Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari King Maker

17 April 2014   12:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh M. Chozin Amirullah*

[caption id="attachment_303597" align="alignright" width="300" caption=""][/caption]

PEROLEHAN suara parpol-parpol dalam Pemilu 2014 lalu tidak ada yang melebihi 20 persen. Konsekuenesinya, tidak ada satupun Parpol yang bisa mengusung Capresnya sendirian. Sebab, syarat agar parpol bisa mengusung capres sendirian adalah memenuhi 20 persen kursi nasional atau 25 persen suara nasional. Oleh karena itu, koalisi adalah sebuah keniscayaan bagi parpol-parpol yang akan mengusung capres.

Berkaca pada perolehan suara berdasarkan quick count, saat ini sudah tergambar tiga poros koalisi: pertama, koalisi dengan poros PDI-P yang mengusung capres Jokowi; kedua, koalisi yang dibangun oleh Golkar dengan mengusung Aburizal Bakrie sebagai capres; dan ketiga, poros koalisi yang dibangun oleh Gerindra dengan mengusung Capres Prabowo. Pertanyaannya adalah, mungkinkan dibangun jalan baru dengan membentuk koalisi poros keempat?

Dalam sebuah negara yang menganut sistem presidensial multi partai seperti Indonesia, memang agak susah untuk mendapatkan pemenang mayoritas. Mau tidak mau parpol yang akan mengusung capres harus berkoalisi dengan partai lain. Demikian juga, akan sulit membangun koalisi ideal berdasarkan kesamaan ideologi/platform. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah lahirnya koalisi lintas ideologi karena kepentingan pragmatis berdasarkan bagi- bagi kekuasaan belaka (power sharing).

Perebutan untuk mendapatkan koalisi, sudah dimulai dengan penjajakan komunikasi antar parpol dilakukan secara intensif. Yang paling mencolok safari politik yang dilakukan Jokowi dengan mendatangi ketua-ketua parpol seperti Suryo Paloh (Nasdem), Aburizal Bakrie (Golkar), dan Muhaimin Iskandar (PKB). Bisa dibilang, saat ini Jokowi adalah yang paling aktif mendatangi (dan atau didatangi) para pimpinan parpol untuk mempercepat koalisinya. Hasilnya, Nasdem sudah dipastikan berkoalisi dengan PDI-P dengan pernyataanya mendukung Jokowi maju di Pilpres. Sedangkan Golkar sudah memastikan akan tetap mengusung capres sendiri. Meskipun dengan tawaran kompromistis akan siap berkoalisi diparlemen dengan PDI-P jika Golkar kalah di pilpres nanti. Sementara itu, pesaing PDI-P, Gerindra yang mengusung Prabowo sebagai capres juga sudah melakukan penjajakan koalisi dengan beberapa partai seperti PKB, PPP, PKS dan lain-lain. Sampai saat ini, belum ada kepastian parpol mana yang siap berkoalisi.

Di luar dari pada itu semua, komunikasi antar pimpinan-pimpinan parpol berbasis massa Islam seperti PKB, PPP, PAN, dan PKS sebenarnya perlu untuk dilakukan. Tujuannya, mencari peluang untuk memunculkan koalisi Poros Tengah jilid II. Di tengah persaingan tiga kubu partai nasionalis yaitu PDI-P, Golkar dan Gerindra, kemunculan Poros Tengah Jilid II bisa jadi akan akan jadi fenomena menarik. Jika gagasan ini bisa diwujudkan, diprediksi akan mengubah peta politik menjelang Pilpres. Apalagi melihat presentase suara partai politik Islam, jika digabungkan, bisa mencapai 30 persen. Hal ini tentu akan menjadi bargaining politik sendiri jika mengusung Capres alternatif.

Memang, kalau melihat dinamika yang berjalan, agak susah untuk menyatukan parpol-parpol berbasis Islam tersebut. Faktor historis dan ego sektoral akan menjadi kendala tersendiri. Terutama PKB yang pernah merasakan dikhianati saat Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan oleh poros tengah. Untuk menjembatani itu, dibutuhkan sosok figur tepat untuk merekatkan koalisi parpol berbasis Islam. Figur itu sebenarnya dimungkinkan dilakukan oleh Partai Demokrat. Figur SBY sebagai presiden saat ini yang juga berpengalaman dalam membangun koalisi tentu memiliki kekuatan khusus untuk membangun ini. Apalagi parpol-parpol berbasis Islam pernah bekerjasama dengan partai demokrat dalam pemilu 2009.

Kalkulasi Koalisi

ecara teoritis koalisi bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: pertama, koalisi pas terbatas (minimum winning coalition), yaitu koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Kedua, koalisi kekecilan (undersized coalition), yaitu koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana diparlemen. Dan ketiga, koalisi kebesaran (oversized coalition) yaitu koalisi yang melibatkan hampir semua partai ke dalam kabinetnya sehingga diparlemen mendapatkan dukungan mayoritas.

elihat hasil suara parpol pasca pileg, diprediksi tiga poros kekuatan (PDI-P, Golkar, dan Gerindra) akan sulit untuk mendapatkan koalisi ideal yaitu koalisi yang tidak hanya bisa memenangkan di Pilpres namun juga bisa mendapatkan dukungan politik mayoritas di parlemen. Kemenangan PDI-P yang dibawah 20 persen dalam Pemilu mempersulit ruang geraknya untuk mendapatkan koalisi ideal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun