***
Dua ratus purnama berlalu tanpa terasa. Hutan di pinggir desa kini sudah lebat kembali. Burung-burung dan binatang hutan lainnya sudah kembali ke tempat asalnya seperti semula. Tugasku telah selesai dan aku ingin turun gunung.
Namun aku ragu, kemanakah aku hendak pergi? Tidak ada seorangpun yang merindukan atau peduli dengan hidupku. Akupun tidak tahu apakah gubuk reotku dulu masih ada atau tidak.
Akan tetapi kupaksakan juga untuk turun gunung. Walau bagaimanpun aku ini tetaplah seorang manusia. Dua ratus purnama tanpa pernah berbicara, bahkan bertemu dengan manusia membuatku takut kehilangan nilai-nilai kemanusiaanku.
Aku akhirnya sampai di sebuah rumah tak jauh dari pinggiran hutan. Aku terperangah. Lampu minyak ternyata sudah digantikan lampu listrik. Dari balik dinding papan rumah tersebut sayup-sayup terdengar suara seorang laki-laki. Aku kemudian mengintip dari celah sambungan papan yang terbuka sedikit.
Tampak seorang ayah muda sedang memegang sebuah kertas bergambar seorang anak muda yang berjalan dengan menyeret sebelah kakinya. Rupanya ia sedang mendongeng kepada sepasang anaknya yang rebahan di samping badannya.
“Dahulu di desa kita ini adalah seorang anak muda bernama sipengkor. Pada satu kali, datanglah jin hutan menculik embun. Akibatnya terjadi kemarau panjang. Tanaman meranggas, tanah pun menjadi tandus, dan terjadilah paceklik. Dengan gagah berani sipengkor kemudian pergi ke puncak gunung untuk bertempur melawan jin hutan. Selain menculik embun, jin hutan itu rupanya juga menculik putri raja.” Sejenak siayah menarik nafas sembari menatap kedua bocah itu.
“Setelah bertempur selama seratus purnama, sipengkor kemudian berhasil mengalahkan jin hutan. Ia lalu membebaskan embun dan putri. Bukan itu saja, rupanya ketika masih bayi, sipengkor terkena kutukan jin hutan itu. Setelah jin hutan tewas, sipengkor kemudian berubah kembali menjadi seorang pangeran tampan, dan kemudian menikah dengan putri tadi.” Ayah menutup cerita.
Cerita happy ending itu rupanya membuat kedua bocah itu puas, lalu tertidur di samping ayahnya. Dari balik dinding papan rumah itu, aku terharu sambil menahan tangis. Rupanya namaku masih disebut-sebut juga walaupun hanya sebagai dongeng pengantar tidur anak-anak.
Aku kembali saja ke puncak gunung agar embun bisa tetap hadir di sini. Lagipula aku tak ingin mengecewakan kedua bocah itu. Sipengkor yang dulu tetaplah sipengkor jomblo, tidak akan pernah berubah menjadi pangeran tampan.