Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, merupakan salah satu Ponpes terbesar di Jawa Tengah. Hingga kini jumlah santri dan santriwatinya mendekati 10.000 santri.
Ponpes tersebut didirikan oleh almarhum KH Chudlori (1912-1977), seorang ulama sederhana pada tahun 1944. Perkampungan Tegalrejo merupakan kawasan pedalaman, tujuan mendirikan Ponpes adalah karena ghiroh jihad yang dimiliki mbah Yai Chudlori untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama sekaligus memperkuat geliat syiar Islam di kampung halamannya. Selain itu, dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat Tegalrejo pada saat itu masih banyak penyimpangan dan terkenal dengan kriminalitasnya.
Â
Ponpes API Tegalrejo pada semula berdirinya tanpa nama dan hanya dikenal umum sebagai  Pondok Tegalrejo saja. Pun setelah berkembang menjadi besar dan atas usulan oleh beberapa pihak, akhirnya KH Chudlori memberinya nama Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo. Nama yang cukup unik dan berbeda dengan nama-nama ponpes pada umumnya, karena kebanyakan ponpes yang lain menamainya dengan memakai nama-nama Arab. Â
Semasa hidupnya, mbah Yai Chudlori mondok di beberapa tempat, tetapi yang paling lama adalah di Ponpes Tebuireng di bawah asuhan langsung Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Ada cerita menarik saat Kayu Chudlori mondok di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Dikisahkan, selama mondok Ayahnya mengirim uang sebanyak Rp. 750,- per bulan. Tetapi ia hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori muda hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, yaitu amalan yang biasa dilakukan oleh para santri.
Pun selama mondok di Tebuireng antusiasme belajar untuk mendalami ilmu agama begitu tinggi, bahkan beliau membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori muda naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik.
Kotak yang sempit dan tidak nyaman serta berbahaya untuk duduk menjadi pemantik kedisiplinannya sebagai sarana belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja beliau tertidur sebelum tengah malam, beliau menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur.
Figur mbah Yai Chudlori merupakan pribadi yang alim, sederhana dan rendah hati, pun juga selalu dekat dengan masyarakat setempat. Selain itu, gaya dalam berdakwahnya unik. Beliau juga mengayomi dan  sering menjadi tempat bagi warga masyarakat sekitar untuk berkeluh kesah tentang kehidupan maupun memecahkan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan.
Yuk Baca artikel-artikelku yang lain di sini... :
Ini Makna Filosofis di Balik Kafe Pedjuang  Â
Awal Kenal Anies, Simpati Karena Rendah Hati
Merdeka! Pahlawan Hakikatnya adalah Relawan
Cerita lainnya, pada suatu ketika datanglah serombongan warga diseputaran Magelang, sowan ke pondok mbah Yai Chudlori. Menurut penuturan cerita dari seorang putranya yang bernama KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) yang kini memimpin pondok tersebut, peristiwa itu terjadi saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih nyantri di Ponpes API Tegalrejo, karena pada saat itu cucu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tersebut pun ikut mendampingi mbah Yai Chudlori menemui para tamu tersebut.
Tenyata para tamu tersebut "nyambangi" mbah Yai Khudori bermaksud untuk menjadi penengah dan meminta pertimbangan antara perbedaan pendapat warga terkait pemanfaatan dana kas desa. Ada sekelompok warga yang menginginkan untuk membangun masjid, namun sebagian tak sedikit yang ingin membeli gamelan untuk hiburan warga. Â
Tak disangka, mbah Yai Chudori menyarankan agar sebaiknya dana kas desa tersebut digunakan untuk membeli gamelan. Mbah Yai Chudlori berpendapat bahwa apabila gamelannya sudah ada dan masyarakatnya rukun, maka nanti dengan sendirinya dana untuk masjid akan ada. Karena keadaan warga setempat sudah menjadi kompak sehingga mudah diajak untuk bergotong royong. Dengan bergotong royong itulah pekerjaan apa pun akan terasa ringan, termasuk membangun sebuah masjid yang besar.
Ponpes API Tegalrejo tidak hanya melahirkan guru dalam arti pengajar, namun, banyak lulusan pesantren ini yang sukses menjadi tokoh penting, salah satunya adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mantan Presiden RI ke-4 yang pernah mondok selama dua tahun semenjak tahun 1957. []
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H