"Buat apa kamu capek-capek kuliah di jurusan Bioteknologi, ujung-ujungnya malah jadi editor naskah fiksi?"
Aku sudah muak dengan segala cibiran yang dilontarkan keluargaku. Saat itu memang bekerja di luar rumah sangat tidak memungkinkan karena adanya pandemi, jadi aku berusaha mencari pundi-pundi uang sebisaku.
Karena aku memiliki ketertarikan yang besar di bidang sastra, aku pikir tidak ada salahnya untuk menjadi penyunting, atau biasa disebut sebagai editor.
***
Tahun demi tahun telah berlalu. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku sebagai seorang penyunting, sosok yang selalu berkutat dengan kegiatan yang bersifat memperbaiki dan mengubah sesuatu. Meskipun aku sudah putus hubungan dengan keluargaku, masih saja ada orang yang mencibirku dengan pekerjaanku.
"Gila, Hanfalis ngepet ya? Kok, bisa dia punya rumah sebesar itu?"
"Denger-denger dia ada piara tuyul."
"Tapi duitnya banyak banget, lho, meskipun dia di rumah aja. Apa dia ngepet separah itu?"
Aku tertawa mendengar berbagai kasak-kusuk para tetangga terhadap diriku. Biar saja mereka mau berkata apa, karena aku tipikal orang yang lebih suka bekerja di balik layar, bukan pencari atensi seperti yang dilakukan manusia-manusia pada umumnya.
Pagi ini, seperti biasa aku menyibak karpet di kamarku. Aku meletakkan tanganku di lantai, kemudian ada sensor biometrik yang membuka pintu menuju tangga ke rubanah. Tidak seperti di film-film, tangga yang aku lewati tidak sempit dan gelap, melainkan terang dan dipenuhi warna putih.