Salah seorang warga lagi menyampaikan, "Setelah digusur warga dipindahkan di Rusunawa (rumah susun sewa). Tetapi kami musti membayar sewa Rp. 300.00,- per bulan (diistilahkan dengan IPL). Belum lagi bayar voucher listrik per bulan yang bisa mencapa Rp. 200.000,-/bulan, air Rp. 250.000,-/bulan, biaya parkir dan sebagainya. Total per bulannya bisa mencapai minimal Rp. 800.000,-. Bandingkan dengan pengeluaran sebelumnya yang rata-rata tak sampai Rp. 200.000,-. Bagi kami itu sangat berat mengingat profesi kami yang rata-rata hanya penjaga toko atau pekerja serabutan. Belum lagi, jika menunggak tidak bisa bayar sewa, disegel dan kita bisa diseret keluar.
Tanah Ulayat
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sebagian rumah sudah terlanjur digusur, tinggal tersisa rumah-rumah yang malam itu kami datangi. Warga yang tidak, atau tepatnya belum, tergusur juga mengalami kekhawatiran akut suatu saat akan digusur. "Tidak menutup kemungkinan kampung ini suatu saat akan dijadikan apartemen, kami diusir. Kami masih trauma dengan kejadian kemarin. Contoh kemarin tidak manusiawi banget", kata Pak Dedi.
Seandanya ada yang bersedia mendengarkan, mereka sebenarnya ingin berargumentasi, bahwa apa yang kemudian disebut sebagai tanah negara sehingga mereka bisa diusir begitu saja dan kapan saja, sesungguhnya adalah tanah ulayat.
"Kami bisa membuktikan dengan surat verbonding sejak zaman Belanda. Masih ada. BPN saja sudah mengeluarkan keterangan bahwa ini tanah ulayat, dan belum ada buktinya kalau tanah ini pernah dibeli oleh pemerintah. Tetangga kami, Pak Soleh di RT 12 RW 02
masih memiliki bukti asli surat-surat itu. Haji Ishak juga masih punya bukti-bukti pembayaran pajak mulai dari zaman Ireda, Ipeda, sampe sekarang namanya PBB." Saya tentu bukan pada posisi untuk menindaklanjuti mengecek keberadaan bukti-bukti tersebut, Â karena saya tidak sedang melakukan penelitian sejarah ataupun sedang advokasi.
"Sebelum pemerintahan RI ada, kami sudah terlebih dahulu mendiami kampung ini. Kakek saya lahir di sini. Disamping itu juga terdapat bukti-bukti makam keramat dan cagar budaya. Di kampung ini terdapat makam Kyai Kosim Bin Tohir (meninggal tahun 1947) yang masih saudara dengan Habib Husain Alydrus di Luar Batang. Ini merupakan bukti bahwa kami adalah penduduk sah di kampung ini." Pada makam itu tertulis kelahirannya tahun 1857. Letaknya hanya 10 meter dari kali, tepatnya di RT 09/02. Terutama setiap malam Jumat, makam itu banyak dikunjungi para peziarah yang justru kebanyakan dari luar Jakarta.
(Foto: Bersama warga Kampung Pulo)
Semangat Perlawanan
Bukti-bukti di atas menjadi penegas keyakinan warga Kampung Pulo bahwa mereka sesunggunnya memiliki hak atas kampung mereka. Oleh karena itu penggusuran paksa yang dilakukan oleh rezim petahana menjadi momok terbesar dalam hidup mereka. Bagi mereka, Pilkada DKI 2017 adalah kesempatan untuk melakukan 'pembalasan' atas perlakukan yang meraka terima. Dalam kamus warga Kampung Pulo, satu-satunya jalan adalah menghentikan petahana untuk kembali berkuasa. Caranya, berbondong-bondong menjadi relawan, mengkampanyekan untuk tidak mencoblos nomor 2. Â
Mengutip kata-kata Pak Dedi lagi, "Sekarang itu bagaimana caranya berjuang mengalahkan Ahok. Itu saja! Kita sudah petakan siapa-siapa orang-orangnya dia di kampung ini. Kita tahu ada penggeraknya, perempuan. Dia mendekati ibu-ibu yang ada di rumah, diajak ikut pengajian dan dikasih uang. Kita akan halau mereka, kita akan kalahkan!" Â