Â
Antitesis dari Trent, Poch sebaliknya justru membiarkan Chilwell yang posisi aslinya sama seperti Trent menjadi seorang winger. Akibatnya sungguh nyata, Trent "terzolimi" di tempatnya dan tidak bisa leluasa naik untuk membantu serangan.
Di posisi sayap kanan, Liverpool memang "kalah orang" karena Szoboszlai juga harus menghadapi pergerakan Gallagher dan Chukwuemeka sekaligus. Sementara Mac Allister sendiri harus menjaga Enzo yang bermain agresif dan mobil.
Lini tengah Liverpool memang sangat krusial karena sepeninggal Fabinho, Liverpool tidak lagi memiliki pemain nomer 6 (gelandang bertahan) Mac Allister yang aslinya pemain nomer 8 kemudian diplot sebagai gelandang bertahan.
Chelsea juga punya problema yang sama, tidak punya pemain nomer 6 lagi sejak kepergian Ngolo Kante dan Jorginho. Gallagher yang aslinya gelandang serang kemudian diplot menjadi gelandang bertahan.
Menariknya Enzo Fernandez yang pada musim lalu bermain sebagai salah seorang double pivot, dalam pertandingan kali ini justru sering tampak sebagai seorang pemain nomer 10. Pergerakannya sangat mobil dan agresif. Ibarat kata Enzo ini pun "punya SIM bebas" sebab ia sering bertukar tempat dengan Reece James maupun Raheem Sterling.
Ada yang menarik perhatian penulis dari laga ini, karena kedua tim tidak punya "gelandang bertahan ori!" Ketika terjadi transisi menyerang ke bertahan, maka seketika itu pula akan timbul bencana. Terutama pada kubu Chelsea, karena Gallagher sejatinya bukanlah seorang DM (Defensive midfielders)Â Padahal trio Diaz, Jota dan Salah sangat berbahaya dalam skema fast-break. Peluang sekecil apa pun bisa dimanfaatkan mereka menjadi sebuah gol.
Ibarat kata, seperti pada mobil bermesin turbo yang tidak dilengkapi dengan Blow-off valves. Ketika RPM mesin di atas 4000 maka mobil akan melaju kencang. Namun ketika harus mengerem dan RPM jatuh di bawah 2000, lalu ngegas lagi, maka mesin mobil seketika mati gaya karena angin di ruang turbo kelelep, hehe.
Jadi sekarang kita baru mengerti mengapa kedua klub ini sampai harus "adu jotos" dulu untuk mendapatkan Moises Caicedo dan Romeo Lavia. Kedua pemain ini adalah Blow-off valves dari sebuah mesin turbo!
Ada kah yang melihat sosok seorang Gakpo? Dalam pertandingan kemarin Gakpo memang tidak terlihat. Namun itu bukan salahnya, sebab ia bermain bukan pada tempat seharusnya!
Gakpo adalah seorang penyerang tengah murni, atau setidaknya penyerang kiri! Gakpo juga bukan Firmino, sebab ia juga tak maksimal sebagai seorang false nine. Menempatkan Gakpo sebagai gelandang kiri itu sama seperti mengajari ayam berenang.
Klopp adalah seorang "kepala batu" dan itulah yang membuat Liverpool babak belur musim lalu. Mengapa ia harus memainkan seorang penyerang tengah untuk posisi gelandang-kiri? Padahal ia punya Curtis Jones dan Harvey Elliott untuk posisi tersebut.Â
Lagi pula masalah utama Liverpool itu terletak pada ketidak-seimbangan lini tengah. Ini juga masalah Liverpool di sepanjang musim lalu. Lini tengah "kekurangan orang" untuk mendukung lini serang sekaligus melapis lini belakang.
Memainkan Gakpo sama saja seperti memasang skema 4-2-4, karena pada kenyataannya Gakpo akan naik juga ke atas. Liverpool praktis hanya mengandalkan duet Allister- Szoboszlai untuk mengatur lini tengah. Sementara itu kwartet Gakpo, Diaz, Jota dan Salah dipaksa turun-naik untuk melakukan high-press sekaligus menekan pertahanan Chelsea. Dan hasilnya adalah... keempat pemain ini harus diganti di pertengahan babak kedua karena sudah "putus nafas!"
Hal menarik lainnya adalah ketika Salah terlihat ngambek ketika ditarik ke luar, tapi Klopp tidak punya pilihan lain. Liverpool terus tertekan. Sudah sejam berlalu sejak gol Liverpool itu, dan kwartet ini bahkan tak mampu untuk melakukan sebiji pun tendangan on target. Salah pun praktis dikantongi Colwill, Siwalan!