Aksi Demonstrasi di Myanmar
Kondisi di Myanmar hari demi hari semakin tragis dan memprihatinkan. Setelah terjadi kudeta militer pada tanggal 1 Februari 2020 yang berujung pada penangkapan terhadap ratusan pejabat negara Myanmar termasuk Presiden Myanmar, Win Myint dan mantan aktivis serta pejuang Demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, kekerasan dan kekacauan segera melingkupi negara Pagoda tersebut.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh aktivis, mahasiswa hingga pejuang demokrasi segera terjadi di seluruh penjuru ibukota Myanmar, Yangoon dengan tujuan untuk menuntut supaya Aung San Suu Kyi, Win Myint, dan pejabat pemerintahan Myanmar lainya untuk dibebaskan dan juga menuntut agar Junta Militer Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Ming Aung Hlaing segera mundur dari kekuasaanya sebagai Pemimpin Myanmar saat ini.
Aksi demonstrasi yang tadinya diharapkan berjalan damai dan menemui titik terang berupa negosiasi segera berubah menjadi “ladang pembantaian” setelah polisi melakukan kekerasan untuk mematikan aksi demonstrasi tersebut dengan cara penangkapan, penggerebekan, dan yang paling brutal adalah menembaki demonstran dengan peluru tajam.
Pihak kepolisian tersebut memang tidak punya pilihan selain menuruti perintah dari pihak Junta Militer untuk menghadang aksi ribuan demonstran tersebut dengan cara kekerasan.
Hasilnya adalah hingga kini tercatat sebanyak 320 nyawa demonstran harus melayang yang diakibatkan oleh kebrutalan aparat kepolisian tersebut.
Dari ratusan korban jiwa tersebut yang paling terkenal adalah kisah gugurnya seorang demonstran wanita dan juga aktivis demokrasi yang bernama Kyal Sin.
Kyal Sin seketika langsung dianggap sebagai martir demokrasi dan pemakamanya dihadiri oleh ribuan demonstran serta aktivis demokrasi Myanmar.
Kematian Angel semakin menambah kemarahan rakyat Myanmar dan hasilnya adalah demonstrasi dan kerusuhan anti Junta Militer semakin meluas seiring dengan semakin bertambahnya korban jiwa dan juga korban luka dari kedua belah pihak.