Sumber : dailysabah.com
Sudah genap 1 bulan sudah saya dan mahasiswa Amerika Serikat lainya berada di negara ini, dan sudah banyak sekali hal-hal yang kami dapati selama meraih ilmu dari negara ini mulai dari tradisi, nilai kehidupan, dan norma-norma lainya yang mungkin sangat sedikit sekali kami dapati di negara asal kami.
Jika ingin dihitung, jumlah mahasiswa yang dikirim ke Turki adalah berjumlah 30 orang, itu dipilih berdasarkan prestasi dan nilai tertinggi yang didapati di Universitas kami.
Bagi saya sendiri, menjadi salah satu bagian dari “Mahasiswa Berprestasi” adalah sebuah kebangaan dan pencapaian tersendiri bagi saya meskipun banyak yang mengatakan bahwa predikat “Mahasiswa Beprestasi” tersebut tidak cukup menjadi sebuah jaminan bagi kita di masa mendatang. Tapi intinya saya tidak peduli dengan itu karena berkat predikat tersebut itulah saya bisa berada di negara indah ini.
Beruntung juga bagi saya, karena dari 50 mahasiswa yang terpilih untuk meraih ilmu di negara ini ada sekita 5 teman dekat saya yang mungkin bisa menjadi jaminan supaya saya ada teman ngobrol selama berkuliah di kota ini.
Mereka adalah Robert, William, Antonio, Jennifer, dan Tatiana. Kalau boleh dibilang, mereka adalah rekan dari awal pertama saya masuk satu kelas pertama sebagai mahasiswa baru di Universitas dan mungkin karena kita memiliki hobi dan topik pembicaraan yang sama pada akhirnya saya pun menjadi sangat dekat dengan mereka hingga sekarang.
Meski begitu, ada beberapa dari mereka yang sebenarnya sempat ditentang untuk masuk ke jurusan yang saat ini kita ambil. Contohnya adalah William, menurut ceritanya , dia pernah dilarang untuk masuk ke jurusan ini karena ayahnya ingin sekali anaknya menjadi tentara AD Amerika Serikat berhubung ayahnya adalah veteran Perang Dunia II ketika bertempur melawan Jepang di Filipina.
Jujur saya tak bisa membayangkan kengerian dari sang ayah ketika harus mempertaruhkan nyawa ketika bertempur melawan prajurit Jepang yang terkenal sangat brutal dan berani mati di tengah bisingan peluru dan dahsyatnya ledakan bom yang mungkin juga membunuh rekan-rekanya, saya pun menjadi heran mengapa sang ayah “memaksa” sang anak untuk ikut merasakan hal yang pernah dialaminya juga ?
beruntunglah sang ibunda dari William mampu memahami bakat anaknya dan meluluhkan hati suaminya supaya William bisa berkuliah di jurusan yang dia minati.
Berikutnya adalah Tatiana, seorang gadis cantik keturunan Jerman yang berasal dari Michigan. Layaknya William, Tatiana pun juga sempat ditentang habis-habisan oleh kedua orangtuanya untuk masuk ke jurusan ini.
Alasanya pun cukup tragis karena mereka tidak ingin Tatiana mengetahui dan mempelajari semua kejahatan dan kekejaman perang secara detail yang pernah dilakukan oleh bangsa aslinya.
Kalau boleh dijabarkan, Tatiana adalah cucu dari imigran Jerman yang berimigrasi ke daratan Amerika Serikat pada tahun 1905 dan Orang Tua Tatiana pun pernah mengalami perlakuan diskriminasi karena darah Jerman yang mengalir dalam tubuh mereka baik pada Perang Dunia II hingga berakhirnya perang, sempat terpikir bagi mereka untuk pindah kewarganegaraan karena diskriminasi tersebut, akan tetapi ayah Tatiana yang merupakan seorang Pendeta bersikeras untuk tetap berada di negeri Paman Sam yang menjadi tanah kelahiranya karena dia yakin bahwa kelak orang Amerika sadar bahwa semua orang Jerman tidak sekejam Adolf Hitler dan antek-anteknya.
Pada akhirnya kini semuanya seolah sudah berdamai dengan segala kejadian yang terjadi 20 tahun silam. Tatiana yang dilahirkan tepat 2 tahun setelah Perang Dunia berakhir dengan tegas berani berbicara lantang di depan kedua orang tuanya bahwa masuk ke jurusan ini dapat membuatnya belajar dan mengetahui semua yang terjadi di masa lampau serta berani memaafkan bangsanya sendiri.
Akhirnya, orang tua Tatiana mengijinkan Tatiana untuk berkuliah di New York.Sedangkan 3 teman saya yang lainya, mereka tidak punya problema apapaun untuk diceritakan kepada saya. Entah itu mereka tidak punya atau mereka menyembunyikanya yang jelas sehari-hari mereka tampak cukup kompak dan bahagia.
Pada malam hari, kita berlima berkumpul di sebuah taman di halaman depan asrama tersebut. Kami berlima pun dengan kompak menghisap rokok produk lokal Turki yang jika dihitung seharga 2 Dollar di negeri kami dan ditambah dengan suasana malam Istanbul yang tenang serta udara yang semakin dingin di bulan November semakin menambah ketenangan hati kami.
Tak lupa, kami pun membaca surat yang dikirimkan dari tanah kelahiran kami. Setidaknya ada 6 buah surat yang dikirimkan untuk saya pribadi, surat tersebut berasal dari kedua orang tua saya, sepupu dan teman Universitas saya yang lainya.
Setidaknya saya cukup beruntung karena isi surat tersebut membawa berita baik dan itu sudah cukup bagi saya untuk menghilangkan kekhawatiran saya tentang kabar keluarga dan teman-teman terdekat selama saya berada di kota ini.
Mungkin nanti saya akan membalas surat mereka dengan pos surat dengan ciri khas Turki dan mengirimkan beberapa cendramata dari negara ini. Kelima teman saya juga tampak tersenyum sembari membaca surat-surat yang mereka terima, Antonio yang merupakan seorang Hispanic tiba-tiba tertawa sembari berkata “ Lihat sekarang ayahku sudah jago memasak Nachos dan Tortilla untuk keluargaku padahal dulu dia tidak bisa sama sekali dan harus selalu aku dan ibuku yang mengajarkanya untuk memasak.”
Kita semua pun tertawa mendengar cerita Antonio tersebut, kemudian Jennifer, seorang gadis yang juga kelahiran New York kemudian juga bercerita “ Kekasihku baru saja diterima di Universitas Kedokteran Chicago, tentu saja aku berharap dia kelak bisa menjadi dokter yang hebat.”
Kemudian aku pun bertanya “Jadi kekasih laki-lakimu lebih muda 2 tahun daripada kita.”
Mendengar pertanyaan saya, Jennifer pun tersenyum dan menjawab “ Iyah, tapi bagi saya itu tidak masalah karena tampak sangat tulus dan berpikiran terbuka dalam menjalin hubungan ke depanya.”. Mendengar perkataan Jennifer, saya menjadi cukup kagum karena jarang sekali ada wanita yang mau menjalin hubungan percintaan dengan lelaki yang lebih muda darinya, tetapi semua orang berhak untuk berprinsip pada kisah cintanya.
Sekilas saya melihat ke arah William, dimana dia tampak murung sembari membaca suratnya, “Apa yang terjadi” tanyaku, kemudian dia pun menjawab : “ Keempat sahabatku baru saja dikirimkan ke Vietnam untuk bertempur disana, aku tidak menyangka bahwa mereka benar-benar mewujudkan mimpinya menjadi prajurit, semoga tidak terjadi apa-apa dengan mereka”.
Mendengar itu, saya menjadi terkejut sekali karena rencana invasi ke Vietnam yang sempat berhembus kencang dalam beberapa bulan terakhir sebelum keberangkatan kami ke Turki ternyata menjadi sebuah kenyataan.
Yap, ternyata sang presiden terhormat memutuskan untuk melakukan “Perang Salib” melawan komunisme di Vietnam, sebuah negara yang hanya saya ketahui melalui buku dan kisah perang Dien Bien Phu yang mengalahkan Prancis 11 tahun silam. Saya hanya berharap supaya Amerika Serikat tidak mengalami nasib yang sama seperti Prancis tapi saya juga tidak berharap supaya perang ini terwujud karena saya tahu akan banyak prajurit muda yang terbunuh di Vietnam nantinya.
Robert kemudian menepuk pundak William dan berkata “ Kau setidaknya beruntung bisa berkuliah di jurusan yang kita ambil sekarang ini dan bisa berada juga di negeri ini, aku tidak bisa membayangkan jika kau akan bertarung hidup di Vietnam nantinya seperti keempat sahabatmu itu.” Kemudian William menghela napas dan berkata : “Aku hanya bingung mengapa negara kita tidak pernah berhenti untuk berperang.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H