Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melihat Kasus Edhy Prabowo dari Berbagai Aspek

27 November 2020   19:25 Diperbarui: 27 November 2020   19:28 1684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekspor benur lobster akhirnya benar-benar memakan korban. Tidak tanggung-tanggung, korbannya ada "sekampung" termasuk "Pak Lurah dan Sek-lur (Sekretaris Lurah) dalam satu paket yang utuh.

Ini merupakan tangkapan terbesar KPK sejak era "new-normal." Ini memang tangkapan mudah tersebab benur terjebak di pantai setelah pasang surut. Jelas mudah sebab benur harus menunggu air laut pasang naik dulu agar bisa berenang kembali ke tengah laut.

Waktu berlalu musim berganti. Sekarang adalah era cashless dimana hampir semua transaksi lewat elektronik. Bahkan konon, sebagian "penyedia jasa BO" pun kini menyediakan mesin EDC (Electronic Data Capture) demi kemudahan transaksi bagi klien.

Namun tidak demikian halnya dengan transaksi pat gulipat yang justru antitesis. Transaksi seperti ini harus memakai sisitim cash and carry agar tidak terlacak oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan.

Namun entah mengapa dengan kisah benur yang terperangkap di pantai ini. Transaksinya memakai sistim transfer yang sudah barang tentu gampang terbaca oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)

Adalah lumrah kalau orang tergiur dengan barang-barang branded. Akan tetapi tentulah lebih bijak kalau sekiranya shoppingnya lewat katalog saja. Atau pihak butik yang datang ke tempat, lalu barangnya diterima dengan aman dan nyaman di rumah. Jadi ini memang benar-benar tangkapan mudah.

***

Seperti kita ketahui EP (Edhy Prabowo) bukanlah lelaki pilihan pakde. Jabatan beliau ini adalah bagian dari transaksi politik yang lazim di negeri ini. Tentunya semua itu lewat pertimbangan politik yang matang, sesuai dengan dinamika politik pada saat itu.

Penulis tertarik melihat kasus penangkapan EP ini dari beberapa dimensi/aspek. Apa saja itu? Mari kita lihat di bawah ini.

Pertama, dari sisi Pakde.

Dimana-mana kalau ada menteri terkena kasus, pastilah presidennya akan murka. Demikian juga halnya dengan Pakde yang pastinya akan kesal bin sebal. Namun kali ini Pakde pasti akan tertawa juga. Mungkin dalam hatinya beliau ini ngebatin, "Saya bilang juga apa, visi misi menteri itu tidak ada. Adanya visi misi presiden. Wong disuruh kerja kerja kerja, malah korup korup korup! Ini menterinya siapa tah?"

"Patah tumbuh hilang berganti." Analis politik kelas serius hingga kelas abal-abal kemudian memberi solusi. EP telah mengundurkan diri, gantinya om Fadli Zon saja, sama-sama dari Gerindra juga. Pertimbangan politiknya, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) itu kan jatah Gerindra, jadi wajar saja kalau kader Gerindra lainnya menggantikan posisi EP.

Kedua, Fadli Zon ini terkenal sebagai tukang nyinyir (nyinyir memang bagian dari pekerjaan parlemen) apalagi dosis nyinyir Fadli Zon itu termasuk kategori "kebangetan." Nah, netizen itu penasaran pakai banget. Kalau sekiranya Fadli Zon menjadi Menteri KKP yang baru, apakah ia akan tetap nyinyir atau berubah menjadi pendiam bin pemalu seperti bang Toyib.

Akan tetapi Pakde sepertinya tidak terpengaruh dengan rasa penasaran netizen tadi. Memangnya KKP itu tebak-tebakan? Sekali lagi, visi misi netizen itu tidak ada. Adanya visi misi presiden. Pastinya Menteri KKP baru itu adalah seorang professional yang bisa kerja, kerja, kerja. Orangnya bukan tukang nyinyir, tidak suka twitteran dan tidak punya tato pula...

Apalagi Pakde punya pengalaman tidak enak di masa lalu. Adalah seorang tukang kepret. Kepretannya itu sepertinya keren, lalu ia ditunjuk menjadi menteri. Eh, di kabinet ternyata kerjanya membuat kegaduhan karena suka meng-kepret kementerian lainnya. Ia kemudian dipanggil dan ditanyai, "Elo sebenarnya mau kerja, kerja, kerja atau mau kepret, kepret, kepret?"

Sambil tersipu malu orang itu berkata, "Om, kalau kerja kan keringatan, enaknya kepret aja deh."

Setelah resign orang itu kemudian sering mengisi acara "kepret live on" di tipi oon.

Nah kalau tukang nyinyir masuk kabinet, ntar kejadiannya sama lagi. Bukannya kerja, kerja, kerja, ia malahan nyinyir, nyinyir, nyinyir kepada semua orang termasuk kepada majikan sendiri! Buset!

Jadi, tukang kepret dan tukang nyinyir itu sama dan sebangun. Mereka ini tidak bisa dan tidak suka bekerja, itulah sebabnya mereka ini masih punya waktu untuk nyinyir dan mengkepret orang lain.

Kedua, dari sisi KPK.

Sejak KPK menjalani kehidupan new-normal setahun lalu, OTT EP ini menjadi kebanggan bagi Firli cs. OTT EP ini sekaligus menunjukkan kepada ICW, Saor Siagian, "Gejayan memanggil," dan masyarakat lainnya bahwa "KPK ora sare." Secara kuantitas memang tangkapan ini termasuk kelas teri, tapi secara kualitas ini adalah kelas kakap montok. Jadi OTT EP ini sungguh membuat KPK bahagia.

Namun warga nyinyir (termasuk Fadli Zon) dan warga tak pernah puas tetap saja mengeluh. "Harun Masiku mana Harun Masiku?" tanya mereka untuk menyebut buronan mantan komisioner KPU yang sudah setahun menghilang itu. Padahal buronan KPK itu banyak, bukan Masiku saja.

Masiku memang menjadi PR besar KPK. Seseorang itu mustahil bisa ditangkap kalau jejaknya tidak ada. EP gampang ditangkap karena ia meninggalkan banyak jejak lewat bukti transferan, Rolex, Hermes maupun LV.

Apakah KPK tebang pilih?

Biarlah pertanyaan itu tetap tinggal di benak warga saja. Namun yang jelas KPK punya banyak sekali daftar buruan yang sedang dalam proses penjebakan OTT. Bagi KPK OTT itu seperti ujian akhir sekolah. Petunjuknya jelas. Kerjakan soal mudah dulu, yang sulit belakangan agar tidak kehabisan waktu.

EP adalah soal mudah, itulah sebabnya ia cepat tertangkap. Sebaliknya Djoko Tjandra adalah soal sulit. Itulah sebabnya lama baru bisa tertangkap.

Ketiga, dari sisi Gerindra.

Edhy Prabowo adalah pilihan sang ketua pribadi, bukan pilihan terbaik Gerindra. Sekali lagi terbukti insting sang ketua jeblok! Ini bukan soal maling atau tidak, melainkan soal ketahuan atau tidak. Walaupun seorang pesilat ternyata EP ini belum menguasai ilmu "Waringin mbah kakung" yang merupakan warisan tulen dari mbah kakung penjaga pohon beringin selama puluhan tahun lalu itu.

Ilmu ini akan membuat penyergap seketika lumpuh karena energinya terserap waringin tadi. Selain itu akar dan daun pohon waringin tadi pun mampu menutupi segala jejak...

Everything happen for a reason. Ini adalah saat yang tepat bagi sang baginda untuk evaluasi semuanya. Politik dua kaki, dua wajah (depan wajah Prabowo belakang wajah Fadli Zon) jelas membuat sebal "kawan" maupun lawan. Walaupun bergabung di koalisi, namun baginda ternyata benar-benar sendiri.

"Kesendirian" itu memang benar-benar nyata. KPK tidaklah ujuk-ujuk menciduk EP. Pastinya sudah melewati proses penyelidikan panjang, termasuk urusan administrasi dari Ketua dan Dewas.

Masak kan tidak ada angin berbisik, "yang di jalan harap hati-hati, yang di hati kapan lagi kita jalan-jalan?"

Mumpung masih ada waktu empat tahun lagi, jadi ini saat yang tepat bagi baginda untuk me-refresh, reschedule dan reorganize kembali internal partai dan program kerja untuk mencapai tujuan semula. Lebih baik mundur selangkah agar bisa melompat ke depan tiga langkah.

Keempat dari sisi penulis sendiri.

OTT EP ini tentu saja bisa diperdebatkan, bukan karena kasusnya, tapi lebih kepada skala prioritasnya. Apa sebenarnya yang mau dicari KPK? Dalam pandangan penulis KPK sebaiknya bersabar sedikit agar jumlah tangkapan lebih banyak dan otomatis setoran ke negara juga lebih banyak. Jangan sampai rugi bandar, biaya operasional dan gaji KPK tidak sebanding dengan setoran ke kas negara yang sudah cekak itu.

Tapi clear kalau komisioner dan Dewas itu tidak bermain politik dalam OTT EP ini. Restu dari mereka itu semata karena tidak tahan lagi dengan nyinyiran dari kaum pembela KPK lama ala Saut Situmorang cs itu yang mengatakan kalau komisioner dan Dewas itu cuma makan tidur saja.

Lalu bagaimana dengan para penyidik KPK yang tergabung dalam Wadah Pegawai KPK itu?

Nah ini yang seru. Namanya juga tukang nyinyir dari sebelah. Ada yang mengatakan kalau OTT EP ini adalah pengalihan isu kasus Rizieq Shihab yang kini mingkem itu, hehehe... Aja-aja ada...

Ada juga yang mengatakan kalau ini adalah hukuman bagi Gerindra yang mbalelo seperti kulit yang lupa akan kacangnya eh terbalik, kacang lupa akan kulitnya.

Tapi bagi penulis ini sangat menarik. Orang bilang selama ini KPK disetir Wadah Pegawai, dan itu tampak nyata dalam periode Saut cs kemarin. Firli ini jelas tidak disukai Wadah Pegawai. Setahun terakhir ini hujatan terhadap Firli pun tidak pernah surut. Padahal pimpinan KPK itu adalah kolektif, bukan hanya Firli seorang.  Bagi penulis, friksi di tubuh internal KPK ini tetaplah menarik.

Dalam kasus OTT EP ini kedua kubu tampaknya "mutualan." Mungkin karena kepentingannya masih sejalan. Lalu bagaimana dengan kasus-kasus lainnya, misalnya pertanyaan tentang pengeluaran dana Formula-E oleh Pemprov DKI dan pengeluaran lainnya itu. Apakah kedua kubu ini akan "mutualan" juga?

Menarik untuk disimak, sebab "perbedaan pendapat internal" itu tetaplah diperlukan untuk memperluas pandangan dalam hal penyelidikan/penyidikan suatu kasus. Yang penting semuanya tetap dalam kerangka profesionalisme.

Bagi Pakde, ini menjadi momen yang pas untuk melakukan reshuffle kabinet yang tertunda beberapa waktu lalu. Pada akhirnya, semua beban berada di pundaknya juga. Orang lain yang memakan nangka, ia juga yang tetap terkena getahnya.

Dalam pandangan penulis, kabinet sekarang ini tidaklah sekeren kabinet lalu. Miskin kreativitas, tidak peka, kurang cerdas dan integritasnyapun diragukan. Komunikasi yang tidak sinkron satu sama lain menjadi salah satu kelemahan kabinet saat ini. Menteri itu seharusnya membantu, bukan malah nyusain presiden!

Bukan hanya kasus OTT EP ini saja yang menjadi acuannya, tetapi juga kasus kedatangan dan aksi-aksi Rizieq Shihab kemarin, terutama dampaknya bagi penularan Covid-19.

Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa yang mempermalukan nama Indonesia itu? Cukupkah dua Kapolda dan jajarannya itu saja? Sebab kalau orang-orang di sekitar Pakde itu kompeten, maka peristiwa seperti kemarin itu tidak akan pernah terjadi.

Konflik itu tak ubahnya seperti api. Ketika kecil tentunya mudah memadamkannya. Namun ketika sudah besar, maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menjauh darinya agar tidak ikut terbakar.

Di masa lalu, hal-hal seperti kemarin itu biasanya cukup ditangani oleh Kodim/Korem saja. Mengorbankan dua kapolda tentunya menyadarkan kita bahwa "kelalaian" itu bukan lagi di tingkat kapolri...

Salam hangat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun