Dini hari itu suasana magis berpadu dengan kabut dingin menerpa kawasan Cikeas. Di teras luar rumah terlihat beberapa lelaki berwajah tegang dengan rokok kretek yang selalu mengepul, ditemani kopi tubruk hitam pekat. Hanya sesekali mereka berbicara. Tak berapa lama kemudian keluar seorang wanita tua dari dalam kamar dan berkata, "bayinya laki-laki"
"Lho kok suaranya tidak kedengaran mbah?" kata lelaki muda itu sambil berdiri. "Lah iya lah, wong bayi itu masih kurang umur dan badannya juga lemah...."
Pepo akhirnya terpaksa harus turun gunung, entah dari Gunung Pangrango, entah dari Gunung Salak yang terlihat sangat jelas dari Jakarta itu. Akan tetapi turun gunungnya pepo kali ini memang jelas-jelas terlihat dari seluruh tanah air tercinta, yaitu dalam rangka untuk membereskan "piring kotor" yang dibuat berantakan oleh anak pepo tersayang. Apa pasal?
Beberapa waktu lalu AHY menuduh ada orang-orang atau kelompok tertentu yang berniat untuk mendongkel kekuasaan AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan cara yang kurang senonoh.
Bahkan ketika itu AHY kemudian meminta klarifikasi kepada Istana, apakah Istana mengetahui atau bahkan merestui tindakan kudeta tersebut.
Tiga dekade lalu, jab-jab ringan yang diarahkan tepat ke depan batang hidung seorang Mike Tyson, pastilah akan membuatnya mengamuk bak banteng ketaton. Sebuah upper-cut disusul straight plus sebuah gigitan di telinga, pastinya akan membuat si pemilik jab tadi kelojotan!
Akan tetapi di Istana tidak ada seorang Mike Tyson ataupun petinju lainnya. Di sana adanya para pemikir dengan jargon kerja, kerja kerja. Akibatnya sipemilik jab tadi hanya meninju angin saja.
Walaupun mirip dengan shadow boxing, akan tetapi "meninju angin" adalah pekerjaan sia-sia, bodoh, membuat capai karena salah sasaran dan menunjukkan jati diri dari orang yang "kurang umur!"
Sebaliknya shadow boxing adalah ajang pamer dari seorang petinju untuk menunjukkan footwork, intensitas pukulan, jab-jab, hook, upper-cut, straight, termasuk kelincahan tubuhnya ketika bergerak. Dia memang hanya meninju angin.
Akan tetapi jangan tertipu karena di situlah letak misterinya. Kekuatan pukulan itu jelas tidak bisa ditebak. Salah menilai atau menghitung langkah, maka lawannya itu akan segera "masuk angin" dan kemudian magerdi atas kanvas!
***
Di sebuah sudut The Serengeti National Park Tanzania, seekor singa tua terlihat cemas menatap kawanannya yang kini dipimpin oleh anaknya yang memang masih kurang umur itu.
Di kawanan singa, memang hanya boleh ada seekor singa jantan yang kuat dan gagah untuk memimpin kelompok yang biasanya dihuni oleh para betina dan anak-anak singa.
Lha, singa jantan lain pada kemana?
Singa jantan lain itu memang harus pergi menjauh agar tidak dibunuh sang "ketum."
Singa hidup dengan berburu mangsa. Oleh karena itu anak-anak singa yang lahir haruslah dari bibit, bebet, bobot yang terbaik pula. Kalau seekor singa jantan tidak bisa mengalahkan "ketum-nya," maka dia bukanlah singa terbaik. Takutnya nanti anak-anak singa yang lahir lewat benihnya akan lebih suka meni-pedi daripada berburu rusa. Atau nantinya ada anak singa berkata, "anjai nek, eike takut sama darah, eike pilih sosis atau chicken nugget aja deh."
Beberapa kilometer dari kawanan itu, lewat penciumannya yang tajam, singa tua bisa mengendus kehadiran singa jantan lain. Sebenarnya para singa jantan itu selalunya mengikuti kelompok besar tadi. Bahkan mereka itu pun tadinya berdiam dalam kelompok besar, sebelum dihajar oleh sang ketum.
Mereka ini jelas bukan ancaman. Mereka ini juga sudah tua, renta dan termarjinalkan sebagai singa ompong dengan kuku tumpul.
Selain singa jantan tua tentunya ada pula singa jantan muda lainnya di luar sana. Akan tetapi mereka ini juga bukanlah ancaman.
Sebagian dari mereka ini justru sudah berganti "KTP." Lewat operasi plastik, bahkan ada pula yang berubah wujud menjadi seekor "banteng bermoncong putih!" Tampaknya kaum muda ini pun sudah berpindah pula ke lain hati.
Namun tampaknya singa tua sudah lelah untuk terus-menerus berkelahi dan memprovokasi singa lainnya. Sementara itu luas lahan teritorial merekapun semakin mengecil akibat dicaplok "mahluk pemangsa" lainnya pula. Lama kelamaan kawanan ini bisa saja punah dan berakhir di museum.
Nasib kawanan itu bisa saja akan sama seperti nasib parpol di Indonesia yang punah akibat krisis internal. Contohnya seperti Hanura dan PBB, yang kemudian tidak mendapat kursi lagi di parlemen.
Dalam pandangan penulis, apa yang terjadi pada dinamika politik di Indonesia saat ini tak ubahnya seperti yang terjadi di The Serengeti National Park Tanzania itu, yakni bahwa setiap mahluk hidup harus berjuang terus-menerus untuk mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara agar bisa tetap hidup!
Siklus hidup Demokrat memang semakin menurun, seperti yang bisa dilihat pada perolehan suara mereka. Untuk itu the boss have to do something agar mereka bisa tetap eksis.
"Jargon prihatin" kemudian menjadi pilihan tepat dari strategi "manajemen konflik" untuk memberi kesegaran di tubuh Demokrat itu sendiri.
Penulis jadi teringat kepada seorang rekan yang bekerja sebagai manajer F&B di sebuah hotel menengah yang restorannya dulu itu terkenal karena masakannya sangat lezat.
Musim berganti waktupun berlalu. Hotel dan restoran bagus bertumbuh bak cendawan di musim hujan. Hotel menengah dengan restoran yang masakannya enak itupun kini dilupakan orang. Apalagi furnitur dan interior resto tersebut juga tidak pernah berubah setelah tiga dasawarsa berlalu!
Orang-orang kini hanya mau makan makanan enak di tempat yang enak dengan atmosfir yang enak pula. Kalau hanya sekedar makanan enak, orang lebih suka memesannya lewat jasa online.
Tradisi makan memakan memang sudah berubah. Sebelum makan, orang akan swafoto dulu, lalu hasilnya diunggah di sosmed, "lagi nganu di resto anu, makanannya anu banget lho!"
Karena restonya sudah lama sepi, maka manajer F&B hotel lawas tadi kemudian melakukan serangan ke resto yang lagi "nganu" tadi, dengan mengatakan kalau resep dan chef-nya telah dibajak.
Kebetulan chefitu sepuluh tahun yang lalu bekerja di hotel lawas tadi sebagai seorang dishwasher.
Pertikaian itu kemudian menjadi happening di sosmed, dan membuat netizen teringat kembali akan keberadaan resto dari hotel lawas tadi.
Kini restonya sudah mulai ramai lagi. Manajer F&B itu pun ditanya apa resepnya. Sambil meraih gitarnya, manajer F&B itu kemudian berkata, "selain menghidangkan makan lezat, kami juga menghadirkan memori bagi para tamu yang pernah singgah di sini. Terutama bagi pasangan yang menikmati makan malam dalam suasana romantis. Mungkin saja mereka akhirnya tidak jadian. Akan tetapi makan malam dengan mantan, apalagi mantan terindah tetaplah akan menjadi sesuatu..."
***
Setelah pernyataan AHY yang menghebohkan itu tidak mendapat respon dari istana, SBY kemudian mengatakan bahwa ternyata Istana itu tidak tahu-menahu dengan urusan kudeta di tubuh Demokrat.
Dengan demikian masalah kini dianggap selesai, sebab sebagian orang di negeri ini adalah pengidap "salawi" (semua salah Jokowi) Ketika Jokowi ternyata tidak terlibat, maka case closed, dan semuanya menjadi adem kembali.
Lantas bagaimana dengan nasib Moeldoko yang kini menjadi "tersangka tunggal itu?"
Yah, hidup memang terkadang "begitu bukan begini," seperti kontroversi chef yang tadinya seorang dishwasher itu.
Moeldoko kini adalah seorang "chef," Kepala Staf Istana. Akan tetapi dulunya beliau ini adalah orang kepercayaan SBY, bahkan hingga diangkat menjadi Panglima TNI.
Sebagai seorang prajurit tangguh yang hidup dalam "budaya timuran," tentulah hal-hal begini cukup lazim terjadi, terutama ketika berhadapan dengan para senior.
Apapun itu, "masalah kecil ini" akan segera berlalu untuk kemudian dilupakan. Perhatian orang selalunya akan tertuju kepada salawi semata, karena salawi itu seksi dan bisa dijadikan clickbait, baik bagi para kadrun maupun cebongers, yang bagi penulis keduanya itu pun sama pula loetjoenja.
Salam sayang selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H