Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hati untuk Satu Cinta (Bagian 4)

8 Januari 2022   02:25 Diperbarui: 8 Januari 2022   02:58 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cinta segi tiga, sumber : https://thumbs.dreamstime.com/z/love-triangle-22624833.jpg

"Level mencintai tertinggi itu adalah mengikhlaskan orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain. Level kebohongan tertinggi itu adalah kalimat yang baru saja saya ucapkan."

Tanpa terasa sepuluh tahun sudah berlalu. Aku baru saja merayakan ulang tahun ke-30, dan tetap saja masih sendiri. Setelah insiden di Bali itu, aku kemudian membulatkan tekad dan pindah ke Surabaya.

Setahun pertama di Surabaya terasa sangat berat. Sebelum tidur selalunya dilalui dengan ritual tangisan air mata. Bantal, guling dan seprei kemudian menjadi saksi betapa rapuhnya seorang lelaki tanpa cinta tulus dari seorang wanita!

Namun aku kemudian mensyukuri keputusan itu, karena hal itu justru mengubah hidupku menjadi lebih baik. Everything happens for a reason! Tanpa cinta hidupku fokus mengejar cita. Belajar keras untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Itu menjadi keharusan agar tidak menjadi pecundang lagi.

Barulah saat menjelang skripsi aku dekat lagi dengan seorang wanita. Sayangnya ia perokok berat. Jadi kalau mau kissing, aku suruh dia kumur-kumur dulu pakai List*rine.

Menjelang wisuda, hubungan seumur jagung itu pun berakhir. Dengan penuh drama dan air mata, mantannya itu kemudian mengajaknya balikan lagi. Aku pasrah saja. Mantannya itu ternyata perokok berat juga. Jadi mantan pacarku itu tidak perlu harus repot-repot membeli List*rine.

Sebenarnya Ratih berkali-kali menghubungiku lewat telfon dan SMS, tapi aku mengabaikannya. Aku sendiri sudah dua kali mengganti nomor telepon agar ia tidak bisa menghubungiku.

Terkadang aku merasa malu juga kepada Ratih dan diriku sendiri. Kalau aku memang mencintai Ratih, aku seharusnya fight untuk dia, bukan malah kabur! Bukankah "sebelum janur kuning melengkung di depan rumahnya," pintu hati Ratih belum tertutup bagi pria manapun?

Tiba-tiba aku kepikiran, jangan-jangan aku kabur bukan karena Ratih, tapi karena Armand! Hah!

Iya, aku kabur mungkin karena sudah males bersaing dengan Armand. Walaupun bersahabat sejak kecil dan masih terhitung kerabat dari ibu, entah mengapa Armand ini selalu ingin bersaing denganku.

Awal masuk SMP dulu, kami sama-sama ikut latihan karate. Namun menjelang tamat SMP, Armand terpaksa harus berhenti. Hidungnya sering berdarah karena mimisan.

Awalnya dokter menduga karena pembuluh darah di hidungnya terlalu tipis atau kelainan bentuk hidung. Armand kemudian divonis mengidap kelainan darah. Vonis berikutnya membuat semua merinding, Armand ternyata mengidap kanker Leukemia.

Setelah menjalani pengobatan selama beberapa waktu, Armand sepertinya sudah sembuh. Kamipun lanjut bersekolah di SMA yang sama. Akan tetapi sejak itu semua orang kemudian memanjakan Armand.

Kini aku ragu, benarkah Armand suka pada Ratih? Aku tahulah selera Armand. Ia sukanya pada cewe yang bohay, cantik, dan to*etnya gede. Armand akan bangga kalau melihat cowo-cowo pada nahan napas ketika berpapasan dengan pacarnya.

Ratih bukanlah tipe begitu. Ia manis. Punya sex appeal but in a different way. Mengapa Armand tertarik untuk terus mengejarnya? Entahlah, mungkin hanya Tuhan dan Armand saja yang tahu.

***

Berkat koneksi bapak, aku kemudian bisa bekerja di sebuah perusahaan yang cukup ternama. Gosipnya perusahaan ini sebenarnya sedang limbung sehingga ditinggal banyak pegawainya. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mendapat posisi tergolong baik. Tapi tak mengapa. Soalnya aku juga sedang menunggu persetujuan beasiswa sekolah di Australia. Kalau dapat beasiswa, aku juga pasti cabut. Tapi setidaknya aku sudah punya referensi kerja dulu.

Benar saja, tak lama kemudian kantor cabang Surabaya ini ditutup untuk sementara. Sebelumnya beasiswaku sudah mendapat persetujuan pula. Dengan memasang wajah sedih, aku kemudian menerima pesangon dan surat referensi kerja dari bosku. Sambil menepuk-nepuk bahuku, bos berkata bahwa kalau nanti kantor buka lagi, maka orang lama akan mendapat prioritas.

Di Australia aku kemudian berkenalan dengan seorang cewe asal Bangladesh. Ia mantan atlet lari gawang dan lempar lembing. Aku tertarik kepadanya karena lirikan matanya itu membuatku kelelep.

Namun aku merasa agak aneh ketika berada di dekatnya. Mungkin karena parfumnya pikirku. Sampai kemudian aku melihat ia mengeluarkan sebutir bawang Bombay dari tasnya, lalu mengunyahnya! Duh Gusti, List*rine sepertinya tidak akan banyak membantu dalam kasus ini!

Tanpa terasa dua tahun berlalu begitu cepatnya. Sekolahku usai dan akupun kembali ke Jakarta. Poetjoek ditjinta kelamboe tiba. Perusahaan tempatku dulu bekerja kemudian membuka kantor cabang Surabaya lagi. Rupanya pemilik perusahaan yang baru bersedia untuk menyuntikkan modal besar. Akupun mengajukan lamaran, dan diterima. Jadi aku ini ibarat "barang baru stok lama."

 

Kembali dari Australia dengan gelar S2 plus bisa kembali bekerja di perusahaan lama membuat perubahan besar bagi mentalku. Aku tidak minder lagi. Aku kini bisa menghargai diriku sebagaimana mestinya. Dekat dengan Armand memang merusak mentalku karena aku tak bisa lepas dari bayang-bayang dan kemauannya yang terkadang egois itu.

Percaya diri memang menjadi modal utama seorang lelaki agar bisa mengarungi kehidupan yang keras ini. Yang penting jangan sampai kepedean, hahaha.

Walaupun tidak pernah berhubungan dengan Ratih, tapi aku tetap "stalking-stalking" dan mencari tahu tentang keberadaannya. Ternyata Ratih masih sendiri dan tidak pacaran dengan Armand!

Namun aku merasa heran, mengapa Armand tetap ngotot dan tidak mau menyerah untuk merebut hati Ratih. Padahal aku kan sudah di Surabaya dan tidak pernah berhubungan dengan Ratih. Apakah kali ini Armand benar-benar jatuh cinta kepada Ratih? Padahal Ratih bukanlah tipe WIS (Wanita Idaman Sejati) dari seorang Armand.

Entahlah, tapi kata "cinta" itu membuat telingaku panas. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan hatiku kepada Ratih. Kini aku sudah siap dan tidak merasa minder lagi.

Jumat besok adalah hari libur yang berarti long weekend. Nanti aku cepet pulang saja dan langsung ke bandara. Besok aku akan langsung maen ke rumah Ratih.

Ketika hendak menuju kantor, pak satpam kemudian memberikan sebuah undangan yang dititipkan kepadanya. Entah mengapa hatiku merasa tidak enak ketika menerimanya. Aku kemudian kembali ke dalam rumah. Seketika tubuhku bergetar ketika membaca undangan pernikahan itu. Tertulis nama "Ratih-Armand."

Tiba-tiba hape-ku berbunyi. Ternyata dari Yanti, teman kuliahku di Jakarta dulu, "Bram, kamu dapat undangan dari Ratih ya?"

"Iya, aku baru aja membacanya."

"Ya ampun, koq tega banget ya."

"Koq tega, aku kan temennya."

"Lha, kamu kan mantannya! Ratih sendiri yang bilang ke aku!"

"Emangnya kapan Ratih ngomong gitu?"

"Ya sebelum kamu pindah ke Surabaya!"

Aku terdiam sejenak. Ya, ampun ternyata yang dulu itu memang "benar-benar ada ceritanya!" Buktinya Ratih sendiri berani ngomong ke Yanti kalau aku itu pacarnya. Artinya Ratih sangat yakin kalau aku akan "menembak-nya" dan kami kemudian akan pacaran.

Akan tetapi hal itu tidak terjadi karena aku ini memang laki-laki guoblok! "Antenaku kurang tinggi dan radarku terlalu lemah untuk menangkap sinyal-sinyal yang diransmitkan oleh lawan jenisku." Pantesan aku ini jadi jomlo ngenes dan dituduh gay. Ya itu tadi, karena aku ini gobloknya memang gak ketulungan!

"Bram, kamu nangis ya?"

"Ah, enggak."

"Koq suaramu bindeng kayak orang nangis gitu"

"Oh enggak, aku lagi flu aja."

"Jangan bohong deh, kamu nangisin undangan mantan kan?"

"Ah sok teu kamu!"

"Soalnya aku juga kan dapat undangannya. Kamu masih sayang sama Ratih kan?"

"Trus kalau aku nangis, kamu mau apa?"

"Kalau kamu nangis, aku siap jadi tisunya, hehe."

"Makasih deh, nanti aku telfon lagi ya, aku sedang ada urusan."

"Bram, kalau kamu mau datang, aku mau nemenin kamu."

"Kenapa kamu mau nemenin aku?"

"Ya, biar kamu gak keliatan jomlo lah, haha"

"Enggak ah, aku gak akan dateng!" Aku kemudian mematikan hape.

Duh Gusti, tolong kuatkan hati hambamu yang celaka ini ya Gusti!

Tanpa sadar aku kemudian berkata, "Level mencintai tertinggi itu adalah mengikhlaskan orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain. Level kebohongan tertinggi itu adalah kalimat yang baru saja saya ucapkan."

(Bersambung)  


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun