Meski dekat dengan Bung Karno, Jenderal Yani sangatlah mewaspadai dan menentang berbagai kebijakan PKI yang berhaluan Komunis meskipun ideologi politik Indonesia saat itu adalah NASAKOM yang dicetuskan oleh Bung Karno itu sendiri.
Alasanya jelas, sebagai seorang prajurit, Jenderal Yani pernah menjadi saksi betapa brutal dan kejamnya PKI dalam pemberontakan Madiun 1948.Itulah yang kemudian menjadi alasan mengapa sang Jenderal sangat mewaspadai partai pimpinan D.N.Aidit tersebut karena ideologi yang mereka anut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan persatuan Indonesia. oleh karena itu, Jenderal Yani sangat bertekad supaya jangan sampai persatuan Indonesia tergoyah oleh "ulah" partai tersebut.
Karena prinsip tersebut, Jenderal Yani sangat mengedepankan nilai toleransi dan persatuan umat beragama untuk menghadapi ancaman yang dapat mengancam nilai Pancasila dan persatuan Indonesia. Itu dibuktikan dengan kunjunganya ke Flores, provinsi NTT pada tanggal 25 Oktober 1965.
Di pulau tersebut, Jenderal Yani bersama dengan rombongan Staf Angkatan Darat termasuk Jenderal D.I.Pandjaitan mengunjungi Seminari Tinggi Ledalero di Maumere, Flores yang merupakan yayasan pembinaan para Pastor Katolik di Flores saat itu.
Kedatanganya ke tempat tersebut adalah untuk bersilatuhrami dengan umat Katolik sekaligus memberikan edukasi mengenai ancaman terhadap persatuan Indonesia dimana Gereja Katolik dapst berperan dalam menjaga keutuhan negara.
Sebelum pamit, kepada rektor seminari Ledalero, Pastor Jozef Bouman SVD, Jenderal Yani berjanji untuk kembali. “Nanti saya akan datang kembali ,pastor rektor”ujarnya.
Akan tetapi, segala cita-cita, rencana, dan impian tersebut harus pupus sudah setelah sang Jenderal harus menjadi "martir" dalam gejolak Revolusi dan perselisihan ideologi politik pada tanggal 30 September 1965.
Bukan hanya sang Pastor yang tidak bisa bertemu dengan sang Jenderal lagi setelah kunjungan pertama dan terakhir tersebut. Anak-anak sang Jenderal dan semua penggagumnya juga sudah tidak bisa lagi melihat sang Jenderal menjadi Pemimpin bangsa ini yang selama ini diimpikanya.
Pada tanggal 5 Oktober 1965, yang seharusnya menjadi hari yang dirayakan o sebagai hari lahir ABRI malah berubah menjadi hari penuh tangisan dan duka cita oleh pemakaman Jenderal Yani dan keenam koleganya.
Meski Jenderal Yani harus menjadi tumbal dalam upaya mempertahankan nilai Pancasila dan persatuan Indonesia. Setidaknya cita-citanya dan impianya supaya Indonesia dan Pancasila tetap bersatu sudah berhasil diwujudkan hingga sekarang ini.
Dan kini kekuatan militer Indonesia juga semakin kuat dan diperhitungkan duniasepeninggalan dirinya. Oleh karena itu, dibalik dendam dan sakit hati yang dirasakan oleh anak-anak sanf Jenderal hingga saat ini. Mereka harus bersyukur karena ayah mereka telah menjadi bagian penting dalam tonggak perjalan panjang bangsa ini.