Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Embun

7 Oktober 2021   16:15 Diperbarui: 7 Oktober 2021   16:27 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarau panjang ini sudah lama melanda desa kami yang terletak di pinggiran hutan yang kini sudah gundul. Penyebab kemarau ini hanya satu yaitu embun yang sudah lama menghilang.

Dulu embun selalu hadir untuk menjaga keseimbangan iklim. Embun menjaga kelembapan agar daun tidak terbakar oleh terik sinar matahari ketika terjadi proses fotosintesis.  

Embun juga membantu kelembapan di permukaan tanah lewat keberadaannya di bawah dedaunan yang berguguran, yang sekaligus juga memberi nutrisi kepada akar tanaman. Semakin banyak vegetasi bertumbuh maka otomatis embun juga semakin banyak.

Tanpa embun kini tanah menjadi kering kerontang sehingga tanaman tidak bisa tumbuh maksimal. Akibatnya panen gagal dan kini paceklik melanda seluruh desa.

Kepala Desa bersama warga kemudian mengadakan rapat akbar. Anehnya, rapat yang tak kuhadiri itu malah kemudian menunjukku sebagai utusan tunggal untuk membujuk embun agar mau hadir kembali.

Awalnya aku tak mau pergi ke puncak gunung tempat embun selalu ada. Namun aku takut dikucilkan atau diusir ke luar dari desa karena menentang keputusan rapat. Aku akhirnya pasrah, lalu pergi seorang diri ke gunung.   

Yah, aku ini hanyalah seorang petani lugu, jomblo dan sebatang kara pula. Kakiku juga pengkor, bawaan dari lahir. Itulah sebabnya mengapa namaku disebut sipengkor.

Mungkin itu juga jadi salah satu alasan mereka menyuruhku ke puncak gunung. Kalau sipengkor ini nanti dimakan macan hutan, tentunya ia tidak akan terlalu rugi. Ia sebatang kara, kakinya pengkor dan jomblo pula. Jadi tidak akan ada yang meratapi kemalangannya itu.

***

Perjalanan ke puncak gunung memakan waktu berhari-hari. Pada suatu pagi di hari ke-tiga perjalanan menuju puncak gunung, aku tiba-tiba bertemu dengan seekor macan kumbang di sebuah mata air yang hampir mengering.

Predator yang kelaparan itu nyaris saja memangsaku, tapi aku terlebih dahulu menjelaskan visi dan misiku mencari embun ke puncak gunung. Karnivora itu akhirnya bisa mengerti arti sebuah ekosistim. 

Kalau ia memakanku, ia akan makan enak untuk beberapa hari saja. Akan tetapi setelah itu ia akan kelaparan lagi sampai datang orang bodoh lainnya seperti aku, yang mungkin saja melintasi tempat ini. Namun, kalau ia bersabar dan membiarkan aku mencari embun, maka hasilnya pasti akan lebih baik.

Kalau embun datang lagi, maka ayam hutan, rusa dan babi hutan dan binatang lainnya akan datang kembali ke tempat ini. Hidupnyapun akan senang kembali. Apalagi memakan manusia itu haram hukumnya karena dosa! Akhirnya macan kumbang itu memutuskan untuk ikut menemani perjalananku.

Perjalananku kini semakin nyaman karena ada sosok macan kumbang yang menemani. Namun ketika akan tidur pada malam harinya aku tetap saja waspada. Kalau mahluk berkaki dua seperti manusia dan jin saja bisa jatuh ke dalam dosa, apalagi mahluk berkaki empat yang sedang kelaparan ini.

Aku kemudian mencari dua batang kayu lurus dan membuat hammock, lalu tidur di atasnya. Macan kumbang itu hanya tertawa geli karena ia tahu kalau ia tidak akan bisa menjangkau tali itu.

Pada hari ke-lima aku bertemu pula dengan seekor burung beo yang tergeletak di atas tanah. Ia merintih kesakitan. Tampaknya kakinya patah atau keseleo. Macan kumbang itu nyaris saja memangsanya. Untunglah burung pintar itu menjelaskan visi dan misinya dalam membantu kami mencari embun ke puncak gunung.

Rupanya ia kemarin menguping pembicaraan kami. Semua burung termasuk keluarga beo ini ternyata telah hijrah ke hutan lain, padahal beo ini tidak ingin pergi dari hutan ini.

Ternyata beo bijak ini punya pandangan tersendiri mengapa ia tidak mau hijrah. Menurutnya dari pada berpindah-pindah terus, lebih baik berupaya membuat tempat tandus ini kembali seperti semula, yaitu dengan cara memanggil embun. 

Akan tetapi ia sendiri tidak akan mampu melakukannya. Ia butuh bantuan mahluk lain agar embun percaya dan mau datang kembali ke hutan tandus ini.

Aku lalu merawat dan membebat kaki beo itu. Ia kini tampak lebih ceria dan bersemangat. Perjalanan kami ke puncak gunung kini semakin mudah dan cepat Karena beo ini bisa terbang seperti drone, dan bisa memilih jalan terbaik bagi kami berdua. 

Yah, bekerjasama dan sama-sama bekerja itu ternyata mempermudah segalanya. Beo menjadi penunjuk jalan terbaik dan sosok macan kumbang menjauhkanku dari hewan buas lainnya. 

“Apabila seorang dapat dikalahkan, maka dua orang akan dapat bertahan. Tiga utas tali yang dipilin akan susah diputuskan.”

Hujan deras kemudian menyambut kami ketika tiba di puncak gunung. Entah sudah berapa lama air hujan absen mengguyur tubuh keringku. Macan kumbang kemudian berlari ke sana-sini dengan sukacita, mengingatkanku pada film Dances with wolves Kevin Costner dulu itu.

Burung beo itu juga terbang dengan riangnya di antara pepohonan sambil bernyanyi, membuat memori memutar masa kecilku. sayup-sayup terdengar sebuah nyanyian di masa kecil, “Di pucuk pohon cempaka, burung ku-beo berbunyi, bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu, mengangguk-angguk sambil berseru, trilili lili lili.”

Singkat cerita kami akhirnya bertemu dengan embun, lalu menjelaskan maksud kedatangan kami. Ternyata embun ogah hadir karena keserakahan manusia yang menggunduli hutan tanpa aturan. 

Akibatnya kami masyarakat yang berdiam di pinggir hutan kena getahnya. Tanah mengering dan menjadi tandus. Tanaman tidak menghasilkan.

Setelah dibujuk, embun akhirnya mau hadir kembali tetapi dengan satu syarat. Salah dua atau salah satu dari kami harus tetap tinggal di puncak gunung untuk mengabdi kepada embun.

Berapa lama kami bersedia tinggal di puncak gunung, maka akan selama itu pula embun datang ke pinggiran hutan. Setidaknya dibutuhkan dua ratus purnama agar tanah tandus itu bisa menjadi hutan kembali. Dengan demikian tanah perladangan di desa akan subur kembali.

Astaga berat nian persyaratan itu. kami kemudian berembuk. Macan kumbang tidak bisa berlama-lama di puncak gunung karena keluarganya sangat membutuhkan kehadirannya.

Demikian juga halnya dengan burung beo. Anak-anaknya masih kecil. Burung beo itu hidup soliter. Tidak seperti manusia, burung beo punya prinsip pasangan hanya satu saja. 

Jadi kalau pasangannya pergi atau mati, maka ia tidak akan mencari pasangan lagi. Lalu bagaimana beo single parent itu akan membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil?

Ya ampun, ternyata bukan hanya di dunia manusia saja aku menjadi “sipengkor.” Di dunia mamalia dan unggaspun, akupun tetaplah “sipengkor.” Ya sudahlah. Hidup di desa atau di puncak gunungpun tidak ada bedanya bagiku, sebab tidak ada juga yang merindukanku.

***

Dua ratus purnama berlalu tanpa terasa. Hutan di pinggir desa kini sudah lebat kembali. Burung-burung dan binatang hutan lainnya sudah kembali ke tempat asalnya seperti semula. Tugasku telah selesai dan aku ingin turun gunung.

Namun aku ragu, kemanakah aku hendak pergi? Tidak ada seorangpun yang merindukan atau peduli dengan hidupku. Akupun tidak tahu apakah gubuk reotku dulu masih ada atau tidak.

Akan tetapi kupaksakan juga untuk turun gunung. Walau bagaimanpun aku ini tetaplah seorang manusia. Dua ratus purnama tanpa pernah berbicara, bahkan bertemu dengan manusia membuatku takut kehilangan nilai-nilai kemanusiaanku.

Aku akhirnya sampai di sebuah rumah tak jauh dari pinggiran hutan. Aku terperangah. Lampu minyak ternyata sudah digantikan lampu listrik. Dari balik dinding papan rumah tersebut sayup-sayup terdengar suara seorang laki-laki. Aku kemudian mengintip dari celah sambungan papan yang terbuka sedikit.

Tampak seorang ayah muda sedang memegang sebuah kertas bergambar seorang anak muda yang berjalan dengan menyeret sebelah kakinya. Rupanya ia sedang mendongeng kepada sepasang anaknya yang rebahan di samping badannya.

 “Dahulu di desa kita ini adalah seorang anak muda bernama sipengkor. Pada satu kali, datanglah jin hutan menculik embun. Akibatnya terjadi kemarau panjang. Tanaman meranggas, tanah pun menjadi tandus, dan terjadilah paceklik. Dengan gagah berani sipengkor kemudian pergi ke puncak gunung untuk bertempur melawan jin hutan. Selain menculik embun, jin hutan itu rupanya juga menculik putri raja.” Sejenak siayah menarik nafas sembari menatap kedua bocah itu.

“Setelah bertempur selama seratus purnama, sipengkor kemudian berhasil mengalahkan jin hutan. Ia lalu membebaskan embun dan putri. Bukan itu saja, rupanya ketika masih bayi, sipengkor terkena kutukan jin hutan itu. Setelah jin hutan tewas, sipengkor kemudian berubah kembali menjadi seorang pangeran tampan, dan kemudian menikah dengan putri tadi.” Ayah menutup cerita.

Cerita happy ending itu rupanya membuat kedua bocah itu puas, lalu tertidur di samping ayahnya. Dari balik dinding papan rumah itu, aku terharu sambil menahan tangis. Rupanya namaku masih disebut-sebut juga walaupun hanya sebagai dongeng pengantar tidur anak-anak.

Aku kembali saja ke puncak gunung agar embun bisa tetap hadir di sini. Lagipula aku tak ingin mengecewakan kedua bocah itu. Sipengkor yang dulu tetaplah sipengkor jomblo, tidak akan pernah berubah menjadi pangeran tampan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun