Seperti halnya urin, demikian juga halnya dengan kerumunan. "Bouwheer proyek" selalunya memakai kerumunan sebagai pertanda agar pihak-pihak tertentu (termasuk pemerintah) tidak masuk ke teritorial mereka itu.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Atau pertempuran apakah yang sedang berlangsung saat ini? Yang jelas ini bukanlah pertempuran politik, karena perangnya sendiri masih akan berlangsung empat tahun lagi.
Yang jelas ini adalah "pertempuran ekonomi dari negeri yang sedang cekak" (warganya nyinyir tapi ogah bayar pajak) yang berusaha kembali memunguti aset/properti milik negara yang ditilep oleh "pengusaha/penguasa nakal."
Sejauh ini, PN Jaksel telah menyita aset senilai sekitar Rp 242 miliar dari total 113 rekening milik Yayasan Supersemar. Namun pihak Yayasan Supersemar kemudian melakukan gugatan. Pada Juni 2016 PN Jaksel kemudian memutuskan bahwa aset Yayasan Supersemar yang patut dieksekusi hanya sekitar Rp 309 miliar hingga Rp 706 miliar saja.
Juli 2017 Kejagung kemudian melayangkan kasasi ke MA. Putusan kasasi dari MA kemudian keluar 19 Oktober 2017 lalu yang memenangkan Kejagung. Yayasan Supersemar diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun. Tiga tahun sudah berlalu, dan progress pekerjaan masih sekitar 5 % saja. Kini tugas berat PN Jaksel untuk mengeksekusi sisa aset lainnya itu!
Ketiga, sejak semula penulis yakin kalau HRS hanyalah sekedar boneka pajangan semata. Kalau keluar dari gurun saja ia tidak mampu, bagaimana mungkin ia mampu mengorganisasikan trilogi perhelatan akbar itu dari jarak jauh! Ini menyangkut ide, logistik, transportasi dan dana besar tentunya.
Mendesain, mencetak dan mendirikan (termasuk pengamanan) ribuan baliho di seluruh Indonesia itu memangnya gampang? Lalu siapa yang menyusun tema dan rundown acara? Pertunjukan ini tentunya hanya bisa diorganisasi oleh orang-orang profesional saja.
Hal itu semakin jelas terlihat ketika HRS ikut-ikutan terpancing mengurusi soal receh seperti lonte. Orang terhormat itu pastinya tidak akan mau mengurusi lokalisasi, mucikari, apalagi soal lonte! Dari buahnyalah kita tahu pohonnya. Ketika buahnya asem, maka asem pulalah pohonnya.
Rating bang Toyib kemudian anjlok mengikuti irama turunnya bendera sang saka merah putih di halaman Kodam Jaya pada senja hari. Bersamaan dengan itu aparat kemudian bertindak cepat.
Dasar hukumnya bukan UU Anti Subversif atau KUHP yang bisa dipelintir, melainkan UU Prokes di masa pandemi!
Dengan UU Prokes, orang tidak bisa lagi berdalih mengatakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Sebab di hadapan UU Prokes semua orang kini berdiri sama tinggi nungging sama rendah. Apalagi kemudian terbukti dengan terbentuknya kluster-kluster baru Covid-19! Pesta pun akhirnya bubar dengan sendirinya.
Pesta lanjutan 212 yang menjadi simbol persatuan akhirnya menjadi sebuah hil yang mustahal pula. Bukan itu saja, kini polisi mulai melakukan proses hukum dengan memanggil orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran UU Prokes ini, termasuk HRS tentunya.
Kini suara HRS yang lantang itu tidak terdengar lagi gemanya. Konon ianya sedang sakit, dan orang sakit tidak mungkin dimintai keterangan. Polisi juga belum tahu berapa lama HRS akan sakit atau kapan suara lantangnya itu akan bergema lagi. Kabar terbaru HRS kabur dari rumah sakit lewat pintu belakang, dan tidak diketahui keberadaannya.