Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kristen Gray, "Ngono Ya Ngono, Ning Ojo Ngono"

21 Januari 2021   17:25 Diperbarui: 21 Januari 2021   17:30 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulutmu (cuitanmu) adalah harimaumu rupanya berlaku pula kepada "bule keling," bukan hanya kepada wisnu (wisatawan nusantara) saja.

Pasangan sejoli Kristen Antoinette Gray dan Saundra Michelle Alexander akhirnya dideportasi Imigrasi Denpasar, Selasa kemarin. Penyebabnya ya itu tadi, gara-gara cuitan Gray yang sempat viral di twitter.

Tentunya bukan gara-gara ngetwitt Kristen didepotasi, sebab ada beberapa alasan kuat untuk mengusirnya seperti yang terdapat pada isi cuitannya tersebut.

Namanya juga warga +62, presidennya sendiri saja dirisak, apalagi sekedar bule keling. Kegaduhan netizen ini kemudian memaksa pihak yang berwajib untuk segera mengusutnya.

Petualangan Kristen dan Saundra ini kemudian mengingatkan penulis kepada film The Beach, sebuah film thriller Amerika Serikat yang rilis dua puluh tahun lalu.

Film ini bercerita tentang petualangan Richard (Leonardo DiCaprio) yang mendapatkan sebuah peta rahasia tentang keberadaan sebuah pulau "surga" yang benar-benar nyata, tapi tidak pernah diketahui keberadaannya itu.

Kemewahan surga ini bahkan melebihi "syurga yang calon penghuninya akan dinikahkan dengan 72 bidadari," karena surga ini benar-benar nyata. Pantainya indah berpasir putih lembut. Di sini tidak ada polisi, petugas pajak, DPR, parpol maupun pemuka agama. Enaknya lagi di sini banyak pula cimeng (ganja) dan gratis pula!

Richard kemudian mengajak sepasang kekasih yang baru dikenalnya di penginapan. Berbekal peta rahasia tadi, Richard dan kedua temannya itu segera menuju pulau tersebut.

Sialnya (inilah yang disesali Richard karena kemudian menjadi petaka) sebelum pergi, Richard membuat salinan peta tersebut dan memberikannya kepada teman lain yang baru dikenalnya juga.

Seharusnya, "apa yang tersirat tetaplah harus tersirat, jangan pernah dibuat tersurat"

Ternyata pulau surga yang tersembunyi itu juga merupakan "perkebunan ganja." Gembong narkoba yang menjadi pemilik pulau tersebut bersedia mengizinkan beberapa turis tinggal secara terbatas, selama mereka bisa menjaga kerahasiaan pulau tersebut.

Akan tetapi perbuatan Richard yang "ngetwitt" (membuat salinan dan menyebarkannya kepada orang lain) kemudian menjadi petaka karena mengundang orang lain berbondong-bondong untuk datang ke pulau tersebut.

Gak kebayang kalau diantara orang-orang yang datang itu ternyata ada seorang Kompasianer. Ia lalu menuliskan liputannya lewat rubrik wisata, "Surga Tersembunyi, Sun, Sand and Sex Diantara Ladang Ganja." Liputan itu juga menyertakan trik-trik illegal berbiaya murah agar bisa sampai dan tinggal di pulau tersebut selama yang diinginkan. Tak lama kemudian pulau tersebut diserbu warga +62 yang ingin menikmati surga tanpa nyinyiran dari  para pemuka agama.

***

Tertangkap dan kemudian dideportasinya "bule keling," Kristen dan Saundra ini tentunya disyukuri oleh "londo-londo" yang banyak tinggal di Bali. Mereka yang umumnya orang Eropa ini tentunya paham betul bahwa apa yang tersirat sebaiknya tetaplah tersirat, jangan pernah dibuat tersurat.

Kehadiran "bule keling" seperti Kristen ini tentunya akan mengusik dan bahkan membawa petaka bagi kehidupan mereka yang sebenarnya sebelas duabelas juga dengan Kristen.

Adalah seorang Italia bernama Luigi. Ia berasal dari sebuah desa di Palermo, miskin dan tidak berpendidikan tinggi. Ia kemudian merantau ke Milan dan bekerja banting tulang sebagi seorang koki di sebuah resto. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk biaya hidup saja.

Putus asa dan frustasi karena kehidupannya begitu-begitu saja, ia kemudian berlibur ke Bali sebagai seorang backpacker.

Ia kemudian jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Bali dan salah satu dari gadisnya. Merasa nyaman, ia memutuskan tidak ingin pulang kampung lagi.

Akan tetapi ia tidak punya skill selain memasak. Apalagi bahasa Inggrisnya juga pas-pasan. Dengan sisa uang di dompet, Ia kemudian membuka sebuah gerai kecil yang menjual makanan khas Italia.

Ternyata turis Italia cukup banyak berkunjung ke Bali dan menyukai masakan Luigi yang cita rasanya khas seperti resto mahal tapi dengan harga khas warteg itu pula!

Beberapa tahun kemudian gerai kecil itu sudah berubah menjadi sebuah Ristorante Italiano.

Lazimnya manusia dalam sifat kemanusiaanya, setiap manusia pastinya akan berusaha mengeksploitasi bahkan memanipulasi keadaan di sekitarnya agar ia bisa bertahan hidup.

Demikian juga halnya dengan Luigi. Tentulah awalnya ia hidup dan berusaha untuk mempertahankan kehidupan di Bali tersebut dengan cara ilegal pula.

Setelah ia bisa survive dan keadaannya membaik, ia kemudian berusaha menjadi warga negara yang baik dan bijak, termasuk membayar pajak. Sebab hanya orang bijak yang taat pajak!

Ada jutaan orang seperti Luigi dan Kristen di Bali, Maldives, Saint Tropez, Casablanca, Ibiza, Copacabana bahkan hingga di Kutub Utara sana dengan berbagai alasan.

Ada jutaan juga orang Indonesia berkeliaran secara ilegal di Hongkong, Malaysia, Taiwan, korea Selatan, semenanjung Arab, USA dan tentu saja Eropa yang sudah punya ikatan sosial dengan Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Semuanya hidup dengan metode ala Luigi atau Kristen ini.

Ketika mereka sudah bisa merdeka atas diri dan perasaan mereka sendiri, maka merekapun berasimilasi dengan kehidupan dimana mereka berada.

***

Lalu, bagaimanakah warga +62 memandang orang asing, terutama bule (Kaukasian?)

Penulis melihatnya secara sederhana lewat "kaca mata" Hotel Alexis yang katanya sudah tutup itu.

Di Alexis tarif "terapis" lokal adalah Rp 1,4 juta, sedangkan terapis dari manca negara Rp 2,4 juta.

Terapis mancanegara umumnya berasal dari Vietnam, Thailand, China, Uzbekistan hingga Rusia.

Dulu terapis dari Uzbekistan dan Rusia sangat populer. Mungkin karena mereka ini berasal dari negeri beruang merah eks Soviet dulu. Tampaknya konsumen lokal masih penasaran dengan glasnost, perestroika dan uskoreniye ala Gorbachev dulu, sehingga kurang mencintai produk-produk Indonesia.

Soal ladies China, seorang teman penulis penasaran dengan hal ini. Pada suatu kali ia berkunjung ke sebuah karaoke/pub di kawasan Mangga Besar. Ia kemudian diperkenalkan oleh "mami" kepada seorang ladies yang berasal dari Hongkong yang tidak bisa berbahasa indonesia.

Walaupun teman penulis ini keturunan China, tapi ia tidak bisa berbahasa Kanton, Mandarin maupun Hokkian. Yang ia tahu cuma lapchiong saja. Bahasa Inggrisnya juga pas-pasan. Akhirnya mereka berkomunikasi ala bahasa Tarzan.

Teman penulis ini adalah seorang sales produk kosmetik yang banyak mengunjungi Pasar. Ia penasaran karena wajah ladies ini mirip benar dengan wajah seorang penjual buah yang tak jauh dari lapak customernya di Pasar Ciputat.

Ketika mereka bernyanyi, ia pura-pura tanpa sengaja menjatuhkan abu rokoknya ke paha ladies tersebut. Seketika ladies tersebut berdiri, berteriak dan mengumpat dengan bahasa kebun binatang. Ia lalu ditinggal begitu saja. Ternyata ladies itu memang benar-benar "dari Hongkong!"

Referensi,

Tribun News

Metro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun