Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Terakhir untukmu Sahabat

23 September 2021   19:25 Diperbarui: 23 September 2021   19:31 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amarahku tak tertahankan lagi. Aku segera mencari tahu pemilik PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) di Jakarta yang menjadi agenku selama ini, karena ialah yang paling bertanggung jawab atas nasibku dan juga puluhan TKI yang mereka terlantarkan selama ini.  

Aku akhirnya bertemu dengan bos PJTKI tersebut. Setelah mengeluarkan unek-unek dan amarahku, aku akhirnya bernegosiasi dengan Pak Rachmat, sang bos untuk kompensasi gajiku selama ini.

Aku tidak minta macem-macem. Setengah dari hak-ku juga tidak apa-apa, yang penting aku punya pegangan untuk menata hidup yang baru nantinya.

Pada saat aku negosiasi dengan Pak Rachmat dan suasana sudah kondusif, eh tiba-tiba masuk serombongan orang ke ruangan pak Rachmat tanpa terkendali. Mereka berteriak-teriak dengan brutal.

Ada beberapa yang kutahu sebagai mantan TKI di kapal, tetapi sebagian lagi tak kukenal dan tampak seperti preman jalanan.

Suasana semakin tidak terkendali ketika Pak Rachmat yang ketakutan segera mengeluarkan pistol dari laci mejanya. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika terdengar suara letusan senjata. Aku jatuh terkulai ketika dua buah timah panas menghajar tubuhku.

Aku tidak menyangka suasananya akan sebrutal itu. Pak Rachmat kemudian tewas dengan sepuluh tusukan dan berbagai pukulan. Satpam dan beberapa staf juga dianiaya. Brankas di ruangan Pak Rachmat dibuka paksa, dan isinya diambil semua. Dompet, arloji, hape dan cincin Pak Rachmat juga diambil. Isi kantor juga dijarah, sementara aku dibiarkan sendirian meregang nyawa.

Polisi akhirnya membawaku ke rumah sakit dan aku dirawat di sana. Namun aku kemudian divonis hukuman mati karena dianggap sebagai dalang dari peristiwa pembunuhan dan perampokan tersebut.

Kemarin putusan dari Mahkama Agung juga sudah keluar, yang menguatkan putusan hukuman mati tersebut.

Dengan demikian eksekusi tinggal menunggu waktu saja. Aku bersumpah tidak pernah menyentuh Pak Rachmat maupun uangnya. Aku hanya meminta hak-ku saja, dan tanpa Pak Rachmat harapan itu kini sudah punah.

Aku sudah pasrah, bagiku hidup atau mati tidak ada bedanya. Kalaupun aku dibebaskan, toh sama saja. Aku akan kembali ke jalanan juga, dan di jalanan sana aku bisa saja akan membunuh seseorang demi sepotong burger bekas dari tong sampah. Jadi mungkin lebih baik kalau aku mati sekarang saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun