Beberapa hari terakhir ini banjir kembali melanda kawasan Jakarta dan sekitarnya. Banjir besar pada awal Januari 2020 tahun lalu yang merenggut puluhan korban jiwa itu, sempat menimbulkan konflik diantara Gubernur DkI Jakarta dengan Menteri PUPR terkait terhentinya pekerjaan normalisasi saluran akibat Pemda DKI Jakarta tak kunjung membebaskan bantaran sungai yang akan dinormalisasi.
Ketika itu Gubernur DkI Jakarta ngotot akan melaksanakan pekerjaan naturalisasi untuk mengatasi banjir Jakarta. Setahun berlalu, pekerjaan naturalisasi itu pun tak jelas wujudnya, dan banjir kembali datang mengunjungi wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagaimana lazimnya.
Kalau tahun lalu Pak Gubernur berkata bahwa anak-anak senang bermain banjir, maka kali ini Pak Gubernur mengatakan bahwa banjir itu bukan tempat bermain bagi anak-anak. Hal ini perlu ditegaskannya, ketika ternyata ditemukan empat orang anak-anak tewas ketika bermain banjir!
Ternyata Pak Gubernur kali ini benar-benar serius untuk melaksanakan konsep naturalisasi ini. Hal ini dibuktikan ketika Pemda DKI Jakarta kemudian menghapus program "normalisasi" dari RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka menengah daerah) tahun 2017-2022.
Sejak digaungkan pada masa kampanye Pilgub 2017 lalu hingga kini, penulis tetap saja gagal paham mengenai konsep naturalisasi ala Anies ini.
Pergub DKI Jakarta No. 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi pun, tetap tidak bisa memberikan pencerahan bagi penulis. Isi Pergub itu sendiri berbunyi begini,
"Konsep Naturalisasi adalah cara mengelola Prasarana Sumber Daya Air melalui konsep pengembangan RTH (Ruang Terbuka Hijau) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir serta konservasi."
Ada yang bisa memahami konsep pengendalian banjir lewat pengembangan RTH? Konsep pengembangan RTH di perkotaan itu seperti apa penjabarannya Pak Gubernur?
Kota Singapura memiliki RTH sebesar 30ri luas kota itu sendiri. Jakarta sekarang ini mungkin memiliki RTH hanya sebesar 8% saja dari luas kotanya, dan terus saja menyempit akibat pertumbuhan jumlah penduduk.
Lantas bagaimana caranya Pak Gubernur mengembangkan RTH Jakarta, sedangkan warga yang jelas-jelas menjajah bantaran kali saja tidak bisa direlokasi.
RTH jelas berpengaruh untuk mereduksi banjir. Sementara itu luas penampang sungai semakin mengecil akibat "dijajah" rumah warga. Ditambah lagi para penjajah itu membuang sampahnya langsung ke sungai pula. Lengkaplah sudah penderitaan si sungai ini.
Jadi bagi penulis, pengendalian banjir lewat pengembangan RTH itu adalah sebuah hil yang mustahal untuk seorang Anies Baswedan.