Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siti Zubaidah (Bagian 7)

16 Februari 2021   17:50 Diperbarui: 16 Februari 2021   17:52 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kegalauan mereka, om Benny kemudian datang dari Medan untuk menjumpai Henry dan Siti. Ternyata mama Henry telah menceritakan seluruh masalah yang mereka hadapi kepada om Benny. Mama Henry kemudian berharap kepada adik satu-satunya itu agar bersedia menolong keponakannya itu, sebab dia tidak tahu lagi kemana hendak mengadu.

Om Benny mafhum akan persoalan berat yang dihadapi cicinya itu. Tak pernah sekalipun cicinya itu pernah minta tolong kepadanya. Bahkan ketika beras di rumahnya pun habis, dia tidak pernah minta tolong kepadanya.

Mereka berdua pun menangis sesunggukan sambil mengenang masa-masa kecil mereka ketika tinggal di Bandung dulu.

Kini om Benny berani mengambil sikap. Walau bagaimananpun, Henry adalah anaknya juga. Sejak dulu pun, dia selalu berkomitmen untuk membantu keponakannya itu. Kini dia tahu abang iparnya itu sudah "jadi orang kaya" jadi dia tidak risih lagi kalau berhadapan dengannya.

Om Benny tadinya hendak menjual rumahnya yang berada di Bogor juga, karena tidak ada yang mengurus rumah tersebut ketika kontrakannya habis dua tahun lalu. Tetapi Om Benny kemudian berubah pikiran dan ingin memberikannya saja kepada Henry sebagai hadiah pernikahan mereka.

Setelah mendengar permasalahan mereka, om Benny lalu menyuruh Henry menjual rumah tersebut, agar dapat dipakai membayar kompensasi pengganti biaya beasiswa Siti kepada Kerajaan Malaysia.

Henry tak mampu berkata-kata lagi, dia lalu bersimpuh di kaki omnya sambil menangis. Dia tahu, omnya itu sangat menyayanginya. Dulu ketika masih tinggal dirumah om Benny, Henry sudah dibelikan sebuah mobil. Namun mamanya melarang om Benny agar tidak memberikan mobil tersebut kepada Henry. Karena kondisi ekonomi dan kedegilan papanyalah yang menahan om Benny untuk bisa dengan bebas mengekspresikan kasih sayangnya kepada Henry. 

Om Benny sadar, hubungan Indonesia-Malaysia yang kurang mesra, akibat masalah tapal batas dan TKI itu, dapat dipolitisir oleh orang-orang tertentu, baik dari pihak Indonesia maupun Malaysia, yang bisa saja akan memperparah masalah Siti.

 Om Benny lalu menghubungi temannya, seorang dokter yang bekerja di Kementerian Kesehatan Malaysia agar dapat mengatur pembayaran kompensasi dan administrasi Siti kepada kerajaan Malaysia secara rahasia dan cepat tanpa diketahui pihak lain.

Akibat intimidasi dari Hamid dan tekanan harus membayar kompensasi biaya bea siswa kepada kerajaan Malaysia, ayah Siti kini terbaring dirumah sakit karena terkena stroke ringan.

Siti ingin sekali menjenguk ayahnya itu, tetapi bagaimana caranya dia bisa pulang? Paspornya ada di Kuala Kangsar! Memakai paspor "aspal" (asli tapi palsu) Indonesia ke Malaysia juga sangat berisiko tinggi kalau ketahuan!

Kabar baik akhirnya datang juga. Pembayaran kompensasi dan administrasi dari kerajaan Malaysia telah selesai, padahal rumah om Benny yang di Bogor belum juga terjual!

Siti pun sekarang sudah terbebas dari ikatan Perkhidmatan Kasihatan Kerajaan (Departemen Kesehatan Malaysia)

Siti akhirnya pulang ke Kuala Kangsar dengan memakai paspor Indonesia lewat Tawau -- Kinibalu - Trengganu ditemani oleh Samosir tentunya!

Ketika datang menjenguk ayahnya di rumah sakit, Siti kemudian mendapat tekanan yang hebat dari keluarga besarnya. Tetapi Siti tetap tabah karena sudah memperhitungkannya. Semua anggota keluarganya memaki dan menghinanya. Hanya tatapan mata ayahnya yang tergeletak tak berdaya itulah yang menghiburnya. 

Siti tahu, ayahnya sudah memaafkannya dan akan selalu sayang kepadanya. Ibu Siti yang juga mendukungnya selama ini hanya bisa terdiam dalam tangisnya.

dr Hamid bin Wan Zulkarnain bersama petugas kasihatan lainnya ternyata sudah menanti di luar kamar rumah sakit tempat ayah Siti dirawat. Tetapi akhirnya mereka kecewa! Ternyata puan Siti bukan lagi kaki tangan Perkhidmatan kasihatan Kerajaan.

Siti memang sudah resmi mengundurkan diri dari Departemen Kesehatan Malaysia sejak dia membayar kompensasi biaya beasiwa pendidikannya dulu. 

Akhirnya Hamid dan kawan-kawannya pergi. Tetapi Hamid akan tetap mencari celah untuk menyusahkan Siti, sampai cinta Siti bertekuk lutut kepadanya. Siti tentu saja paham betul akan hal itu!

Kini Siti berpacu dengan waktu. Ayahnya sudah sembuh dan pulang ke rumah. Ayah dan ibunya akhirnya diam-diam merestui pernikahannya dengan Henry. Restu itu sudah lebih dari cukup bagi Siti untuk mengarungi kehidupan rumah tangganya yang penuh gejolak bersama Henry.

Tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Siti kemudian diperiksa petugas Imigrasi dan polisi atas laporan dari dr Hamid mengenai paspor palsu Siti.

Namun Siti bersikeras kalau dia tidak pernah meninggalkan Malaysia dalam beberapa waktu belakangan ini, dimana hal itu bisa dibuktikan lewat paspornya.

Akan tetapi Siti tetap saja kemudian dibawa ke kantor Imigrasi untuk menjalani pemeriksaan selanjutnya. Beruntung paspor Indonesia Siti berada di tangan Samosir!

Berkat "bantuan" Hamid, petugas Imigrasi Kerajaan kini berjuang keras mencari data keluar-masuk orang-orang yang memakai paspor asing dan berwajah mirip dengan Siti di seluruh bandara dan pelabuhan internasional Kerajaan.

Kini hanya masalah waktu saja bagi mereka untuk melacak keberadaan paspor yang dipakai Siti di seluruh pos-pos Imigrasi tersebut!

Karena stres akan pemeriksaan tersebut, Siti kemudian menderita sakit perut. Siti lalu dibawa ke sebuah klinik terdekat dengan penjagaan seorang petugas Imigrasi.

Dokter jaga klinik yang ternyata adalah teman Siti ketika belajar di Medan dulu itu kemudian memeriksanya, sementara petugas Imigrasi tersebut menunggu di luar ruangan periksa dokter.

Dokter jaga lalu memberitahukan petugas Imigrasi tersebut bahwa Siti memerlukan observasi tiga puluh menit lagi untuk memastikan penyebab sakit perutnya.

Petugas Imigrasi tersebut lalu mengambil kopi, dan duduk sambil membaca koran persis di depan pintu ruangan periksa dokter.

-(bersambung)-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun