan. Setelah terjadi kudeta militer pada tanggal 1 Februari 2020 yang berujung pada penangkapan terhadap ratusan pejabat negara Myanmar termasuk Presiden Myanmar, Win Myint dan mantan aktivis serta pejuang Demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, kekerasan dan kekacauan segera melingkupi negara Pagoda tersebut.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh aktivis, mahasiswa hingga pejuang demokrasi segera terjadi di seluruh penjuru ibukota Myanmar, Yangoon dengan tujuan untuk menuntut supaya Aung San Suu Kyi, Win Myint, dan pejabat pemerintahan Myanmar lainya untuk dibebaskan dan juga menuntut agar Junta Militer Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Ming Aung Hlaing segera mundur dari kekuasaanya sebagai Pemimpin Myanmar saat ini.
Aksi demonstrasi yang tadinya diharapkan berjalan damai dan menemui titik terang berupa negosiasi segera berubah menjadi “ladang pembantaian” setelah polisi melakukan kekerasan untuk mematikan aksi demonstrasi tersebut dengan cara penangkapan, penggerebekan, dan yang paling brutal adalah menembaki demonstran dengan peluru tajam.
Pihak kepolisian tersebut memang tidak punya pilihan selain menuruti perintah dari pihak Junta Militer untuk menghadang aksi ribuan demonstran tersebut dengan cara kekerasan.
Hasilnya adalah hingga kini tercatat sebanyak 320 nyawa demonstran harus melayang yang diakibatkan oleh kebrutalan aparat kepolisian tersebut.
Dari ratusan korban jiwa tersebut yang paling terkenal adalah kisah gugurnya seorang demonstran wanita dan juga aktivis demokrasi yang bernama Kyal Sin.
![Kyal Sin alias Angel yang tewas ditembak Polisi. Sumber : akurat.co](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/28/images-2-60602f3bd541df643c2b25f2.jpeg?t=o&v=770)
Kyal Sin seketika langsung dianggap sebagai martir demokrasi dan pemakamanya dihadiri oleh ribuan demonstran serta aktivis demokrasi Myanmar.
Kematian Angel semakin menambah kemarahan rakyat Myanmar dan hasilnya adalah demonstrasi dan kerusuhan anti Junta Militer semakin meluas seiring dengan semakin bertambahnya korban jiwa dan juga korban luka dari kedua belah pihak.
![Sumber : voiceofamerica.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/28/reuters-myanmar-riot-police-09feb21-606030648ede48048c260a92.jpeg?t=o&v=770)
Tercatat sebanyak 600 polisi membelot ke pihak demonstran untuk saling membantu dan mendukung dalam melawan Junta Milter, selain itu ratusan polisi lainya juga kabur ke negara tetangga India dengan alasan mereka tidak ingi terkena teror dari pihak Junta Militer.
DEMOKRASI MYANMAR KEMBALI KE TITIK TERENDAH
Apa yang terjadi dengan Myanmar dengan saat ini tentu saja menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Perjuangan selama puluhan tahun lamanya untuk memperjuangkan penegakan demokrasi di negeri tersebut yang banyak menelan ratusan hingga ribuan korban jiwa tersebut seolah menjadi sebuah hal yang sangatlah sia-sia.
Pada tahun 2011, Myanmar untuk pertama kalinya merasakan angin segar demokrasi yang sudah lama diperjuangkan oleh seorang wanita pemberani bernama Aung San Suu Kyi yang harus rela mendekam sebagai tahanan rumah selama puluhan tahun lamanya.
Sayangnya di tengah keberhasilan dari penegakan demokrasi di negara tersebut, Myanmar dihadapkan dalam suatu isu kejahatan dan konflik kemanusiaan yang cukup serius.
Isu tersebut adalah genosida dan pembersihan terhadap etnis Rohingnya yang mayoritas beragama Muslim di wilayah Rakhine. Konflik yang menelan nyawa dari puluhan ribu etnis Rohingya tersebut sesungguhnya telah mencoreng nama Myanmar di tengah keberhasilan demokrasi mereka.
Hingga pada tahun 2021 ini, di tengah konflik Rohingya yang tidak kunjung usai, Pandemi Covid-19 yang semakin ganas hingga terjadinya kudeta militer yang berujung pada demontrasi besar-besaran yang menyebabkan kelumpuhan di semua sektor sesungguhnya telah membawa Myanmar kembali ke titik terendah.
Di tengah konflik yang tak kunjung usai, timbul suatu kekhawatiran bahwa Myanmar akan dihadapkan pada perang saudara dan bernasib seperti Libya dan Suriah pada saat ini.
Libya dan Suriah adalah dua contoh negara yang harus mengalami kehancuran diakibatkan oleh keegoisan berbagai oknum dan pecahnya berbagai fraksi dari aparat pemeritahan yang berujung pada terjadinya perang saudara yang akhirnya menelan ratusan ribu hingga jutaan korban jiwa.