Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sumpah, Harga Minyak Goreng Tidak Mungkin Bisa Murah!

19 Maret 2022   01:35 Diperbarui: 19 Maret 2022   08:06 2052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harga minyak goreng di Kota Solo, Kamis (17/3/2022). Foto: Kompas.com/Fristin Intan Sulistyowati

Polemik antrian pembelian minyak goreng kini mencapai titik akhir setelah Pemerintah resmi melepaskan harga migor (minyak goreng) ke mekanisme pasar.

Semula Pemerintah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) migor sebesar Rp 14.000/liter. Padahal harga CPO (Crude Palm Oil) yang menjadi bahan baku utama migor sudah menyentuh harga Rp 18.000/liter. Daripada merugi, pabrik migor kemudian menghentikan produksinya.

Kasus migor ini mirip dengan kasus tempe kemarin. Ketika harga kacang kedelai yang menjadi bahan pokok tempe itu melonjak naik, maka pengrajin tempe seketika "mati gaya." Tidur tak nyenyak makan pun tak kenyang akibat termakan buah simalakama. 

Menaikkan harga tempe pada era "new normal jilid II" ini adalah sebuah hil yang mustahal. Sebaliknya jika menghentikan produksi, maka anak bini pasti akan kelaparan. Mungkin solusinya adalah dengan membuat dimensi tempe setipis kartu ATM, seperti penerawangan Pak Sandiaga Uno dulu.

Beberapa waktu belakangan ini kita kerap menyaksikan melalui sosmed, koran maupun televisi pemandangan antrian warga untuk membeli migor. Bagi saya pribadi sebenarnya hal ini sangat janggal karena ketika saya berkunjung ke beberapa supermarket, stok migor dengan harga Rp 14.000/kemasan 1 liter dan Rp 28.000/kemasan 2 liter cukup banyak. Hanya saja pembelian migor tersebut dibatasi satu kemasan untuk setiap pengunjung.

Loetjoenja, di pasar tradisional maupun di warung-warung, harga migor kemasan 1 liter tadi (mereknya sama juga) menembus harga Rp 17.000, dan segera ludes. Yah bisa saja di warung itu stok migornya memang cuma lima kemasan saja. Jadi ketika enam orang emak-emak pemburu migor yang sedang mengalami panic buying mengunjungi warung tersebut, maka seorang emak dipastikan akan "menjerit" karena tidak mendapat migor.

Timbul pertanyaan sederhana, mengapa warga yang antri untuk membeli migor itu tidak pergi ke supermarket saja? Dugaan saya, mereka memang tidak tahu kalau di supermarket itu masih tersedia migor dengan harga Rp 14.000/kemasan 1 liter. Kedua mereka memang mengincar migor curah yang harganya cuma Rp11.500/liter.

Tapi ada cerita lucu dari seorang warga yang mengantri migor Operasi Pasar Murah. Setelah mengantri lima jam, ia akhirnya mendapatkan satu kemasan migor satu liter seharga dua belas ribu rupiah.

Namun pengeluarannya meliputi uang parkir motor kepada preman setempat sebesar lima ribu rupiah, bakso seporsi dua puluh ribu rupiah (padahal menurut pengakuannya harga normalnya cuma dua belas ribu rupiah) plus rokok sebungkus. Akhirnya beliau "rugi bandar" demi sebungkus migor.

Kembali ke HET migor sebesar Rp 14.000/liter, untuk saat ini memang adalah sebuah hil yang mustahal. Bayangkan saja harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit di Riau saat ini sudah mencapai Rp 3.930/kg. Sedangkan harga CPO sebesar Rp16.195/kg padahal harga pekan lalu masih Rp15.120/kg.

Yang paling bahagia tentunya para petani sawit, Perkebunan sawit milik negara dan korporasi swasta raksasa karena mendapat rezeki nomplok berkat krisis minyak nabati dunia.

Enaknya lagi CPO ini biasa diperdagangkan bahkan untuk pengiriman enam bulan ke depan, dan pengirim (shipper) sudah bisa menikmati cash (lewat L/C) enam bulan sebelum barang dikirimkan. Begitulah aturan main komoditas perkebunan (CPO, karet, teh tembakau) ini bahkan sebelum negeri ini merdeka. Jadi bermodalkan L/C, pengusaha PKS mendapat dana dari bank untuk kemudian dipakai meng-ijonkan petani/pengusaha sawit.

Ilustrasi migor, sumber : disk.mediaindonesia.com
Ilustrasi migor, sumber : disk.mediaindonesia.com

Jadi harga TBS Sawit, CPO, Minyak goreng dan produk turunannya murni mengikuti Mekanisme Pasar, dan mustahil pemerintah bisa mengendalikannya. Yang bisa dilakukan pemerintah selama ini adalah mengontrol kebutuhan dalam negeri lewat mekanisme DMO (Domestic Market Obligation)

Sebelumnya angka DMO adalah 20% dimana eksportir wajib menjual 20% dari total ekspornya untuk kebutuhan di dalam negeri. Ketika terjadi krisis migor, pemerintah kemudian menaikkan angka kewajiban DMO ini menjadi 30%, dan migor tetap langka juga. Hahaha. Lantas dimana letak persoalannya?

Merujuk kepada data ekspor CPO dan produk turunannya tahun 2021 lalu sebesar 34,2 juta ton, maka dengan angka DMO 20% saja suplai CPO dalam negeri berkisar 6,84 juta ton. Ini jelas sudah cukup mengingat kebutuhan dalam negeri berkisar angka 6 juta ton saja.

Akan tetapi, selain menaikkan angka DMO, Kemendag (Kementerian Perdagangan) juga mengeluarkan DPO (Domestic Price Obligation) CPO sebesar Rp9.300/kilogram. Inilah yang kemudian menjadi penyebab migor "tersipu malu untuk kemudian tidak berani menampakkan batang hidungnya kepada masyarakat!"

Betapa tidak, coba bayangkan seandainya anda seorang eksportir CPO. Anda punya stok seribu ton. Lalu ada importir yang meminta 5.000 ton. Anda kemudian hanya bisa menjual 800 ton dengan harga Rp 18.500/kg FOB Pelabuhan. Lalu sisa 200 ton lagi (sesuai ketentuan DMO) anda harus jual ke pabrik migor dengan harga Rp9.300/kg. Reaksi anda pertama tentulah anda akan berseru, "Anj-ng!" atau "Kam-ret!"

Dalam dunia bisnis tanah air yang banyak "gradasi warnanya," maka akan timbul "dusta diantara kita." Pertama, apakah anda yakin CPO yang diterima pabrik migor itu akan diolah menjadi migor seharga Rp 14.000 (sesuai HET, dikurangi biaya produksi, transportasi dan keuntungan penjual) atau dijual saja kepada pihak ketiga dengan harga Rp 16.000/kg, bahkan sebelum truk CPO itu tiba di pabrik migor!

Kedua, eksportir tadi bisa saja punya perusahaan migor abal-abal, dan seakan-akan sudah menerima 200 ton CPO tadi. Padahal eksportir tadi tetap mengekspor seribu ton CPO tadi. Atau bisa saja banyak perusahaan migor skala kecil yang menerima "jastip" (jasa titipan) stempel/faktur penerimaan CPO seharga Rp 2.500/kg. Akhirnya migor tetap saja menghilang dari pasar.

Kebijakan DPO ini jelas-jelas tidak efektif. Kemendag seharusnya lebih peka mengurus regulasi perdagangan, dan harus bisa bernalar seperti "seorang pedagang Indonesia sejati."

Pedagang Indonesia itu hebat, tidak lekang oleh panasnya mentari dan tidak mudah luntur oleh dinginnya malam. Ia laksana air yang pasti akan selalu turun ke bawah. Tak peduli dengan banyaknya hambatan (regulasi) ia akan selalu memanfaatkan setiap celah agar bisa sampai ke bawah. Hahaha.

DPO bisa diterapkan kalau memang Pemerintah (lewat Bulog) mau menyanggah CPO seperti beras. Namun apakah Bulog mampu melakukannya dengan baik? Tanpa bermaksud merendahkan Bulog, rasanya mustahil. Pedagang bukanlah spekulan! Pedagang membutuhkan situasi kondusif, kestabilan dan regulasi yang mendukung demi lancarnya perdagangan.

Pedagang tentunya akan mengambil untung, tapi yang sewajarnya karena mereka bukanlah spekulan. Berdagang, walaupun barang milik mertua sendiri, kalau merugi pasti tidak akan ada yang mau menjualnya!

Lha, harga CPO sudah mencapai 18.500/kg, trus disuruh jual ke pabrik migor Rp9.300/kg, kan anjai. "Itu kan barangku bukan barangmu. Enaknya di kamu, kamu dan kamu. Sakitnya diaku, aku dan aku!"

Ilustrasi petani sawit, sumber : wri-indonesia.org
Ilustrasi petani sawit, sumber : wri-indonesia.org

Apakah harga migor akan tetap semahal sekarang? Pastinya tidak! Sekarang ini adalah puncak tertinggi dari harga CPO/migor. Hukum keseimbangan alam tetap berlaku pada produk ini. Harga CPO kelak pasti akan turun. Harapannya semoga harganya tidak jatuh terbanting lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Ada tiga faktor ekseternal penyebab naiknya harga CPO ini. Pertama tentunya akibat anomali alam yang menyebabkan gagal panen produk-produk minyak nabati di berbagai belahan dunia.

Kedua, Perang Ukraina-Rusia, dimana kedua negara ini adalah pemasok BBM/gas dan minyak nabati besar ke dunia. Efek perang dan sanksi ekonomi kepada Rusia membuat CPO menjadi pilihan terbaik untuk menggantikan berkurangnya pasokan BBM/gas dan minyak nabati lainnya.

Ketiga, Panic buying juga melanda dunia yang khawatir akan berlarut-larutnya perang Ukraina-Rusia ini, membuat banyak negara-negara di dunia (terutama Tiongkok) melakukan pembelian CPO besar-besaran.

Sebagaimana kita ketahui, kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati paling murah di dunia. Kelapa sawit tahan terhadap perubahan cuaca ekstrim. Biaya produksinya pun murah dan hasilnya melimpah.

Kelapa sawit memang produk padat karya karena membutuhkan sangat banyak tenaga manusia, dan itu sangat cocok dengan kondisi Indonesia. Setidaknya ada belasan juta rakyat Indonesia yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit ini. Namun, ketika Perang Ukraina-Rusia usai dan produk minyak nabati dunia pulih kembali, otomatis harga CPO akan terkoreksi kembali. 

***

Apakah kelangkaan migor ini karena "Salawi?" (Salah Jokowi karena tidak becus mengurus negara?) Dari pemaparan di atas kita tentunya sudah paham penyebab dari langkanya migor ini.

Pertama karena DPO yang dikeluarkan Kemendag itu memang kurang tepat. Kedua, masyarakat memang tidak mau tahu berapa harga CPO saat ini. Tahunya harga migor curah Rp 11.500/liter dan migor kemasan Rp 14.000/liter sesuai dengat HET Kemendag yang lama.

Seharusnya masyarakat membeli migor itu ke kantor Kemendag bukan ke Pasar, warung atau mini/supermarket. Sebab pedagang itu prinsipnya sederhana saja. Barang yang dibeli murah pasti akan dijual murah juga (setelah ditambah untung sewajarnya tentunya) Sebaliknya barang yang dibeli mahal, pasti akan dijual mahal juga tentunya. Mosok barang yang dibeli mahal disuruh jual murah? Gila aja kali!

Lantas bagaimana dengan nasib warga yang terdampak dengan naiknya harga migor ini?

Yang jelas itu bukanlah urusan Kemendag. Urusan Kemendag adalah migor tersedia di Pasar dengan harga yang wajar sesuai dengan kondisi pasar. Kalau produk domestik tidak cukup, ya sisanya diimpor.

Bagi warga miskin tentunya menjadi tanggung jawab Kemensos. Mungkin dengan memberi kupon pembelian migor atau uang tunai sekian ribu rupiah untuk membeli migor sesuai dengan harga pasar.

Untuk penyalurannya Kemensos tentunya lebih tahu, karena ada data warga PKH (Program Keluarga Harapan). Bagi penjual gorengan dan usaha kecil lainnya tentu menjadi urusan Kementerian Koperasi dan UKM. Bantuannya juga bisa kupon pembelian migor atau Bantuan Tunai.

Lantas darimana dana untuk bantuan ini? Tentunya dari migor itu sendiri!

Memang pada saat harga CPO di bawah US $750/ton, pemerintah tidak menarik pajak ekspor melainkan Pungutan ekspor sebesar US $50/ton. Namun ketika harga CPO di atas US $750/ton, pemerintah menarik PE (Pajak Ekspor) sebesar 0%-22,5% tergantung pada harga CPO internasional.

Terkini harga CPO sudah menembus US$ 2.010/ton pada perdagangan Rabu (9/3/2022) di Bursa Komoditas Rotterdam, Belanda!

Kalau Pemerintah menarik 20% PE, maka Pemerintah setidaknya akan mendapat pemasukan US $400/ton dari setiap CPO yang diekspor. Kalau realisasi ekspor CPO tahun ini 20 juta ton saja, maka pendapatan lewat PE akan mencapai US $8 miliar atau berkisar Rp 114,68 triliun!

Memang pandemi selama ini telah membuat keuangan Pemerintah "berdarah-darah." Kalau seandainya keluarga miskin diberi jatah untuk membeli migor sebesar Rp 500.000/tahun, lalu jumlah keluarga miskin ada sepuluh juta keluarga, maka bantuan tunainya hanya berkisar Rp 5 triliun saja. Kecil bila dibandingkan dengan nilai PE yang didapat pemerintah.

Yang repot itu adalah bagi warga kebanyakan atau warga miskin seperti saya ini (tapi malu mengaku miskin) solusinya jelas tidak ada. Yang ada hanyalah himbauan semata, yakni, "Kurangilah makan goreng-gorengan. Kalau dulu suka yang digoreng kini cukup ditumis saja. Kalau dulu suka tumisan, sekarang direbus saja. Berhubung sekarang BBM/gas sudah naik, kalau dulu suka rebusan, sekarang makan lalapan saja. Pasti akan lebih sehat." Hahahaha.

Buat pembaca Budiman salam sehat selalu. 

Buat yang di hati salam sayang selalu.

Referensi :

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/10/harga-cpo-tembus-us-2000-per-ton-di-bursa-komoditas-rotterdam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun