Mohon tunggu...
Christopher lesmana
Christopher lesmana Mohon Tunggu... Atlet - Blogger

Christopherlesmana97@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cita-Cita dan Impian Jenderal Ahmad Yani yang Tidak Pernah Terwujud

5 Oktober 2020   23:35 Diperbarui: 6 Oktober 2020   00:21 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Sasmitaloka Ahmad Yani| Sumber : tribunnews.com

                                                  

Aku patung, mereka patung
Cangkir teh hangat namun kaku dan dingin
Meja-meja kayu mengkilap
Wajahmu dibasahi air mata yang dilukis

Tubuh kaku tidak bergerak
Ingin hapus air matamu tapi aku tak bisa
Patung-patung kayu mengkilap
Pikiran mereka kosong memikul peran

Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia
Tapi kita dalam diorama
Harusnya sisa masa ku buat indah menukar sejarah
Tapi kita dalam diorama 

Itu adalah penggalan lirik dari sebuah lagu milik Tulus yang berjudul "Diorama". Lirik ini mungkin cukup menggambarkan suasana di dalam Museum Sasmitaloka Ahmad Yani yang terletak di Jl.Lembang no.67, Menteng, Jakarta Pusat. 

Museum ini dulunya adalah rumah Jenderal Ahmad Yani yang dialihfungsikan menjadi Museum untuk mengenang Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal lainya yang gugur dalam G 30 S 1965 lewat patung, bingkai foto, piagam, surat tulisan,  duplikat seragam dinas dan barang berharga lainya. 

Museum ini menjadi saksi bisu ketika Jenderal Ahmad Yani harus kehilangan nyawanya setelah diberondong tembakan senjata laras panjang oleh pasukan Tjakarabirawa yang memang sudah ingin menculik sang Jenderal yang saat itu menjabat sebagai Menpangab pada jam 4 subuh dini hari, sebuah waktu yang seharusnya digunakan untuk "berbincang" dengan sang Khalik malah menjadi waktu yang menjadi sejarah menyedihkan bagi bangsa ini.

                                       

Museum Sasmitaloka Ahmad Yani| Sumber : tribunnews.com
Museum Sasmitaloka Ahmad Yani| Sumber : tribunnews.com
Tragedi tersebut bukan hanya merenggut nyawa sang Jenderal dan juga psikologis keluarganya. Akan tetapi, tragedi tersebut juga telah merenggut dan memupus cita-cita serta impian sang Jenderal yang ingin diwujudkanya untuk sang bumi ibu pertiwi. 

Jenderal Ahmad Yani adalah jenderal yang cerdas dan memiliki pemikiran serta rencana yang matang dalam berbagai operasi militer. Berkat kematanganya dalam menentukan taktik militer itulah, Jenderal Ahmad Yani menjadi tokoh yang berperan besar dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, Kahar Muzakar , DI/TII , dan Operasi Pembebasan Irian Barat. 

Semua keberhasilan itu pada akhirnya menjadikanya sebagai Jenderal kesayangan Presiden Soekarno pada saat itu dan itu yang membuatnya berhasil diangkat menjadi Menpangab pada tahun 1962. Bukan hanya itu, Jenderal Ahmad Yani juga mendapat "warisan" dari Bung Karno untuk menjadi penerusnya sebagai pemimpin bangsa ini bila Bung Karno tidak lagi menjabat sebagai Presiden. 

"Warisan" ini yang disambut gembira oleh keluarga dari sang Jenderal sendiri karena ini adalah bukti bahwa sang Presiden sudah melihat dengan "mata batin"nya sendiri bahwa Jenderal Yani adalah figur yang tepat untuk memimpin bangsa ini setelah dirinya.

Meski dekat dengan Bung Karno, Jenderal Yani sangatlah mewaspadai dan menentang berbagai kebijakan PKI yang berhaluan Komunis meskipun ideologi politik Indonesia saat itu adalah NASAKOM yang dicetuskan oleh Bung Karno itu sendiri. 

Alasanya jelas, sebagai seorang prajurit, Jenderal Yani pernah menjadi saksi betapa brutal dan kejamnya PKI dalam pemberontakan Madiun 1948.Itulah yang kemudian menjadi alasan mengapa sang Jenderal sangat mewaspadai partai pimpinan D.N.Aidit tersebut karena ideologi yang mereka anut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan persatuan Indonesia. oleh karena itu, Jenderal Yani sangat bertekad supaya jangan sampai persatuan Indonesia tergoyah oleh "ulah" partai tersebut.

Karena prinsip tersebut, Jenderal Yani sangat mengedepankan nilai toleransi dan persatuan umat beragama untuk menghadapi ancaman yang dapat mengancam nilai Pancasila dan persatuan Indonesia. Itu dibuktikan dengan kunjunganya ke Flores, provinsi NTT pada tanggal 25 Oktober 1965. 

Di pulau tersebut, Jenderal Yani bersama dengan rombongan Staf Angkatan Darat termasuk Jenderal D.I.Pandjaitan mengunjungi Seminari Tinggi Ledalero di Maumere, Flores yang merupakan yayasan pembinaan para Pastor Katolik di Flores saat itu. 

Kedatanganya ke tempat tersebut adalah untuk bersilatuhrami dengan umat Katolik sekaligus memberikan edukasi mengenai ancaman terhadap persatuan Indonesia dimana Gereja Katolik dapst berperan dalam menjaga keutuhan negara. 

Sebelum pamit, kepada  rektor seminari  Ledalero, Pastor Jozef Bouman SVD, Jenderal Yani berjanji untuk kembali. “Nanti saya akan datang kembali ,pastor rektor”ujarnya.

Akan tetapi, segala cita-cita, rencana, dan impian tersebut harus pupus sudah setelah sang Jenderal harus menjadi "martir" dalam gejolak Revolusi dan perselisihan ideologi politik pada tanggal 30 September 1965. 

Bukan hanya sang Pastor yang tidak bisa bertemu dengan sang Jenderal lagi setelah kunjungan pertama dan terakhir tersebut. Anak-anak sang Jenderal dan semua penggagumnya juga sudah tidak bisa lagi melihat sang Jenderal menjadi Pemimpin bangsa ini yang selama ini diimpikanya. 

Pada tanggal 5 Oktober 1965, yang seharusnya menjadi hari yang dirayakan o sebagai hari lahir ABRI malah berubah menjadi hari penuh tangisan dan duka cita oleh pemakaman Jenderal Yani dan keenam koleganya.

Meski Jenderal Yani harus menjadi tumbal dalam upaya mempertahankan nilai Pancasila dan persatuan Indonesia. Setidaknya cita-citanya dan impianya supaya Indonesia dan Pancasila tetap bersatu sudah berhasil diwujudkan hingga sekarang ini.

Dan kini kekuatan militer Indonesia juga semakin kuat dan diperhitungkan duniasepeninggalan dirinya. Oleh karena itu, dibalik dendam dan sakit hati yang dirasakan oleh anak-anak sanf Jenderal hingga saat ini. Mereka harus bersyukur karena ayah mereka telah menjadi bagian penting dalam tonggak perjalan panjang bangsa ini.

Sakit hatimu karena aku
Sakit membekas dalam, jadi bagian sejarah
Tak ada kesempatan untuk berkilah
Untuk selamanya masa itu menguasaimu

Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia
Tapi kita dalam diorama
Harusnya sisa masa ku buat indah menukar sejarah
Tapi kita dalam diorama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun