From hero to zero mungkin adalah kalimat yang tepat bagi HRS (Habib Rizieq Shihab) Bagaimana tidak, awalnya HRS ini menggetarkan Jakarta dan Bogor lewat trilogi acara yang dimulai dari aksi penyambutan HRS di bandara, Megamendung dan kemudian berakhir di Petamburan. Â
Pada tulisan mengenai HRS sebelumnya, penulis menyebut kalau kabar kepulangan HRS ini adalah sebuah test the water untuk memetakan dan membuat analisa mendalam terhadap situasi terkini di tanah air. Akan tetapi arah angin politik kemudian berubah seketika, membuat penulis tersipu malu. "Panen mangga ternyata tiba sebelum musimnya!"
Entah kebetulan atau bagaimana, Kapten JacK Sparrow berlayar ke luar negeri yang kemudian diakhiri dengan ibadah umroh ke Tanah Suci.
Tak lama kemudian cebongers berteriak, "Chaplin jalan-jalan bawa sekoper uang, tujuannya untuk menggoyang pohon mangga!"
Entah kebetulan atau bagaimana, HRS yang sudah tiga puasa tiga lebaran tidak pulang kampung dan fine-fine saja di rantau, tiba-tiba mendapat ultimatum dari pemerintah Arab Saudi pula. Ia harus segera angkat kaki kalau tak mau mendapat masalah!
HRS bingung dong. Cikarang dulu baru Bekasi. Dulu dilarang sekarang kok malah dikasi. Emangnya sinetron FTV! Kasus "Sampurasun," penghinaan Pancasila dan seabrek kasus lainnya di tanah air, jelas membuat HRS keringat dingin. Bagaimana pula kalau kak Ema dan Firza Hotz datang menjemput ke bandara! Membayangkan hal itu jelas membuat HRS pusing.
Lantas bagaimana sebenarnya sikap Kerajaan AS (Arab Saudi) terhadap kasus HRS ini?
AS sebenarnya tidak pernah menolak wisatawan yang datang berkunjung selama tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Tentunya Kemenlu Arab Saudi tahu betul sosok HRS ini. Namun itu adalah masalah internal RI yang tidak mungkin dicampuri. Yang penting selama tinggal di AS, HRS taat hukum, punya duit untuk dibelanjakan dan tidak menggelandang.
Kepulangan HRS yang mendadak ini jelas sangat menarik perhatian netizen. Jangankan pengamat politik atau netizen kelas abal-abal, bahkan HRS sendiri pun bingung dengan rencana kepulangan mendadaknya ini. Itulah sebabnya penulis tertarik mengamati fenomena ini dari beberapa aspek.
Pertama, "Kode" rencana kepulangan HRS (Habib Rizieq Shihab) memang sudah disebut Ketum FPI Ahmad Shabri Lubis di tengah aksi demo penolakan UU Ciptaker di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 13 Oktober lalu. Namun pada saat yang bersamaan HRS masih berkata kalau ianya dicekal Pemerintah Indonesia sehingga tidak bisa pulang ke Jakarta.
Ini jelas pernyataan "kerilu," karena manalah mungkin daun semangka berdaun sirih. Mana mungkin Indonesia bisa mengatur Imigrasi Arab Saudi untuk mencekal seseorang. Hal ini terbukti kemudian ketika HRS juga dicekal ketika akan bepergian ke Malaysia.
Pernyataan ini kemudian dikuatkan Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel. Nama Mohammad Rizieq Syihab (MRS) dalam sistem portal imigrasi Kerajaan Arab Saudi masih "blinking merah" dengan tulisan ta'syirat mutanahiyah (visa habis) dan dalam kolom lain tertulis: mukhalif (pelanggar UU). Bentuk pelanggaran: mutakhallif ziyarah (overstay dengan visa kunjungan).
"Ada juga kolom "ma'lumat al-mukhalif" (data tentang pelanggar). Di kolom foto MRS ditulis "Surah al-Mukhalif" foto pelanggar. "Red Blink" adalah sinyal bahwa yang bersangkutan belum bisa keluar dari Arab Saudi," ujar Agus.
Jadi fixed Kerajaan Arab Saudi yang mencekal HRS keluar dari AS karena pelanggaran UU Keimigrasian.
Nah menariknya itu adalah, per 13 Oktober 2020, "pesta di kampung dan para tamu undangan sudah siap sedia dengan baju baru." Sementara itu Shohibul Hajat sendiri masih berharap agar pemerintah zolim mau mencabut pencekalan terhadap dirinya, dan syukur-syukur segala tuntutan hukum kepadanya bisa dihapus. Artinya ada yang tidak sinkron di sini.
Terpisah, status HRS di imigrasi AS per per 13 Oktober 2020 adalah Red Blink. Jadi pesta itu pun tampaknya adalah sebuah hil yang mustahal pula.
"Namun tak ada yang mustahil bagi orang beriman yang selalu berharap kepada-Nya."
Seperti halnya "gol tangan tuhan" Maradona bagi kemenangan Argentina atas Inggris pada Piala Dunia 1986 lalu, "gol tangan Chaplin" disebut-sebut berperan besar atas kepulangan HRS kembali ke Jakarta. "Ijab Kabul" pun akhirnya berlangsung juga dengan meriah.
Kedua, pada saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung dan seluruh warga dunia terikat dengan protokol Kesehatan. Tentunya kegiatan yang membuat kerumunan ini adalah ilegal. Selain melanggar UU, juga membahayakan nyawa banyak orang terkait penularan Covid-19.
Akan tetapi "pesta" ini adalah sebuah antitesis terhadap kebijakan pemerintah. Lebih tepatnya show off, pamer bojo eh pamer kekuatan berselimutkan agama untuk memperoleh legitimasi dari warga.
Apakah ini pertanda perang melawan pemerintah yang sah? Tentu saja tidak, walaupun pada lapisan "kerumunan terbawah" menganggapnya begitu, hehehe...
Dalam dunia perhewanan, beberapa hewan "mengencingi" tempat-tempat tertentu dari teritorialnya, semata agar hewan lain dapat mengetahui batas teritorial tersebut. Pelanggaran batas teritorial tentunya akan menimbulkan konflik terbuka diantara mereka.
Seperti halnya urin, demikian juga halnya dengan kerumunan. "Bouwheer proyek" selalunya memakai kerumunan sebagai pertanda agar pihak-pihak tertentu (termasuk pemerintah) tidak masuk ke teritorial mereka itu.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Atau pertempuran apakah yang sedang berlangsung saat ini? Yang jelas ini bukanlah pertempuran politik, karena perangnya sendiri masih akan berlangsung empat tahun lagi.
Yang jelas ini adalah "pertempuran ekonomi dari negeri yang sedang cekak" (warganya nyinyir tapi ogah bayar pajak) yang berusaha kembali memunguti aset/properti milik negara yang ditilep oleh "pengusaha/penguasa nakal."
Sejauh ini, PN Jaksel telah menyita aset senilai sekitar Rp 242 miliar dari total 113 rekening milik Yayasan Supersemar. Namun pihak Yayasan Supersemar kemudian melakukan gugatan. Pada Juni 2016 PN Jaksel kemudian memutuskan bahwa aset Yayasan Supersemar yang patut dieksekusi hanya sekitar Rp 309 miliar hingga Rp 706 miliar saja.
Juli 2017 Kejagung kemudian melayangkan kasasi ke MA. Putusan kasasi dari MA kemudian keluar 19 Oktober 2017 lalu yang memenangkan Kejagung. Yayasan Supersemar diwajibkan membayar kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun. Tiga tahun sudah berlalu, dan progress pekerjaan masih sekitar 5 % saja. Kini tugas berat PN Jaksel untuk mengeksekusi sisa aset lainnya itu!
Ketiga, sejak semula penulis yakin kalau HRS hanyalah sekedar boneka pajangan semata. Kalau keluar dari gurun saja ia tidak mampu, bagaimana mungkin ia mampu mengorganisasikan trilogi perhelatan akbar itu dari jarak jauh! Ini menyangkut ide, logistik, transportasi dan dana besar tentunya.
Mendesain, mencetak dan mendirikan (termasuk pengamanan) ribuan baliho di seluruh Indonesia itu memangnya gampang? Lalu siapa yang menyusun tema dan rundown acara? Pertunjukan ini tentunya hanya bisa diorganisasi oleh orang-orang profesional saja.
Hal itu semakin jelas terlihat ketika HRS ikut-ikutan terpancing mengurusi soal receh seperti lonte. Orang terhormat itu pastinya tidak akan mau mengurusi lokalisasi, mucikari, apalagi soal lonte! Dari buahnyalah kita tahu pohonnya. Ketika buahnya asem, maka asem pulalah pohonnya.
Rating bang Toyib kemudian anjlok mengikuti irama turunnya bendera sang saka merah putih di halaman Kodam Jaya pada senja hari. Bersamaan dengan itu aparat kemudian bertindak cepat.
Dasar hukumnya bukan UU Anti Subversif atau KUHP yang bisa dipelintir, melainkan UU Prokes di masa pandemi!
Dengan UU Prokes, orang tidak bisa lagi berdalih mengatakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Sebab di hadapan UU Prokes semua orang kini berdiri sama tinggi nungging sama rendah. Apalagi kemudian terbukti dengan terbentuknya kluster-kluster baru Covid-19! Pesta pun akhirnya bubar dengan sendirinya.
Pesta lanjutan 212 yang menjadi simbol persatuan akhirnya menjadi sebuah hil yang mustahal pula. Bukan itu saja, kini polisi mulai melakukan proses hukum dengan memanggil orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran UU Prokes ini, termasuk HRS tentunya.
Kini suara HRS yang lantang itu tidak terdengar lagi gemanya. Konon ianya sedang sakit, dan orang sakit tidak mungkin dimintai keterangan. Polisi juga belum tahu berapa lama HRS akan sakit atau kapan suara lantangnya itu akan bergema lagi. Kabar terbaru HRS kabur dari rumah sakit lewat pintu belakang, dan tidak diketahui keberadaannya.
Tiga setengah tahun lalu juga begitu. Tiba-tiba rumah HRS ditembak orang tidak dikenal. Lalu HRS umroh ke tanah suci. Namun ia lupa pulang sampai tiga puasa tiga lebaran.
Namun kali ini HRS tidak bisa umroh lagi. Setelah kasus overstay kemarin mustahil rasanya pemerintah AS mau memberikan visa padanya. Selain itu ada pula ketentuan baru dimana umroh hanya diizinkan bagi orang dengan rentang usia 18-50 tahun saja.
Selain Arab Saudi, ada 68 negara yang melarang WNI memasuki negaranya. Â Syukur alhamdulillah China tidak termasuk di dalamnya. Di tengah pandemi dunia, negeri asing-aseng ini ternyata masih tetap ramah bagi WNI.
Nah, kalau sekiranya HRS tidak mau ribet ditanya sana-sini, tentunya China adalah pilihan terbaik. Selain negerinya adem, di sana juga banyak objek wisata. Habib juga nantinya bisa sekalian berdakwah.
Tapi takutnya nanti dicekal pemerintah zolim? Kalau perginya cepetan, pastinya tidak akan dicekal. Surat pencekalan baru akan keluar ketika foto selfie Habib di Tembok China sudah diupload di IG @Fitsa Hats...
Salam hangat, sehat selalu...
Sumber : [1] [2]Â [3]Â [4]Â [5] [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H