Pertama karena DPO yang dikeluarkan Kemendag itu memang kurang tepat. Kedua, masyarakat memang tidak mau tahu berapa harga CPO saat ini. Tahunya harga migor curah Rp 11.500/liter dan migor kemasan Rp 14.000/liter sesuai dengat HET Kemendag yang lama.
Seharusnya masyarakat membeli migor itu ke kantor Kemendag bukan ke Pasar, warung atau mini/supermarket. Sebab pedagang itu prinsipnya sederhana saja. Barang yang dibeli murah pasti akan dijual murah juga (setelah ditambah untung sewajarnya tentunya) Sebaliknya barang yang dibeli mahal, pasti akan dijual mahal juga tentunya. Mosok barang yang dibeli mahal disuruh jual murah? Gila aja kali!
Lantas bagaimana dengan nasib warga yang terdampak dengan naiknya harga migor ini?
Yang jelas itu bukanlah urusan Kemendag. Urusan Kemendag adalah migor tersedia di Pasar dengan harga yang wajar sesuai dengan kondisi pasar. Kalau produk domestik tidak cukup, ya sisanya diimpor.
Bagi warga miskin tentunya menjadi tanggung jawab Kemensos. Mungkin dengan memberi kupon pembelian migor atau uang tunai sekian ribu rupiah untuk membeli migor sesuai dengan harga pasar.
Untuk penyalurannya Kemensos tentunya lebih tahu, karena ada data warga PKH (Program Keluarga Harapan). Bagi penjual gorengan dan usaha kecil lainnya tentu menjadi urusan Kementerian Koperasi dan UKM. Bantuannya juga bisa kupon pembelian migor atau Bantuan Tunai.
Lantas darimana dana untuk bantuan ini? Tentunya dari migor itu sendiri!
Memang pada saat harga CPO di bawah US $750/ton, pemerintah tidak menarik pajak ekspor melainkan Pungutan ekspor sebesar US $50/ton. Namun ketika harga CPO di atas US $750/ton, pemerintah menarik PE (Pajak Ekspor) sebesar 0%-22,5% tergantung pada harga CPO internasional.
Terkini harga CPO sudah menembus US$ 2.010/ton pada perdagangan Rabu (9/3/2022) di Bursa Komoditas Rotterdam, Belanda!
Kalau Pemerintah menarik 20% PE, maka Pemerintah setidaknya akan mendapat pemasukan US $400/ton dari setiap CPO yang diekspor. Kalau realisasi ekspor CPO tahun ini 20 juta ton saja, maka pendapatan lewat PE akan mencapai US $8 miliar atau berkisar Rp 114,68 triliun!
Memang pandemi selama ini telah membuat keuangan Pemerintah "berdarah-darah." Kalau seandainya keluarga miskin diberi jatah untuk membeli migor sebesar Rp 500.000/tahun, lalu jumlah keluarga miskin ada sepuluh juta keluarga, maka bantuan tunainya hanya berkisar Rp 5 triliun saja. Kecil bila dibandingkan dengan nilai PE yang didapat pemerintah.
Yang repot itu adalah bagi warga kebanyakan atau warga miskin seperti saya ini (tapi malu mengaku miskin) solusinya jelas tidak ada. Yang ada hanyalah himbauan semata, yakni, "Kurangilah makan goreng-gorengan. Kalau dulu suka yang digoreng kini cukup ditumis saja. Kalau dulu suka tumisan, sekarang direbus saja. Berhubung sekarang BBM/gas sudah naik, kalau dulu suka rebusan, sekarang makan lalapan saja. Pasti akan lebih sehat." Hahahaha.