Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih baik turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Balik Kampung Kusta, Pesan Penderita Untuk Pemerintah Indonesia

23 November 2024   10:35 Diperbarui: 23 November 2024   10:47 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas dipikiran kita saat mendengar penyakit Kusta atau Lepra? Ya, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, penyakit itu dianggap sebagai sebuah momok yang menakutkan. Selain karena efek penularannya, stigma sebagai penyakit kutukan melekat sejak zaman nenek moyang hingga sekarang. Jangankan di Indonesia, di Jepang penyakit Kusta dahulu juga dianggap sebagai semacam atas perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada kehidupan sebelumnya. 

Di beberapa negara lain, cerita-cerita Kusta sebagai penyakit yang bersifat kutukan lebih menyakitkan bagi penderitanya disbanding penyakitnya itu sendiri. Sebab diskriminasi dan isolasi sosial yang dialami bagi penderita Kusta menyebabkan mereka harus menanggung beban psikologis yang amat berat. Tak jarang, kematian karena kusta lebih disebabkan oleh beban psikologis dibandingkan penyakitnya itu sendiri.

Rabu (20/11/2024) saya mendapatkan kesempatan istimewa melakukan perjalanan ke sebuah kampung yang sebagian besar penduduknya mantan orang-orang penderita kusta. Bagi kolega orang Jepang saya membersamai saya, mereka seriing menyebutnya sebagai Kampung Koloni Kusta. Saya lebih suka menyebutnya sebagai kampung mantan penderita kusta, sebab dulunya mereka pernah menderita kusta namun kini sudah sembuh. 

Tanda-tanda dampak kusta berupa kecacatan tubuh seperti jari-jari yang mengkerut atau bahkan terpotong separuh, kaki yang teramputasi, dan kulit kegosongan seperti ada bekas koreng masih ada. Kampung itu bernama Sumberglagah, yang terletak di Desa Tanjung Kenongo, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Mengacu pada istilah medis, kusta atau lepra merupakan penyakit disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri itu memang bisa menular dari satu orang ke orang lain. Mengenai bagaimana caranya, itu yang masih perdebatan? Pendapat paling banyak, melalui percikan cairan dari saluran pernapasan, ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin. Perlu diketahui, bahwa seseorang dapat tertular jika terkena percikan dari penderitanya secara terus-menerus dalam waktu yang lama. 

Dengan kata lain, bakteri penyebab kusta tidak dapat menular kepada orang lain dengan mudah, dan ia membutuhkan waktu yang lama untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita. Oleh karena itu, orang yang terjankt kusta biasanya memerlukan waktu lama untuk mengetahui dirinya terkena kusta.

Kampung Sumberglagah dulunya merupakan tempat kosong, yang kemudian dihuni oleh orang-orang penderita kusta (koloni) yang datang dari berbagai daerah, khususnya di Jawa timur. Awalnya, mereka datang dengan maksud untuk berobat di RSUD Sumberglagah yang dahulu memang spesialis kusta. Setelah sembuh, mereka memilih untuk tidak kembali lagi ke kampungnya. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab stigma buruk dari masyarakat yang tidak pernah usai, membuat mereka menjadi tidak nyaman bahkan mendapat perlakuan diskriminasi di kampung asalnya. 

Pada akhirnya lebih memilih untuk menetap di sekitar RSUD dan membuat perkampungan. Diantara mereka bahkan kemudian saling jatuh-cinta dan membangun keluarga sesame eks-penderita kusta. Awalnya hanya terdapat 15 KK, namun seiring dengan berjalannya waktu, sekarang sudah menjadi lebih dari 200 KK termasuk anak dan cucu mereka. Mereka tumbuh secara sosial, menikah, dan menghasilkan keturunan yang normal hingga beberapa generasi.

Sebetulnya, saya datang bersama beberapa teman dari Jepang. Mereka hadir sebagai perwakilan dari sebuah foundation yang bergerak untuk melawan penyakit kusta se-dunia. Sebagai orang yang tidak punya pengetahuan banyak tentang kusta, jujur awalnya saya merasa tidak berani untuk bersalaman. Walaupun saya tahu bahwa kusta bukanlah penyakit yang gampang menular, tetapi tetap saja alam bawah sadar saya seperti enggan untuk bersalaman. Saay bersalaman setelah melihat kolega saya bersalaman saat pertama datang dan langsung akrab berbincang dengan beberapa warga, akhirnya saya mengikutinya dan menghasilkan obrolan ber jam-jam.

Saya teringat saat SMP, saya pernah punya seorang kawan penderita kusta. Karena hal itu, lalu ia terkucilkan dari teman-teman hingga tidak berani untuk masuk sekolah. Pada saat yang bersamaan, saya lah satu-satunya orang yang masih mau berteman dan masih sedia berkunjung ke rumahnya. Modal saya cuma keberanian, berani ambil resiko. Saya yakinkan dia untuk tidak minder dan tetap semangat menjalani hari-hari. Singkat cerita, teman saya bangkit secara psikologis dalam melawan penyakit yang ia derita. Ia jalani pengobatan rutin ke puskesmas hingga bisa sembuh dan bekerja sebagaimana teman-teman lainnya, meskipun dibadannya masih terlihat tanda-tanda bekas kusta.

Satu hal yang saya harus garis bawahi tentang pengalaman ini. Pilihan saya untuk tetap berteman ternyata membangkitkan semangatnya mencapai kesembuhan dan kemudian menjalani kehidupan normal. Tapi memang tak mudah, butuh keberanian (baca: nekad) untuk tetap berteman dengannya. Pelajarannya, solidaritas ternyata tak cukup dengan belas kasihan namun juga menuntut keberanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun