Ranjang yang biasanya terasa kaku itu kini berubah menjadi hangat dan lembut di kulit.
Entah sudah berapa lama aku bersender di tembok itu. Keringat jagung membasahi rambut, wajah dan tubuhku. Aku yakin jagungnya itu pasti jenis hibrida merek Pionir P-36 tongkol dua. Soalnya keringetnya banyak pakai banget. Ratih seketika tersadar dan menarik tubuhnya yang memepetku ke tembok. Rambut dan wajahnya juga keringatan.
"Stt, suara bokap gak kedengaran, jangan-jangan bokap ada di luar tuh" bisikku ketakutan.
Ratih kemudian merapikan rambut dan wajahnya, kemudian membuka pintu kamar secara perlahan. "Ntar ya" bisiknya padaku.
Tak lama kemudian Ratih masuk lagi ke dalam kamar, "Bokap lagi ngorok pules, badannya pasti uda enakan tuh abis dikerokin bi Parti. Bi Partinya sendiri malah asik main Mobile Legends. Jadi lanjut lagi gak nih.." kata Ratih menahan tawa.
"Ah enggak ah, ayuk kita keluar cepet" kataku masih ketakutan.
Ratih lalu merapikan rambutku dengan tangannya, dan juga kerah kemeja. Duh Gusti, aku jadi teringat masa kecilku. Sehabis mandi, biasanya badanku selalu dibalur dengan minyak telon dan baby oil, lalu rambutku disisir simbok dengan jemari tangannya.
Duh Gusti, aku jadi baper. Selain simbok, hanya Ratih seorang saja yang pernah merapikan rambutku dengan jari tangannya, suer!
***
Malam itu aku melamun di atas ranjangku. Ranjang yang biasanya terasa kaku itu kini berubah menjadi hangat dan lembut di kulit. Akupun jadi grogi ketika memeluk guling yang biasanya kupakai menjadi ganjal betis itu.
Sebuah notifikasi tetiba muncul di layar hape, "Soedah tidoer kah?"Â Duh Gusti, poetjoek ditjinta kelamboe tiba, "boleh aku telfon?"
Sejam berlalu tanpa terasa ketika aku kemudian bertanya kepada Ratih, "Rat, kenapa sih kamu tadi sampai nekat gitu menarikku ke kamarmu?"
"Mmm, aku cuma penasaran aja"
"Penasaran kenapa?"
"Iya, soalnya Armand bilang kamu itu gay."
"What? Sompret, ba*gsat, kodok, sapi, wedus si Armand itu!" teriakku tak bisa menahan amarah.
"Hahaha"
"Trus apa hubungannya dengan gay?" tanyaku keheranan.
"Aku sudah pernah ciuman sama laki-laki normal. Armand itu laki-laki beneran. Trus aku penasaran, gimana sih rasanya ciuman sama seorang gay?"
"Trus, setelah tadi siang itu, apakah kamu masih berpikiran kalau aku itu gay?"
"Yah, enggak tau."
"Gak tau bijimana!"
"Soalnya cowo itu kan agresif. Kalau ciuman, selalunya aku yang pertama kali dicium, lalu aku bales. Tadi siang, aku yang memulai, eh kamunya malah diem bae. Pas aku buka mata, kamu malah merem. Aku ngebatin, bener deh yang dikatakan Armand, kamu itu gay, yang jadi cewenya, hahaha."
"Anjrit! Kamu pikir aku ini Reynhard Sinaga apa! Aku ini laki-laki normal tauk!
"Hahaha, iya deh akhirnya aku percaya kalau kamu itu cowo normal, haha"
"Tapi tetap saja aku merasa kamu tadi itu terlalu nekat Rat, apa ada alasan lain?"
"Entah ya Bram. Aku juga baru nyadar kalau tadi siang itu aku sebenarnya terlalu nekat. Soalnya cuma kamu lho Bram teman cowo yang pernah masuk ke kamarku. Armand aja kalau datang duduknya di teras atau ruang tamu. Duduk di ruang makan aja dia belum pernah!
Aku menghela napas, "Apa kamu masih sakit hati sama Armand, Rat?
"Entahlah Bram, aku gak tau pasti. Tapi rasanya aku gak suka lagi sama dia."Â
Duh Gusti, mudah-mudahan Ratih tidak suka lagi sama Armand. Biar hanya aku saja yang disukai Ratih.Â
Aku membayangkan seandainya aku berkata kepada simbok, "Bu aku mau kawin, tolong lamarkan Ratih Bu"
Simbok pasti berkata sambil nangis, "Aduh le, apa kamu menghamili anak orang le?"
"Mboten lho Bu! Gimana mau hamil, wong aku masih pakai baju komplit dan mepet ke tembok!"
"Lha kalau gitu, kenapa harus kawin tah le?"
"Coz she make's me sweat and wet..." hahaha
***
Sudah seminggu ini aku menjalani TC (Training Center) pemusatan latihan karate untuk persiapan Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNas) di Banjarmasin.
Tadinya aku sudah mau mengundurkan diri. Namanya Pemusatan Latihan, pastinya tinggal di asrama dengan disiplin ketat pula. Senpai-nya galak. Jam 21.30 teng sudah harus tidur, dan hape disita pula sama senpai. Duh Gusti, aku sepertinya tidak akan kuat menanggung rindu.
Akan tetapi di depan Ratih, aku ini tidak punya apa-apa untuk dibanggakan. Sebuah medali pasti akan membuatnya bangga. Aku bersumpah akan membawa pulang medali untuk kuberikan pada Ratih. Kebetulan aku turun di dua kelas, Kata Beregu dan Kumite kelas 65 kg.
Selain itu, atlet yang berprestasi di POMNas tentunya akan membuat harum nama kampus, yang otomatis akan membawa dampak positif pula bagi si mahasiswa. Jadi aku kemudian membulatkan tekad untuk terus maju.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Pikiranku melayang kepada Ratih. Apakah ia benar-benar suka padaku? Awalnya aku tersanjung karena menjadi cowo pertama yang berkenalan dengan Aldo, si buaya darat.
Akan tetapi kini aku ragu. "Hot kissing" itu terjadi begitu saja karena iseng, tanpa direncanakan Ratih. Selain itu mungkin di bawah alam sadarnya, Ratih ingin melampiaskan kekesalan hatinya kepada Armand melalui aku. Astaganaga!
Aku mulai keringat dingin. Mungkin aku ini hanya pelampiasan saja. Hubungan Ratih-Armand jelas belum selesai. Mereka putus hanya lewat sms saja, karena Armand buru-buru mau berangkat.
Bagaimana kalau tiba-tiba Armand datang membawa setangkai mawar dan sekotak cokelat Ferreo Rocher kesukaan Ratih, lalu minta balikan lagi. Duh Gusti mampoes akoe!
Sebagai seorang playboy, Armand ini jelas jagoan dalam hal "mengolah kata," persis kayak si anu itu. Belum lagi kalau ia ternyata suka juga pakai jurus "ayat-mayat." Buktinya ia tega bilang kepada Ratih kalau aku ini gay! Ba*gsat, wedus si Armand ini.
***
Enam minggu berlalu dan POMNas akhirnya selesai juga. Aku mendapat dua medali. Emas lewat Kata Beregu dan Perak lewat nomor Kumite.
Aku habis diomelin sama senpai. Seharusnya aku bisa mendapat emas lagi di nomor Kumite. Apalagi aku sudah unggul empat poin lewat sebuah Wazari dan dua Ippon. Seharusnya aku bermain santai saja. Namun karena tidak fokus, aku malah bermain terlalu agresif dan membuat pelanggaran fatal. Aku kemudian kena diskualifikasi!
Akan tetapi aku tetap senang, medali tetaplah medali. Dua tahun lalu aku gagal mendapat medali karena kurang pengalaman, tapi kini aku mendapat dua medali yang membuatku bahagia.
Ratih ternyata ada di Bali bersama rombongan paduan suara kampus kami yang bertanding di sana. Dari Banjarmasin aku langsung menuju Denpasar, berpisah dengan rombongan besar yang kembali ke Jakarta. Aku memang sengaja tidak menghubungi Ratih karena ingin memberi kejutan kepadanya.
Aku kemudian menyusuri lorong menuju kamar Ratih yang terletak di ujung. Aku membawa setangkai mawar dan sekotak cokelat Ferreo Rocher kesukaan Ratih, dan dua buah medali tentunya.
Aku tadinya mau mengetuk pintu kamar 707 itu, tapi ternyata pintunya sedikit terbuka. Aku kemudian melongokkan kepalaku melewati pintu dan besiap-siap hendak mengucapkan, "room service.."Â tapi kemudian tak jadi. Mulutku tersumbat melihat pemandangan yang ada di depan mataku. Armand tampak memeluk Ratih dan kemudian menciumnya.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H