Aku kemudian berdiri, lalu menepuk-nepuk bahu Ratih dengan pelan, "sabar ya Rat, kamu harus kuat dan tekun berdoa untuk kesembuhan Armand."
Ingin rasanya memeluk erat tubuh Ratih agar aku tahu apa yang dirasakannya, dan juga agar ia tahu apa yang kurasakan. Akan tetapi aku sadar kalau ia sudah berkeluarga dan kini menjadi isteri sahabatku yang terbaring lemah di ranjang ini. Aku kemudian kembali duduk di samping Armand sembari menyeka air mataku dengan tisu.
***
Sudah seminggu ini aku punya jadwal kegiatan baru. Â Sepulang dari kantor aku pastinya akan langsung besuk Armand ke rumah sakit. Kalau hari libur, aku justru menginap di rumah sakit.
Keadaan Armand tampaknya semakin membaik. Kamipun sudah kembali akrab seperti dulu lagi. Bahkan tak ada yang menyadari kalau kami itu sebenarnya sudah sepuluh tahun tidak bertemu dengan rasa benci di dada.
Sabtu siang itu aku berdua saja dengan Armand. Ratih pulang ke rumahnya membawa pakaian kotor dan beberapa barang lainnya. Aku tiduran di sofa sambil menonton acara televisi. Armand tiba-tiba saja memanggilku, "Bram, aku mau ngomong sama kamu, ini serius."
"Apaan sih" kataku sambil bangun lalu duduk di sampingnya.
"Bram, aku minta maaf sama kamu. Aku keliru. Kamu itu benar-benar sahabat sejati. Kamu selalu ada disaat aku membutuhkan seseorang untuk tempat bersandar. Makasih banyak bro untuk hal itu."
"Eh, aku ini bukan cuma sohibmu sejak dari kecil aja bro, tapi kita ini juga saudaraan. Jadi kalau aku sekarang ada di sini, ya wajar aja bro."
"Bram, entah kenapa aku selalu iri samau kamu. Sepertinya tidak masuk akal, tapi kenyataannya seperti itulah. "Nilai rapor dan IP kamu selalu lebih baik, padahal aku merasa lebih cerdas dari kamu. Buktinya kamu sering nanyain aku. Namun di situlah letak jawabannya.Â
Kamu rajin belajar supaya mengerti, sementara aku males belajar karena merasa sudah mengerti. "Pisau itu tajam karena selalu diasah," dan aku cemburu karena aku tidak pernah punya hasrat untuk mengasahnya."Â