Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Terakhir untukmu Sahabat

23 September 2021   19:25 Diperbarui: 23 September 2021   19:31 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari surat salah alamat. Rani mengirim surat kepada Ari Septian, sepupunya yang ditahan di LP (lapas) Nusakambangan karena kasus narkoba.

Ternyata Ari (sepupu Rani itu) sudah meninggal sebulan lalu akibat overdosis. Rani tidak mengetahuinya karena mereka memang tidak pernah lagi berhubungan sejak Rani bersekolah di Singapura. 

Sipir lapas kemudian memberikan surat Rani tersebut kepada Ari Jonathan (napi kasus pembunuhan) karena tidak ada lagi Ari yang lain di lapas tersebut. Tak dinyana korespondensi Rani dan Ari Jonathan berlanjut terus selama beberapa tahun, hingga Ari akhirnya mengirim surat terakhirnya kepada Rani.

Dear Rani yang cakep di tempat.

Rani, aku mengucapkan ribuan terima kasih kepada kamu yang sudah bersedia menemaniku berbagi asa dan rasa lewat surat-surat selama ini. Hare gene, bahkan dua dekade lalupun orang tidak lagi berkirim surat atau postcard. Itu karena orang bisa langsung chatt atau ngobrol langsung kan lewat hape, hehe.

Namun surat-surat ini tetaplah sangat spesial bagiku. Rani, aku mau buat pengakuan. Selain darimu, aku sebenarnya tidak pernah menerima sepucuk suratpun dari orang lain, hehehe.

Dulu saat aku masih kecil, mungkin saat aku berumur sepuluh tahunan dan masih tinggal di panti asuhan, aku pernah menerima sepucuk kartu pos dari seorang anak yang pernah diajak orang tuanya berkunjung ke panti asuhan.

Aku ingin membalasnya, tapi tidak punya uang untuk membeli perangko dan kartu pos. Waktu itu hidup di panti asuhan sangat susah. Kami sudah bersyukur kalau bisa makan nasi dua kali sehari. Terkadang kami hanya makan bubur encer saja tanpa lauk. Padahal hampir setiap hari ada saja bayi yang "dibuang" ke panti asuhan.

Yah Rani, aku mau buat pengakuan lagi. Panti asuhan kami itu sangat berbeda dengan panti asuhan lainnya. Kalau panti asuhan lainnya itu masih sering dikunjungi oleh saudara, teman atau bahkan pejabat pemerintahan, maka kami justru tidak. Kami tidak punya saudara, teman atau siapapun yang akan melihat kami. Tahu kenapa?

Itu karena ibu-ibu kami itu semuanya adalah pelacur! Bahkan ibu kami sendiri juga tidak mengenal kami. Aku takkan bertanya siapa ayahku, karena ibuku juga pasti tidak mengenal "siapa-siapa saja" ayahku.

Yah kami adalah anak-anak yang lahir ke dunia ini tanpa pernah diharapkan. Kami adalah anak haram jadah yang menjijikkan. Itulah sebabnya sangat sulit mencari donatur atau orang yang mau berempati kepada panti asuhan tempat kami bernaung. Bahkan perusahaan strum negara juga tidak ragu untuk memutus listrik apabila panti terlambat membayar tagihan bulanan.

Aku masih ingat saat masih kecil di panti asuhan. Kami sering menyanyikan lagu, "Kasih ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia." Setelah bernyanyi kamipun tertawa karena kami tidak tahu apa artinya kasih dan sosok ibu. Jangan juga bertanya kepada kami arti dari sosok ayah.

Ketika itu kehidupan di panti cukup keras bagi anak-anak seusia kami. Aku kemudian kabur untuk mencari kehidupan di alam bebas. Akan tetapi kehidupan di luar ternyata jauh lebih keras dan berbahaya bagi anak remaja seusiaku.

Aku pernah ditusuk seorang bocah yang badannya jauh lebih kurus dariku hanya karena rebutan burger bekas dari tong sampah.

Gelandangan dan pengemis jalanan sering baku tikam hanya karena masalah sepele. Mulai dari rebutan kardus bekas hingga kaplingan tempat tidur.

Aku pernah memukul kepala seseorang dengan batu hingga darahnya membasahi sekujur tubuhku. Dini hari itu aku sudah tertidur lelap di emperan sebuah toko. Lalu datang seseorang menindih tubuhku. Nafasnya mendengus-dengus di leher dan ia memelukku dengan kuat.

Aku berteriak ketakutan, tapi orang di sampingku diam saja, seperti orang tertidur pulas. Aku panik, lalu meraih batu dan memukulkannya ke kepalanya. Ia mengaduh, kemudian berteriak, lalu merintih kemudian diam tak bergerak lagi.

Orang yang di sampingku tadi kemudian terbangun. Ia menatapku dengan tajam, lalu membereskan barang-barangnya dan pindah ke sudut dekat gang. Ia kemudian merebahkan badannya di sana dan kembali tidur pulas seakan tidak terjadi apa-apa.

Alam membentukku dengan keras. Malam beratapkan langit dan siang bermandikan terik sang surya. Aku hidup dan bergaul dengan mahluk sesamaku yang datang ke dunia ini tanpa ditemani sosok ibu, ayah, kakek, nenek atau sebutan apapun itu dalam hierarki manusia normal.

Teori evolusi Darwin benar-benar terbukti di alam liar ini. "Hanya yang kuat bisa bertahan karena yang lemah akan mati dimangsa yang kuat!" Alam kemudian mengajarku untuk menjadi kuat untuk memangsa yang lemah agar aku punya tempat di alam yang semakin sesak ini.

Pada suatu kali aku mencoba peruntunganku dengan menjadi awak kapal. Awalnya aku bekerja di kapal penangkap ikan, lalu di kapal pengangkut batu bara, kapal barang dan kapal pesiar.

Sepuluh tahun bekerja di kapal, aku sudah menjelajahi pelosok dunia. Akan tetapi nasibku sama saja seperti di jalanan dulu karena aku selalu menjadi sosok yang lemah untuk dieksploitasi habis-habisan.

Tidak punya KTP, paspor, visa, sponsor dan izin kerja membuat nasibku seperti telur di ujung tanduk karena rawan digaruk polisi dan petugas imigrasi.

Sepuluh tahun bekerja di kapal, aku tetap tidak punya apa-apa! Bukan itu saja, aku bahkan dibiarkan terlantar di negeri orang dan akhirnya benar-benar digaruk petugas imigrasi. Aku kemudian dideportasi dan kembali ke jalanan, malam beratapkan langit dan siang bermandikan terik sang surya.

Amarahku tak tertahankan lagi. Aku segera mencari tahu pemilik PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) di Jakarta yang menjadi agenku selama ini, karena ialah yang paling bertanggung jawab atas nasibku dan juga puluhan TKI yang mereka terlantarkan selama ini.  

Aku akhirnya bertemu dengan bos PJTKI tersebut. Setelah mengeluarkan unek-unek dan amarahku, aku akhirnya bernegosiasi dengan Pak Rachmat, sang bos untuk kompensasi gajiku selama ini.

Aku tidak minta macem-macem. Setengah dari hak-ku juga tidak apa-apa, yang penting aku punya pegangan untuk menata hidup yang baru nantinya.

Pada saat aku negosiasi dengan Pak Rachmat dan suasana sudah kondusif, eh tiba-tiba masuk serombongan orang ke ruangan pak Rachmat tanpa terkendali. Mereka berteriak-teriak dengan brutal.

Ada beberapa yang kutahu sebagai mantan TKI di kapal, tetapi sebagian lagi tak kukenal dan tampak seperti preman jalanan.

Suasana semakin tidak terkendali ketika Pak Rachmat yang ketakutan segera mengeluarkan pistol dari laci mejanya. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika terdengar suara letusan senjata. Aku jatuh terkulai ketika dua buah timah panas menghajar tubuhku.

Aku tidak menyangka suasananya akan sebrutal itu. Pak Rachmat kemudian tewas dengan sepuluh tusukan dan berbagai pukulan. Satpam dan beberapa staf juga dianiaya. Brankas di ruangan Pak Rachmat dibuka paksa, dan isinya diambil semua. Dompet, arloji, hape dan cincin Pak Rachmat juga diambil. Isi kantor juga dijarah, sementara aku dibiarkan sendirian meregang nyawa.

Polisi akhirnya membawaku ke rumah sakit dan aku dirawat di sana. Namun aku kemudian divonis hukuman mati karena dianggap sebagai dalang dari peristiwa pembunuhan dan perampokan tersebut.

Kemarin putusan dari Mahkama Agung juga sudah keluar, yang menguatkan putusan hukuman mati tersebut.

Dengan demikian eksekusi tinggal menunggu waktu saja. Aku bersumpah tidak pernah menyentuh Pak Rachmat maupun uangnya. Aku hanya meminta hak-ku saja, dan tanpa Pak Rachmat harapan itu kini sudah punah.

Aku sudah pasrah, bagiku hidup atau mati tidak ada bedanya. Kalaupun aku dibebaskan, toh sama saja. Aku akan kembali ke jalanan juga, dan di jalanan sana aku bisa saja akan membunuh seseorang demi sepotong burger bekas dari tong sampah. Jadi mungkin lebih baik kalau aku mati sekarang saja.

Rani, aku ingin berterima kasih padamu. Sebab hadirmu memberi arti dalam hidupku. Di ujung perjalanan hidupku ini, kini aku tidak malu mengatakan kalau aku sangat amat mencintaimu walaupun aku belum pernah bertemu denganmu.

Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Kini aku tahu rasanya. Orang bilang berjuta rasanya, tapi bagiku bermilyar rasanya. You know why? Karena aku terlahir tanpa perasaan.

Bagi orang normal, jatuh cinta pasti akan berlanjut dengan pacaran, tunangan, menikah, punya anak dan menua bersama. Akan tetapi "perasaan" ini sudah lebih dari cukup bagiku dan juga bagi orang-orang sepertiku yang dilahirkan tanpa perasaan.

Nanti kalau aku masuk neraka dan bertemu dengan ibuku, aku akan berkata, "ibu terima kasih telah melahirkanku ke dunia ini, sehingga membuatku mengerti akan rasa ini. Jatuh cinta membuatku sangat bahagia karena mampu menutup seluruh air mata yang tak pernah tertumpah"

Rani, aku juga meminta maaf. Aku baru tahu kalau Pak Rachmat itu ternyata adalah ayahmu. Aku tidak ingin lepas tanggung jawab atau membela diri dihadapanmu sebab tidak akan ada bedanya lagi.

Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya, yaitu aku benar-benar sangat mencintaimu. Aku tahu kamu kini akan sangat membenciku. Aku bisa terima itu. Tidak usalah balas surat ini. 

Biarlah suratmu bulan lalu itu menjadi surat terakhir darimu. Aku akan membawanya sampai saat aku dieksekusi. Suratnya akan menjadi kenangan, tapi isinya akan selamanya bersama jiwaku.

Bolehkah aku memanggilmu sayang, setidaknya untuk sekali ini? Terima kasih sayang karena sudah mewarnai hidupku, memberi taburan bintang yang menghiasi langitku yang gelap dan menjadi oase dalam perjalanan hidupku yang kering kerontang. I love you forever coz you were always on my mind.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun