Sambil mesem-mesem aku kemudian membayarnya. Kalau sampai terlihat bos aku membeli sempak di sini, aku pasti akan di bawa ke muka pengadilan. "Apa gak cukup gajimu sehingga kamu membeli sempak di mal jongkok ini?" Demikian kira-kira pertanyaan dari majelis hakim yang mulia.
"Nanti ini aku bawa ke rumah trus dicuci. Pakaian kamu juga gak usah di-loundry, biar aku cuci di rumah aja. Jadi gak usah repot bawa pakaian banyak-banyak. Kalo kamu mau lebih lamaan lagi di Surabaya, kan gak repot lagi, kan gitu sayang?"
Aku hanya tersenyum. Hebat anak ini pikirku. Dia naik "Biem," tapi tidak malu membeli daleman di gang itu. Lagian namanya juga daleman, kan bukan buat ditampangin ke orang! Mau kendor, luntur atau apapun itu, selama masih berfungsi dengan baik, ya gapapa juga nyari yang lebih murah gitu.
Sabtu itu cuaca terasa panas membuat kami ngadem saja di kamar. Kuku tangan dan kuku kakiku sudah dipotong dan dikikir Maya. Aku tidur menelungkup tanpa kaos. Maya sibuk dengan scrub menggosok-gosok kulit punggungku. Ini memang ciri khas Maya sejak dulu. Ia akan selalu memeriksa kuku maupun daki di kulitku, persis seperti ibu. Wah, aku jadi baper.
Tadinya aku ingin meraba paha Maya yang berada persis di sebelah kepalaku. Namun tidak jadi karena tiba-tiba aku ingat Ratih. Aku lalu tersenyum sendiri.
"Kenapa senyam-senyum, kamu ngetawain aku ya?"
"Enggak, anu.." jawabku sambil menutup mulutku dengan telapak tangan.
"Kamu ngetawain aku kan?" kata Maya sambil menimpaku lalu menggelitiku!"
"Ampun, lontong eh toloong..." teriakku menahan geli.
Maya kemudian membalikkan badanku, dan tetap menimpaku. Duh Gusti, sebagai wong cilik hamba ini hanya bisa pasrah saja ketika "ditimpa musibah," karena semuanya itu adalah kehendak "yang di atas." Akupun menutup mata, ikhlas menunggu apa yang akan terjadi, tidak minta tolong lagi.
***