Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih baik turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sukarno dan Ayahku: Indonesia Merdeka 17 Kali

30 Juli 2014   03:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:53 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Suatu kali, di kalangan ulama berdebat mengenai donor darah sebagaimana yang digalakkan oleh PMI sekarang ini. Waktu itu perdebatan ulama adalah mengenai halal/haramnya mendapatkan donor darah (transfusi darah) dari orang non-Muslim. Hampir semua ulama mengatakan bahwa menerima/memberi donor darah pada non-Muslim adalah haram, dengan dasar bahwa orang kafir najis. Pendapat tersebut tentu dengan mengutip salah satu ayat Al-quran berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (Q.S. At-Taubah [9] : 28)

Sukarno waktu dengan tegas mengatakan bahwa donor darah dengan orang non-Muslim halal. Menurut Sukarno, yang najis itu adalah aqidahnya, bukan badannya. Buktinya, jika ada orang non-Muslim masuk menjadi Muslim, maka cukup dengan membaca syahadat. Kita tidak perlu mencuci darahnya, bukan? Jika darah non-Muslim itu najis, maka kalau ada orang non-Muslim masuk Islam, maka seharusnya kita mencuci juga darahnya. "Mendengar pernyataan Sukarno tersebut, ulama-ulama yang tadinya berdebat soal halal/haramnya menerima donor darah, langsung terdiam," kata ayah.

[Tentu saja, cerita di atas adalah versi ayahku, yang setidaknya, mewakili cerita yang berkembang di masyarakat kebanyakan waktu itu. Versi yang lebih sahih soal perdebatan donor darah tersebut adalah sebagaimana yang dimuat di koran Pemandangan, 18 Juli 1941, bisa dibaca di sini: http://historia.co.id/artikel/modern/1244/Majalah-Historia/Sukarno_dan_Donor_Darah_Haram]

Lebih dari sekedar itu, keyakinan ayah bahwa Sukarno adalah bukan manusia biasa dibuktikan dengan 'laku spritual'. Beberapa waktu sebelum Sukarno meninggal, ayahku katanya pernah melakukan ritual mengirimkan hadiah Al-fatihah kepada Sukarno selama 40 hari berturut-turut. Persis peada malam ke-40, akhirnya ia dipertemuakan dengan Sukarno (tentunya bukan secara fisik). Ayahku melihat Sukarno berjalan dari arah barat menuju kota dan kemudian belok ke utara, ke arah laut Jawa. Ayahku tidak bermaksud menafsirkan pertanda apa hadirnya Sukarno atas hadiah Al-Fatihah tersebut, tetapi ia hanya ingin membuktikan apakah Sukarno itu memang benar-benar 'wali' (dalam definisi ayahku) ataukah hanya sekedar manusia biasa? "Kalau Sukarno manusia biasa, hadiah Al-Fatihah itu tidak akan direspon", katanya.

Di kampung, ayah dikenal sebagai tokoh agama. Kecintaannya pada ulama dibuktikan dengan banyaknya poster foto ulama di rumahnya. Mulai dari pendiri NU Hadratusyaikh Hasyim Asy'ari, KH Abudrrahman Wahid (Gus Dur), Habib Luthfi bin Yahya, dan sebagainya.

[caption id="attachment_317202" align="aligncenter" width="300" caption="Ruang tamu, ada foto sosok Habib"]

1406640711684458158
1406640711684458158
[/caption]

Tetapi di rumahnya juga terpampang poster besar Sukarno, dengan bingkai warna merah besar. Bingkai itu dibuat khusus oleh ayah. Dalam poster tertulis:

[caption id="attachment_317203" align="aligncenter" width="600" caption="Foto Sukarno di dinding rumah (koleksi pribadi)"]

14066414712141892291
14066414712141892291
[/caption]

"Terbukti dalam sejarah sepanjang zaman, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit. Kebesaran bangsa dan kemakmuran, selalu kristalisasi keringat."

(Sukarno, pada peringatan hari Proklamasi VI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun