“Apabila seorang dapat dikalahkan, maka dua orang akan dapat bertahan. Tiga utas tali yang dipilin akan susah diputuskan.”
Hujan deras kemudian menyambut kami ketika tiba di puncak gunung. Entah sudah berapa lama air hujan absen mengguyur tubuh keringku. Macan kumbang kemudian berlari ke sana-sini dengan sukacita, mengingatkanku pada film Dances with wolves Kevin Costner dulu itu.
Burung beo itu juga terbang dengan riangnya di antara pepohonan sambil bernyanyi, membuat memori memutar masa kecilku. sayup-sayup terdengar sebuah nyanyian di masa kecil, “Di pucuk pohon cempaka, burung ku-beo berbunyi, bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu, mengangguk-angguk sambil berseru, trilili lili lili.”
Singkat cerita kami akhirnya bertemu dengan embun, lalu menjelaskan maksud kedatangan kami. Ternyata embun ogah hadir karena keserakahan manusia yang menggunduli hutan tanpa aturan.
Akibatnya kami masyarakat yang berdiam di pinggir hutan kena getahnya. Tanah mengering dan menjadi tandus. Tanaman tidak menghasilkan.
Setelah dibujuk, embun akhirnya mau hadir kembali tetapi dengan satu syarat. Salah dua atau salah satu dari kami harus tetap tinggal di puncak gunung untuk mengabdi kepada embun.
Berapa lama kami bersedia tinggal di puncak gunung, maka akan selama itu pula embun datang ke pinggiran hutan. Setidaknya dibutuhkan dua ratus purnama agar tanah tandus itu bisa menjadi hutan kembali. Dengan demikian tanah perladangan di desa akan subur kembali.
Astaga berat nian persyaratan itu. kami kemudian berembuk. Macan kumbang tidak bisa berlama-lama di puncak gunung karena keluarganya sangat membutuhkan kehadirannya.
Demikian juga halnya dengan burung beo. Anak-anaknya masih kecil. Burung beo itu hidup soliter. Tidak seperti manusia, burung beo punya prinsip pasangan hanya satu saja.
Jadi kalau pasangannya pergi atau mati, maka ia tidak akan mencari pasangan lagi. Lalu bagaimana beo single parent itu akan membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil?
Ya ampun, ternyata bukan hanya di dunia manusia saja aku menjadi “sipengkor.” Di dunia mamalia dan unggaspun, akupun tetaplah “sipengkor.” Ya sudahlah. Hidup di desa atau di puncak gunungpun tidak ada bedanya bagiku, sebab tidak ada juga yang merindukanku.