"Suatu kali, di kalangan ulama berdebat mengenai donor darah sebagaimana yang digalakkan oleh PMI sekarang ini. Waktu itu perdebatan ulama adalah mengenai halal/haramnya mendapatkan donor darah (transfusi darah) dari orang non-Muslim. Hampir semua ulama mengatakan bahwa menerima/memberi donor darah pada non-Muslim adalah haram, dengan dasar bahwa orang kafir najis. Pendapat tersebut tentu dengan mengutip salah satu ayat Al-quran berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (Q.S. At-Taubah [9] : 28)
Sukarno waktu dengan tegas mengatakan bahwa donor darah dengan orang non-Muslim halal. Menurut Sukarno, yang najis itu adalah aqidahnya, bukan badannya. Buktinya, jika ada orang non-Muslim masuk menjadi Muslim, maka cukup dengan membaca syahadat. Kita tidak perlu mencuci darahnya, bukan? Jika darah non-Muslim itu najis, maka kalau ada orang non-Muslim masuk Islam, maka seharusnya kita mencuci juga darahnya. "Mendengar pernyataan Sukarno tersebut, ulama-ulama yang tadinya berdebat soal halal/haramnya menerima donor darah, langsung terdiam," kata ayah.
[Tentu saja, cerita di atas adalah versi ayahku, yang setidaknya, mewakili cerita yang berkembang di masyarakat kebanyakan waktu itu. Versi yang lebih sahih soal perdebatan donor darah tersebut adalah sebagaimana yang dimuat di koran Pemandangan, 18 Juli 1941, bisa dibaca di sini: http://historia.co.id/artikel/modern/1244/Majalah-Historia/Sukarno_dan_Donor_Darah_Haram]
Lebih dari sekedar itu, keyakinan ayah bahwa Sukarno adalah bukan manusia biasa dibuktikan dengan 'laku spritual'. Beberapa waktu sebelum Sukarno meninggal, ayahku katanya pernah melakukan ritual mengirimkan hadiah Al-fatihah kepada Sukarno selama 40 hari berturut-turut. Persis peada malam ke-40, akhirnya ia dipertemuakan dengan Sukarno (tentunya bukan secara fisik). Ayahku melihat Sukarno berjalan dari arah barat menuju kota dan kemudian belok ke utara, ke arah laut Jawa. Ayahku tidak bermaksud menafsirkan pertanda apa hadirnya Sukarno atas hadiah Al-Fatihah tersebut, tetapi ia hanya ingin membuktikan apakah Sukarno itu memang benar-benar 'wali' (dalam definisi ayahku) ataukah hanya sekedar manusia biasa? "Kalau Sukarno manusia biasa, hadiah Al-Fatihah itu tidak akan direspon", katanya.
Di kampung, ayah dikenal sebagai tokoh agama. Kecintaannya pada ulama dibuktikan dengan banyaknya poster foto ulama di rumahnya. Mulai dari pendiri NU Hadratusyaikh Hasyim Asy'ari, KH Abudrrahman Wahid (Gus Dur), Habib Luthfi bin Yahya, dan sebagainya.
[caption id="attachment_317202" align="aligncenter" width="300" caption="Ruang tamu, ada foto sosok Habib"]
Tetapi di rumahnya juga terpampang poster besar Sukarno, dengan bingkai warna merah besar. Bingkai itu dibuat khusus oleh ayah. Dalam poster tertulis:
[caption id="attachment_317203" align="aligncenter" width="600" caption="Foto Sukarno di dinding rumah (koleksi pribadi)"]
"Terbukti dalam sejarah sepanjang zaman, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit. Kebesaran bangsa dan kemakmuran, selalu kristalisasi keringat."
(Sukarno, pada peringatan hari Proklamasi VI)