Putuslah rambut, putus pula ikatan. Pecahlah piring, hilanglah harapan. Jangan ditanya kemana aku pergi, usah ditanya mengapa aku pergi..
Kisah mengenai KPK ini memang bak drakor yang tak ada habisnya. Pada saat legalisasi RUU-KPK dan pergantian komisioner KPK berlangsung beberapa waktu lalu, isu pelemahan KPK kemudian dihembuskan. "Gejayan memangggil" berkumandang dari Sabang sampai Merauke. Demo berjilid-jilid kemudian berlangsung menandingi demo berseri kode togel dulu.
Akan tetapi anjing menggonggong kafilah berlalu. Artinya kalau anjing menggonggong, biarkan saja sebab dia hanyalah seekor anjing yang akan selalunya menggonggong bukan mengeong.
Tak lama kemudian DPR mengetuk palu, RUU-KPK kemudian sah menjadi UU-KPK yang baru. Pergantian komisioner kemudian berlangsung mulus. Teranyar KPK kini memiliki Dewas alias Dewan Pengawas yang bertugas untuk mengawasi kinerja KPK agar sesuai dengan prosedur hukum.
Penulis seketika kaget. Rupanya selama ini KPK tidak ada pengawasnya. Buset! Lha, wong setan dan demit saja ada pengawasnya! Apakah KPK lebih serem daripada setan dan demit, Wallahu'alam.
Polisi, Jaksa, Hakim, bahkan Presiden pun ada pengawasnya. Masih ingat kan ketika Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) diberhentikan Dewan Pengawas (DPR) dari jabatannya karena dianggap tersandung dalam kasus Bulogate?
Lha kalau tidak diawasi, darimana "murid Taman kanak-kanak" itu tahu kalau Gus Dur melenceng jalannya. Sayang kala itu Gus Dur kurang modal untuk membeli nasi bungkus. Akibatnya demo berseri kode togel pun urung terjadi.
Misalnya saja anda seorang kontraktor yang mendapat pekerjaan di Papua. Anda lalu mengirim seribu orang pekerja ke sana tanpa didampingi pengawas (mandor) Apakah anda yakin tidak akan ada dari pekerja itu yang akan main gaple pada saat jam kerja?
Laki kalau tidak diawasi bininya, tidurnya pun bisa "tidak jelas." Apakah anda yakin kalau laki-laki yang bekerja di kapeka itu tidak perlu diawasi karena mereka itu adalah lelaki sejati "penjaga roh kaum laki-laki?"
Waktu berlalu musim pun berganti. "Gejayan memangggil" pun sirna ditelan berita tentang pandemi. Penerapan prokes berupa social distancing dan "menipisnya bahan bakar" rupanya membuat para "pekerja di industri kreatif" ogah menggelar demo "Anti KPK New Normal-Pro KPK lama."
LSM ICW yang dulu suaranya kenceng banget, kini seperti riak-riak saja. Padahal air beriak tanda tak dalam. Penulis sendiri merasa heran, LSM ini sebenarnya "penjaga roh institusi KPK" ataukah "penjaga roh oknum pegawai KPK."
Untung tak dapat diraih malang tak dapat dihempang. UU-KPK yang baru rupanya mengamanatkan kalau seluruh pegawai KPK itu harus menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) pula.
Wajar sebab KPK adalah Lembaga Negara. Mosok abdi negara itu bukan ASN? Artinya selama ini bisa saja pegawai KPK itu adalah antek "asing-aseng," PKI, Vietcong, Tamil Elam, KGB, Mossad, CIA, PPD ataupun metromini misalnya, yang tentunya bisa diragukan integritas kebangsaannya bagi Republik Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, KPK kemudian bekerjasama dengan Kemenpan RB, Kemenkumham, Pusintel TNI AD, PusPsikologi TNI AD dan BNPT untuk menyelenggarakan asesmen berupa test wawasan kebangsaan sebagaimana juga diterapkan kepada semua calon ASN.
TWK merupakan teknis aparatur negara dalam mengimplementasikan undang undang. TWK dimandatkan UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dimana terdapat asas dan nilai dasar ASN antara lain meliputi kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI & Pemerintah. Selain itu terdapat UU No 19 Tahun 2019 Tentang KPK yang menyatakan pegawai KPK adalah ASN.
Dengan dasar aturan tersebut kemudian dilaksanakanlah TWK terhadap 1.351 pegawai KPK dan hasilnya 1.274 memenuhi syarat (MS) dan 75 orang Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Masalah kemudian timbul ketika 75 orang TMS itu ternyata adalah "penjaga roh KPK" selama ini! Rupanya di "KPK lama" itu ada dua peraturan. Peraturan pertama, "penjaga roh KPK" tidak mungkin salah. Peraturan kedua, Kalau "penjaga roh KPK" salah, harap baca lagi peraturan pertama!
Selama ini ada jutaan calon ASN yang tersungkur ketika mengikuti tes TWK, dan tidak pernah pula ada yang mempertanyakan materi ujian TWK tersebut. Anehnya ketika 75 orang calon ASN tidak lulus TWK, para pendeta PGI pun ikut kebakaran jenggot. Padahal umumnya pendeta jarang memelihara jenggot. Kalau pendeta jemaat di kampung umumnya mereka ini lebih suka memelihara ayam, itik atau ikan nila daripada memelihara jenggot. Apakah di PGI banyak pendeta jenggotan? Wallahu'alam.
Dari 1.274 pegawai KPK yang memenuhi syarat (MS) tadi pun tidak ada pula yang mempersoalkan materi ujian TWK tersebut. Mungkin disitu pula-lah letak perbedaannya. Mereka ini ketika ditanya, kemudian menjawab dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya.
Lha yang TMS ketika ditanya, malah balik "menyelidik dan menyidik" sipenanya tadi. Lha kan jadi repot.
Terbiasa nanya dan menyidik mungkin jadi grogi atau tersinggung ketika ditanyai. Akhirnya jawabannya jadi sedikit ngawur atau bagaimana, tapi yang jelas mereka ini gagal atau TMS menjadi ASN.
Narasi kemudian berkembang bahwa dari sejak awal, mereka yang TMS ini memang sengaja disingkirkan. Apalagi mereka ini memegang kasus-kasus besar. Penulis kemudian terhenyak, apakah soal TWK untuk mereka ini memang berbeda dengan 1.274 pegawai yang MS tadi? Eh ternyata soalnya sama semua! Hahaha... Ini namanya muka buruk cermin dibelai eh dibelah.
Ada lagi yang mengatakan, kini para maling dan koruptor akan tertawa karena para "penjaga roh KPK" sudah tidak ada lagi. Korupsi pasti akan merajalela. Narasi ini jahat sekali karena menggiring opini seolah-olah yang serius bekerja di KPK selama ini hanya 75 pegawai yang TMS itu saja. Lantas 1.274 pegawai KPK yang MS itu ngapain saja? Kasihan kan mereka ini, padahal KPK itu bekerja secara kolektif kolegial.
Narasi sesat seperti ini adalah bahaya laten ciri-ciri khas PKI dan penjajah kolonial pengadu domba. Dulu Belanda pun menakut-nakuti warga agar jangan mau merdeka dengan alasan bahwa bangsa pribumi tidak akan mampu mengatur negeri ini. Kini warga juga hendak disesatkan dengan isu "penjaga roh KPK" ini demi kepentingan beberapa pihak tertentu.
Ngemeng-ngemeng soal gagal test, penulis jadi ingat ketika dua pimpinan KPK sebelumnya tidak lolos saat tes seleksi oleh Pansel Capim KPK periode 2019-2023. Pimpinan tersebut yakni Basaria Panjaitan tidak lolos seleksi psikologi dan Laode M Syarief tidak lolos tes profile assessment.
Loetjoe-nya lagi, kedua komisioner tersebut juga pernah menjalani tes oleh anggota pansel capim KPK yang sama pada periode 2015-2019 sebelumnya, yakni Yenti Garnasih. Akan tetapi kedua komisioner itu legowo dan tidak ada polemik yang berkembang. Kedua komisioner itu pun tidak mengadu ke PGI, Pertina, PBSI ataupun PSSI!
Apakah kedua komisioner ini lebih rendah "status sosialnya" daripada pegawai KPK yang menjadi pengurus Wadah Pegawai KPK itu? Tampaknya bisa jadi Iya!
Nah kalau sudah begini, kita harus balik ke belakang lagi untuk melihat sejarah awal mula terbentuknya KPK ini.
KPK adalah lembaga ad hoc yang bersifat temporer, dibentuk dengan tujuan khusus yakni untuk mengejar koruptor kroni-kroni Suharto yang sebelumnya nyaris tidak tersentuh hukum.
Mengapa dibentuk Lembaga ad hoc padahal ada Kepolisian dan Kejaksaan? Ya karena tujuan khusus tadi, supaya para koruptor itu bisa diproses lebih cepat, karena lembaga Kepolisian dan Kejaksaan sendiri ketika itu dianggap belum terlepas dari pengaruh kuat Suharto yang sudah mencengkeram Indonesia selama 32 tahun. Padahal para penyidik KPK diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan juga! :)
Kebetulan pula kita masih dalam proses reformasi (transisi) Artinya ketika reformasi sudah "settle" dan semua lembaga penegak hukum nantinya sudah bisa bekerja dengan baik, maka KPK ini akan segera dibubarkan. Bubar?
Lha, kalo gak bubar berarti ada yang gak bener, dan ternyata memang iya!
Analogi sederhananya, KPK itu ibarat genset yang dipakai ketika lampu PLN padam. Setelah kerusakan berhasil diperbaiki, maka arus listrik dari gardu PLN akan segera difungsikan kembali. Lha, kalau gensetnya sampai sekarang masih nyala terus, berarti ada yang gak benar dong! Kalau bukan orang PLN-nya, pasti "tukang gensetnya!" Tapi yang jelas ada kepentingan besar yang bermain di sini.Â
Masih ingatkan ketika "tukang gensetnya" dulu berniat mau nya-wapres? hahaha. Bukan batu besar yang membuatnya terjatuh, melainkan kerikil kecit. Dan iapun segera kejepit dan hilang dari peredaran.
Lain padang lain belalangnya. Lain sultan lain pula hulubalangnya. Walaupun nekat nyawapres, tapi sultan bukanlah penguasa sesungguhnya. Sebab sultan berganti dalam satu periode tertentu, sedangkan hulubalang bertugas sampai pensiun. Hulubalang yang punya sebuatan "penjaga roh kerajaan" inilah yang membuat sistem di dalam kerajaan dan mengendalikannya dengan kontrol penuh.
Dengan demikian siapa pun sultan yang memimpin kerajaan, wajib mengikuti sistim yang sudah dibentuk oleh hulubalang tadi. Tahun pertama sultan bekerja biasanya menjadi ajang adu kekuatan pengaruh antara sultan dengan para hulubalangnya.
Untuk mengontrol sistem itu dibentuklah "Wadah Hulubalang, eh Pegawai KPK. Ini semacam serikat pekerja yang menggalang kekuatan massa di internal dan eksternal (LSM, tokoh masyarakat, mantan Patih dan mahasiswa) untuk menekan sultan yang baru menjabat agar mengikuti kemauan mereka ini.
KPK yang awalnya dibentuk dengan misi mulia untuk pemberantasan korupsi, kini berubah menjadi "lembaga politik" yang penuh dengan intrik-intrik dan misi politik demi kepentingan orang/golongan tertentu. Di tingkat internal saja mereka ini saling sikut dan berkelahi tanpa rasa malu. Dan sering kali pula mereka ini menyeret pihak dari eksternal untuk menyerang teman sendiri (lawan kepentingan di internal!) Lucunya para komisioner sepertinya tidak mampu menyelesaikan masalah internal ini. Nah dengan UU-KPK baru ini, masalah internal ini diharapkan dapat diselesaikan oleh Dewas.
***
Dengan dilantiknya 1.271 pegawai yang lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) maka otomatis pula mereka ini resmi menjadi anggota Korpri sesuai dengan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Pasal 126 ayat (1) yang menyebut pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia atau Korpri.
Dengan demikian Wadah Pegawai (WP) KPK berpotensi bubar karena sebagai seorang ASN, Pegawai KPK akan terhimpun dalam Korpri.
Akan tetapi penulis tidak sependapat dengan hal tersebut. Wadah Pegawai (WP) KPK ini akan tetap eksis, hanya saja berubah nama menjadi Wadah Mantan Pegawai (WMP) KPK, apalagi mereka ini masih memiliki 75 orang "mantan" pegawai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) tadi.
Kelak para "mantan KPK" ini akan bertemu dengan "mantan-mantan terindah" lainnya, lalu membentuk satu ikatan dalam Wadah Para Mantan. Syukur-syukur kalau kuat modal dan mendapat sumbangan dari para donatur, mereka ini bisa membuat sebuah parpol baru dan bisa ikutan pula nyapres di 2024.Â
Hidup para mantan!
Referensi,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H