(Untuk rumus perhitungannya silahkan lihat di referensi di bawah)
Kalau di gurun pasir, debit air sebesar 2,66 m3/jam tentunya tidak akan memerlukan sumur resapan sebab tanah berpasir sangat porous (gampang mengalirkan air)
Jenis tanah Jakarta sendiri termasuk buruk dengan koefisien permeabilitas tanah < 2> 2 cm/jam.
Dengan data di atas kita bisa mengetahui H (kedalaman sumur resapan) yakni 8,5 m. Jumlah sumur resapan yang dibutuhkan yakni 3 buah, diameter 1 m dan dalamnya 3 m.
Apabila kedalaman muka air tanah ternyata berada di level 2,5 meter, maka desain sumur kita ubah lagi menjadi 4 buah sumur, diameter 1 m dan dalamnya 2,25 m.
Kalau sekiranya luasan atap bangunan dan curah hujan lebih besar lagi, tentunya dibutuhkan jumlah/volume sumur resapan yang lebih besar lagi.
Jadi kalau ada yang mengatakan biopori bisa mengatasi banjir, maka penulis akan tersipu malu. Dalam kasus ini, Kalau biopori (panjang 2 m diameter 10 cm) dipakai sebagai pengganti sumur resapan, maka dibutuhkan 212/2 atau 106 lubang biopori.
Sebagai catatan, biopori harus berada di tempat terbuka (agar bisa menyerap air) dan jarak minimal masing-masing satu meter persegi.
Dinding biopori terbuat dari pvc (tidak porous) sehingga penyerapan air hanya bertumpu pada dasar biopori saja. Itulah sebabnya kebutuhannya menjadi lebih banyak. Dinding biopori memang sengaja dibuat dari pvc agar dindingnya tidak runtuh, dan tidak berubah menjadi sarang tikus :)
Nah, dengan kondisi di atas coba kita rangkum dulu. Luas atap bangunan sebesar 100 m2 plus atap carport. Luas tanahnya mungkin berkisar 150 m2. Jadi sisa halaman terbuka mungkin berkisar 30 m2 saja, cukup untuk 30 buah lubang biopori. Lalu di mana dipasang sisa lubang biopori (76 buah) lagi? Maaf, jangan tanya ke penulis, tanya saja ke gubernuran...