penyakit Kusta atau Lepra? Ya, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, penyakit itu dianggap sebagai sebuah momok yang menakutkan. Selain karena efek penularannya, stigma sebagai penyakit kutukan melekat sejak zaman nenek moyang hingga sekarang. Jangankan di Indonesia, di Jepang penyakit Kusta dahulu juga dianggap sebagai semacam atas perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada kehidupan sebelumnya.Â
Apa yang terlintas dipikiran kita saat mendengarDi beberapa negara lain, cerita-cerita Kusta sebagai penyakit yang bersifat kutukan lebih menyakitkan bagi penderitanya disbanding penyakitnya itu sendiri. Sebab diskriminasi dan isolasi sosial yang dialami bagi penderita Kusta menyebabkan mereka harus menanggung beban psikologis yang amat berat. Tak jarang, kematian karena kusta lebih disebabkan oleh beban psikologis dibandingkan penyakitnya itu sendiri.
Rabu (20/11/2024) saya mendapatkan kesempatan istimewa melakukan perjalanan ke sebuah kampung yang sebagian besar penduduknya mantan orang-orang penderita kusta. Bagi kolega orang Jepang saya membersamai saya, mereka seriing menyebutnya sebagai Kampung Koloni Kusta. Saya lebih suka menyebutnya sebagai kampung mantan penderita kusta, sebab dulunya mereka pernah menderita kusta namun kini sudah sembuh.Â
Tanda-tanda dampak kusta berupa kecacatan tubuh seperti jari-jari yang mengkerut atau bahkan terpotong separuh, kaki yang teramputasi, dan kulit kegosongan seperti ada bekas koreng masih ada. Kampung itu bernama Sumberglagah, yang terletak di Desa Tanjung Kenongo, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Mengacu pada istilah medis, kusta atau lepra merupakan penyakit disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri itu memang bisa menular dari satu orang ke orang lain. Mengenai bagaimana caranya, itu yang masih perdebatan? Pendapat paling banyak, melalui percikan cairan dari saluran pernapasan, ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin. Perlu diketahui, bahwa seseorang dapat tertular jika terkena percikan dari penderitanya secara terus-menerus dalam waktu yang lama.Â
Dengan kata lain, bakteri penyebab kusta tidak dapat menular kepada orang lain dengan mudah, dan ia membutuhkan waktu yang lama untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita. Oleh karena itu, orang yang terjankt kusta biasanya memerlukan waktu lama untuk mengetahui dirinya terkena kusta.
Kampung Sumberglagah dulunya merupakan tempat kosong, yang kemudian dihuni oleh orang-orang penderita kusta (koloni) yang datang dari berbagai daerah, khususnya di Jawa timur. Awalnya, mereka datang dengan maksud untuk berobat di RSUD Sumberglagah yang dahulu memang spesialis kusta. Setelah sembuh, mereka memilih untuk tidak kembali lagi ke kampungnya. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab stigma buruk dari masyarakat yang tidak pernah usai, membuat mereka menjadi tidak nyaman bahkan mendapat perlakuan diskriminasi di kampung asalnya.Â
Pada akhirnya lebih memilih untuk menetap di sekitar RSUD dan membuat perkampungan. Diantara mereka bahkan kemudian saling jatuh-cinta dan membangun keluarga sesame eks-penderita kusta. Awalnya hanya terdapat 15 KK, namun seiring dengan berjalannya waktu, sekarang sudah menjadi lebih dari 200 KK termasuk anak dan cucu mereka. Mereka tumbuh secara sosial, menikah, dan menghasilkan keturunan yang normal hingga beberapa generasi.
Sebetulnya, saya datang bersama beberapa teman dari Jepang. Mereka hadir sebagai perwakilan dari sebuah foundation yang bergerak untuk melawan penyakit kusta se-dunia. Sebagai orang yang tidak punya pengetahuan banyak tentang kusta, jujur awalnya saya merasa tidak berani untuk bersalaman. Walaupun saya tahu bahwa kusta bukanlah penyakit yang gampang menular, tetapi tetap saja alam bawah sadar saya seperti enggan untuk bersalaman. Saay bersalaman setelah melihat kolega saya bersalaman saat pertama datang dan langsung akrab berbincang dengan beberapa warga, akhirnya saya mengikutinya dan menghasilkan obrolan ber jam-jam.
Saya teringat saat SMP, saya pernah punya seorang kawan penderita kusta. Karena hal itu, lalu ia terkucilkan dari teman-teman hingga tidak berani untuk masuk sekolah. Pada saat yang bersamaan, saya lah satu-satunya orang yang masih mau berteman dan masih sedia berkunjung ke rumahnya. Modal saya cuma keberanian, berani ambil resiko. Saya yakinkan dia untuk tidak minder dan tetap semangat menjalani hari-hari. Singkat cerita, teman saya bangkit secara psikologis dalam melawan penyakit yang ia derita. Ia jalani pengobatan rutin ke puskesmas hingga bisa sembuh dan bekerja sebagaimana teman-teman lainnya, meskipun dibadannya masih terlihat tanda-tanda bekas kusta.
Satu hal yang saya harus garis bawahi tentang pengalaman ini. Pilihan saya untuk tetap berteman ternyata membangkitkan semangatnya mencapai kesembuhan dan kemudian menjalani kehidupan normal. Tapi memang tak mudah, butuh keberanian (baca: nekad) untuk tetap berteman dengannya. Pelajarannya, solidaritas ternyata tak cukup dengan belas kasihan namun juga menuntut keberanian.
Perlu kita ketahui lagi, sebetulnya penyakit kusta tidaklah seburuk stigma yang beredar. Kusta bisa disembuhkan penularannya dengan berobat secara rutin. Kusta hanya bisa menular jika kita melakukan kontak dalam waktu yang lama. Hanya saja stigma yang beredar telah memberikan beban, tidak hanya sekedar medis namun juga beban sosial yang berat. Dari perjalan ini, saya banyak mendapat inspirasi terutama agar masyarakat harus tahu stigmatisasi tentang kusta ini harus dihentikan.
Di sisi lain, pemerintah tampaknya belum serius memberikan perhatian terhadap isu ini. Jika dilihat dari kacamata global, Indonesia menjadi negara ketiga terbesar pengidap kusta, setelah India dan Brazil. Di Indonesia, saat ini ada sekitar 13.000-15.000 penderita kusta. Jika dibandingkan dengan 280 juta jumlah penduduk Indonesia, prosentasenya tampak kecil hanya 0,005%. Namun jangan dilihat dari prosentasi, lihatlah dari apa yang diderita oleh pengidapnya, mereka tidak hanya menderita secara fisik namun lebih berat lagi justru pederitaan sosial.
Di sisi lain, kebijakan asuransi BPJS juga belum berpihak kapada penderita kusta. Orang yang terjangkit kusta masih kesulitan untuk mendapat rujukan untuk dirawat di rumah sakit yang diperuntukan bagi penderita kusta, yang biasanya berada di luar daerahnya. Mereka hanya bisa rawat jalan di Puskesmas terdekat dan jikapun ke rumah sakit kusta maka harus menanggung sendiri biaya. Demikian juga tanggungan untuk pembayaran kaki palsu bagi yang diamputasi, BPJS hanya membayarkan setengah dari pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit untuk pembeliannya.
Ingat, salah satu kewajiban konstitusional Negara (Pemerintah) adalah melindungi segenap warga negara. Pemerintah berkewajiban melindungi setiap warga negara dari penderitaan penyakit kusta. Pemerintah wajib secara serius meng-eradikasi penyakit kusta dari bumi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H