"Langsung saja saya bilang, kalau Jakarta mau lebih baik pilih saja Anies Baswedan. Saya sudah kenal dan ketemu langsung. Saya tunjukkan foto di HP saya, bahwa saya sudah bertemu dengan Anies langsung. Tapi sepertinya belum yakin betul. Maklumlah, saya ini khan bukan orang sekolahan. Jadi ya, ngomongnya tidak menyakinkan. Makanya saya ajak Mas malam itu, agar bisa menjelaskan dengan cara orang sekolahan."
"Saya bilang, kalau Bapak belum yakin dengan saya, besok malam saya bawa timnya Pak Anies untuk datang langsung ke rumah Bapak deh," imbuhnya.
Pantasan waktu mereka setengah memaksa agar saya mau datang ke rumah Pak RW itu. Hal itu ia lakukan bukan hanya sekali. Saya berkali-kali diajak mereka 'bergerilya' mendatangi tokoh-tokoh kunci di kampung-kampung untuk memberikan penjelasan siapa Anies Baswedan dan Sandiaga Uno serta apa saja program-programnya.
Kata Pak Uwoh, "Mas, kenapa saya selalu minta Mas yang datang, karena kalau sudah Mas menjelaskan, mereka langsung mantuk-mantuk, Mas. Langsung yakin dan besoknya aktif bergerak sebagai relawan."
Selama perjalanan setengah tahun lebih perjalanan kerelawanan Anies-sandi, komunitas relawan penggali makam Tanah Kusir salah satu yang paling aktif bergerak. Merekalah yang secara aktif mengajak orang-orang untuk kenal dan akhirnya bergabung dengan Pendopo Relawan Anies-Sandi. Mereka pulalah yang setiap malam Jumat aktif memimpin doa bersama di Pendopo, tanpa pernah putus semenjak awal pertama kali Anies-Sandi resmi dicalonkan sampai dengan hari H pencoblosan.
Mereka bergerak tanpa pernah minta bantuan uang sepeser pun kepada Paslon ataupun tim sukses. Saat acara, tak jarang mereka malah membawa snack atau jajanan pasar lain untuk konsumsi. Paling-paling, jika ada sumbangan atribut kampanye seperti spanduk, kaos, poster, mereka akan minta untuk kemudian disalurkan lagi kepada relawan-relawan lain di kampungnya masing-masing.
Bagi mereka, keterlibatannya dalam politik kali ini adalah lebih dari sekadar menyalurkan suara. Memang ada hal yang bersifat hubungan emosional sehingga mereka mendukung Anies-sandi, yaitu bahwa mereka adalah kebetulan pengelola makam di mana kakek dari Anies dikuburkan di situ. Tetapi lebih jauh dari itu, keaktifan itu adalah bagian dari cara mereka untuk melakukan perubahan.
Dalam skala yang lebih makro, mereka ingin ada perubahan kepemimpinan di Jakarta yang lebih bisa dekat dengan rakyat dan berkomunikasi dengan santun. Anies, mereka sudah mengenal lebih lama meskipun melalui interaksi langsung hanya sebatas saat Anies dan keluarga berziarah ke makam kakeknya. Tetapi itu cukup untuk mengetahui watak dan karakternya. Sedangkan pada skala yang lebih mikro, mereka ingin ada perhatian lebih pada profesi pengelola makam. Namanya saja taman pemakaman, tetapi sering kali dikelolanya tidak sebagaimana mengelola taman.
Pertama, namanya taman pemakaman, oleh karena itu selayaknya dibuat lebih nyaman untuk para peziarah dan masyarakat sekitar. Tanaman-tamanan yang mendukung keindahan sudah selayaknya diperbanyak sehingga mengesankan suasana asri. Sebagai jawaban atas ini, di kampung sekitar Tanah Kusir masih banyak terdapat tanah kosong yang idle (tak terpakai). Mereka punya usulan untuk bisa dimanfaatkan untuk ditanami. Misalnya ditanami dengan tanaman-tanaman bunga yang biasanya dipakai peziarah, atau bisa juga untuk budi daya rumput taman yang biasanya juga digunakan untuk menghijaukan gundukan makam. Penggarapnya biarlah para pekerja makam tersebut, mereka akan dengan senang hati mengerjakannya. Itu menjadi penghasilan tambahan buat mereka.
Kedua mengenai birokrasi pengurusan proses pemakaman dirasa saat ini masih terlalu panjang. Untuk mengurus pemakaman, keluarga jenazah pertama kali musti mendapatkan surat keterangan kematian dari rumah sakit atau puskesmas setempat. Selanjutnya musti datang ke kantor kelurahan untuk mendapatkan surat keterangan lagi. Surat inilah yang kemudian dibawa ke bagian administrasi pengelola pemakam untuk mendapatkan surat rekomendasi pihak pemakaman. Dari pemakaman mereka harus ke kelurahan lagi untuk mendapatkan surat pengesahan. Setelah itu mereka membayar administrasi di kantor kas Bank DKI dan kembali lagi ke kelurahan.