Rindu itu mirip dengan kentut. kalau ditahan nyesek, tapi kalau dikeluarkan ya malu.
Entah apa yang terjadi akhir-akhir ini, rasanya dunia semakin gila saja. Bisnis perusahaan tempatku bekerja kini semakin maju dan aku harus pontang panting karenanya. Aku bukan hanya rutin ke Surabaya saja tapi kini juga harus ke Manado untuk mempersiapkan pembukaan kantor cabang baru di sana. Sempat terpikir olehku untuk resign saja. Walaupun take home pay meningkat drastis, tapi sepertinya tidak sepadan dengan dampaknya.
Aku kini jarang bertemu dengan Ratih dan Maya. Ratih bahkan sudah hampir sebulan tidak datang ke apartemenku. Maya juga, aku susah bertemu dengannya ketika di Surabaya. Ada saja halangannya. Ketika aku datang ke Surabaya, eh dia malah ada di Bali.Â
Aku rasa sebenanrnya bukan halangan, tapi Maya tidak mau lagi bertemu denganku! Aku rasa hal yang sama juga berlaku pada Ratih! Memang kami masih sering berkomunikasi lewat telfon. Namun mereka berdua ini sepertinya tidak mau bertemu denganku.
                                          Â
Yah sudah kalau begitu. Lagipula mengapa semuanya harus ditimpakan kepadaku seorang? Bukankah kami bertiga saling mencintai satu sama lain? Dan itu ada konsekwensinya. Ini memang masalah yang harus dicari solusinya. Namun bukan hanya aku sendiri yang memutuskan apa yang baik buat Maya dan apa yang baik buat Ratih, dan juga buatku. Wong aku sendiri tidak tahu apa yang terbaik bagiku, seharusnya yang lain juga membantu dengan bertanya apa yang terbaik bagi dirinya masing-masing.
Saat ini aku juga sibuk dengan pekerjaan dan berusaha fokus untuk pekerjaan ini dulu. Namun yang namanya rindu, apalagi kalau datang pas malam hari ketika hendak tidur, sulit untuk ditahan. Rindu itu mirip dengan kentut. kalau ditahan nyesek, tapi kalau dikeluarkan ya malu.
Benarlah kata Dilan. "Jangan rindu. Rindu itu berat, kau tak akan kuat. Biar aku saja." Dilan mah enak. Rindunya hanya buat Milea seorang. Coba kalau sekiranya Dilan juga merindukan emak Milea, hayoo?
Daripada tak kuat menanggung rindu, ya sudah kuputuskan untuk melamar Ratih saja. Cincin sudah kubeli dan selalu kubawa. Siapa tahu momennya tepat, aku akan segera melamarnya.
Aku sudah buat janji bertemu dengan Maya. Kebetulan aku hari ini ke Surabaya. Kamar standar jatah dari perusahaan pun sudah ku-upgrade ke suite room, supaya lebih enak suasananya.
 Malamnya aku sudah bersiap-siap di kamar menunggu Maya. Jam tujuh malam Maya belum datang. Mungkin sebentar lagi pikirku. Jam delapan Maya belum nongol juga, dan teleponnya tidak aktif.
Jam sembilan bahkan hingga jam sepuluh, Maya belum nongol juga. Aku mulai marah bercampur rasa khawatir, takut kalau-kalau terjadi sesuatu. Akhirnya malam itupun berlalu tanpa kehadiran Maya. "Jangkrik!" Hanya itu kata yang kusebut-sebut sebelum tertidur akibat pengaruh vodka yang dicampur dengan jus jeruk.
Pagi hari aku sudah mandi dan sudah sarapan di coffe shop. Aku rebahan sebentar karena merasa letih setelah kurang tidur tadi malam. Urusan pekerjaan di Surabaya sudah selesai. Hari ini aku males-malesan saja sebelum pulang nanti sore ke Jakarta.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Aku melihat sosok Maya lewat lubang intip pintu. Aku segera membuka pintu.
"Hai Bram, maaf ya semalam aku gak bisa datang."
"Hai, masuk May." kataku mempersilahkan Maya untuk masuk.
"Bram aku minta maaf ya, tadi malam aku memang sengaja gak datang karena takut gak kuat dengan suasananya. Oh ya sekalian mau pamit, nanti malam aku berangkat ke Australia. Jadi mungkin kita gak ketemu lagi." kata Maya sambil menyeka air mata yang sudah mulai mengalir ke pipinya.
Aku tertegun, sepertinya aku banyak ketinggalan cerita yang tak pernah kusadari.
"Bram, kamu perlu tau. Saat-saat bersamamu adalah momen terbaik dalam hidupku. Aku memang salah, salah banget ketika aku pergi ke Australia dulu. Itu adalah kesalahan yang tak bisa kumaafkan, karena aku akhirnya kehilanganmu. Jangan kamu pikir kalau aku seenaknya saja tiba-tiba datang kembali ke dalam hidupmu. Aku sebenarnya takut Bram, gak berani ketemu kamu. Aku mau karena selalu dipaksa sama mas Vicky dan tante, mama kamu!"
"Hah! bagaimana bisa May?" Aku tak bisa menahan rasa terkejutku!
"Kita dulu kan akrab sama mas Vicky dan istrinya. Sayang pernikahan mereka bubar. Sebenarnya aku selalu berhubungan dengan mas Vicky dan mantan istrinya, bahkan sampai saat ini. Kamu gak pernah tau karena mas Vicky selalu berpesan, Bram itu orangnya pokay, susah, cemburuan. Padahal mas Vicky itu baik sekali, dan selalu menjadi 'mataku untuk melihatmu' ketika aku di Australia." Aku kemudian memberi tisu kepada Maya karena matanya mulai berair lagi.
"Tadinya aku takut ketemu karena ada yang ngomong kalau kamu dekat lagi sama mbak Ratih. Namun mas Vicky bilang gak ada apa-apa di antara kalian berdua, karena kamu sendiri yang ngomong begitu sama mas Vicky. Kamu kan tau sendiri kalau sejak kita pacaran dulu si tante sayang banget samaku. Ketika tante tau aku balik lagi, beliau selalu memaksaku untuk mendekati kamu lagi. Aku akhirnya berani karena merasa punya modal juga, kita dulu punya masa-masa indah yang tak terlupakan ketika pacaran."
"Bangs*t, kenapa selalu saja ada Vicky dalam hidupku. Dan gak nyangka juga kalau ibu terlibat dalam urusan ini. Mengapa beliau tidak pernah membicarakannya denganku? Ah, aku tau jawabannya. Ibu tidak mau aku jadi benci kepada Maya kalau aku tau ibu lebih berpihak kepada Maya daripada Ratih.Â
Jadi ibu sengaja membiarkan seolah-olah saja Maya tanpa sengaja hadir kembali dalam hidupku. Padahal ibu bersama Vicky sudah terlibat sejak Maya masih di Australia. Sayangnya Vicky tidak menyadari kalau aku sudah pacaran dengan Ratih, wkwkwk.
Ah, tiba-tiba aku merasa malu kepada Vicky. Aku sebenarnya tidak pernah benci kepadanya. Aku sayang kepadanya seperti dia juga sayang kepadaku. Vicky jauh lebih baik dan peduli daripada Armand. Aku benci kepadanya hanya karena ia mengaku sejak SMP sudah suka kepada Ratih, hahaha.
Aku sebenarnya iri kepada Vicky karena ia seorang gentleman sejati. Bayangkan saja ia suka kepada Ratih, tapi Ratih malah kawin sama Armand, dan ia tetap bisa menjadi teman yang baik kepada keduanya. Bandingkan dengan aku yang malah memilih kabur, hahaha.
"Bram, aku dan mbak Ratih memang sengaja menghindar dari kamu satu setengah bulan terakhir ini. Sebenarnya kami sering bertemu. Kadang di Bali, Jakarta atau Surabaya, tapi hampir setiap hari kami komunikasi lewat telfon. Kami tau kamu pasti gak bisa buat keputusan, jadi harus kami berdua yang memutuskan apa yang terbaik buat kita bertiga."
"Duar!" Duh Gusti! Aku seperti orang yang hendak pipis di samping sebuah truk kontainer, tapi malangnya kontainer itu kemudian terbalik dan menimpaku!
"Bram, bulan lalu mbak Ratih sebenarnya sudah putusin kamu. Katanya, dia tau kalau kamu sebenarnya selalu berusaha untuk dekat kepadanya. Bahkan kamu sudah pernah mengajaknya kawin. Tapi mbak Ratih ragu. Katanya kamu sering mengigau, menyebut namaku. Bukan sejak aku pulang saja, tapi bahkan ketika aku masih di Australia.
Kata mbak Ratih, di dalam lubuk hatimu yang terdalam, kamu sebenarnya sangat sayang padaku walaupun kamu berusaha untuk mengingkarinya. Mbak Ratih cemburu karena merasa tak mampu mengatasinya. Cepat atau lambat itu akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Akhirnya ia memutuskan untuk mundur saja."
Setelah merasa tertimpa kontainer, kini aku merasa tercekik! Aku tak pernah tahu kalau aku mengigau! Lha dari mana aku tahu kalau tidak pernah ada yang memberitahuku!
"Awalnya aku senang dengan perkataan mbak Ratih. Seandainya aku pulangnya tiga bulan lebih cepat, maka polemik ini mungkin tidak akan terjadi. Namun kamu sejatinya adalah pacar mbak Ratih, dan aku tak ingin terlihat seperti seorang pelakor! Aku sayang banget sama kamu Bram, tapi aku harus pergi!" Kini tangis Maya meledak tak tertahan.
Benteng pertahananku pun akhirnya jebol juga, tangisku meledak ketika memeluk Maya. Duh Gusti aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
"Bram, mbak Ratih sudah sebulan ini di Bandung, di konveksinya. Kamu pergi deh ke Bandung jeput dia, kasihan mbak Ratih. Mungkin awalnya dia gak akan mau, tapi kamu bujuk ya? Dia belum tau kalau aku mau ke Australia. Di sini aku gak bisa hidup tanpa kamu Bram, jadi aku kesana aja. goodbye my love, i will always love you."
Aku hanya terdiam di sofa ketika Maya berlalu dengan air mata yang membasahi pipinya. Duh Gusti, aku tak pernah menyangka kalau perjalanan kisah cinta ini akan begitu rumit dan membuat luka yang mendalam bagi korbannya. Duh Gusti aku tak tau harus bagaimana lagi. Rasanya separuh nafasku pergi bersama Maya dan kini aku harus membujuk Ratih pula.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H