Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Surat Cintaku yang Pertama

14 November 2020   15:25 Diperbarui: 14 November 2020   15:30 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat Cintaku Yang Pertama/weibo.com

Lonceng tanda pelajaran dimulai sudah berbunyi. Aku segera bergegas masuk kedalam kelas. Mataku kemudian terpaku pada sesuatu ketika hendak duduk. Ternyata di lantai, persis di bawah kursi, tergeletak sebuah amplop berwarna merah jambu. 

Dengan hati-hati aku lalu mengambilnya. Setelah duduk di kursi, aku kemudian melihat ke sekelilingku. Tampaknya memang tidak ada yang memperdulikanku. Aku lalu mencium amplop itu. Onde mande, wanginya membuatku semaput...

Dengan perlahan aku kemudian menyimpan amplop itu ke dalam laci. Pagi itu pelajaran Biologi dengan topik herbarium. Pak Sumarjono sibuk mengajar fotosintesis pada tumbuhan berdaun lebar.

Semua siswa dengan tekun memperhatikan ke depan, kecuali aku yang selalu memikirkan amplop berwarna pink tadi. Eh, ada satu anak lagi bernama Rizal yang tampaknya tidak bisa menyimak serius karena terlihat mengantuk. Mungkin tadi malam dia kebanyakan membaca "stensilan Enny Arrow."

Sesekali aku menarik amplop pink itu. Setelah yakin tidak yang memperhatikan, aku kemudian menciumnya. Astaganaga, wanginya itu benar-benar menghanyutkanku.

Setelah suasana hati dan setelan celanaku normal kembali, barulah aku bisa tenang berpikir. "Untuk ku kah surat ini? Kalau memang iya, lantas siapa yang mengirimnya?" Di belakang amplop pun tidak tertulis nama pengirimnya. Di depan amplop hanya tertulis, "to someone"

Duh Gusti, pikiranku benar-banar kacau. Tapi aku tidak boleh baper. Aku kemudian mencubit pahaku supaya bisa tetap waras. Aduh, pedih banget. Mungkin sebaiknya dielus saja ya..

Sejenak aku ragu, benarkah surat ini untukku? Ah, kebanyakan surat cinta anak SMA itu memang mirip dengan surat kaleng. Yah namanya juga secret admirer.  Tak jelas siapa sipembuat suratnya.

Mungkin ia tak kuat kalau cintanya ditolak. Apalagi kalau sampai surat itu diremas lalu diinjak-injak di depan sipembuat surat tadi. Apa kata dunia?

Biasanya surat cinta itu akan diselipkan di buku atau di dalam tas pada saat jam istrahat. Tentunya tanpa sepengetahuan sipemilik buku/tas tadi.

Aku kemudian membuka amplop itu dengan hati-hati. Ada sepucuk surat berwarna pink juga di dalamnya. Namun warnanya lebih muda, dan lebih harum pula!

Dengan nafas memburu aku mencoba membacanya. Aneh, tidak ada tulisan sama sekali. Yang ada cuma huruf i kemudian gambar hati lalu huruf u. Tapi di bawahnya ada tanda bekas lipstick berbentuk bibir. Onde mande!

Tanpa sadar aku mengelus bibirku... Seandainya bibir itu menjadi mawarnya, biarlah aku menjadi tangkainya. Rizal pecandu Enny Arrow itu menjadi durinya. Mawar dan tangkainya akan tetap melekat selamanya sepanjang masa, terlindung oleh duri tadi...

Selama pelajaran di sekolah hatiku "gegana" (gelisah galau merana) memikirkan surat tanpa nama tersebut. Hanya ketika pelajaran matematikalah aku terpaksa harus melupakan surat itu sejenak, agar terhindar dari segala kesusahan dan malapetaka!

Pelajaran matematika itu sangat rumit, tapi lebih rumit lagi wajah guru yang mengajarnya. Selain galak pak Purba itu doyan banget menjewer telinga anak muridnya.

Aku kemudian mengamati wajah semua teman sekelas. Jangan-jangan ada yang hendak berbuat "asusila" kepadaku, yaitu dengan memberikan "ujian batin" berupa "PHP," seakan-akan ada seseorang yang menyukaiku padahal sebenarnya tidak ada!

Membuat orang baper adalah salah satu perbuatan jahat yang dilaknatkan Allah SWT dan juga bertentangan dengan UUD karena jelas merupakan perbuatan asusila!

Aku menghela nafas panjang. Aku harus waspada dan berhati-hati. Jangan terlalu terpukau pada hal-hal yang "gaib" karena bisa tersesat menjadi mahluk gaib pula! Surat ini rasanya tak wajar.

Tampang dan kemampuan akademikku juga tergolong biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Aku kemudian menatap Rudy dan Boen. Jangan-jangan... Ah, kayaknya tidak mungkin mereka berbuat sekeji itu. Mereka tidak akan mungkin melakukan hal seperti itu kepadaku!

Di kelasku memang banyak jagoan penulis surat cinta yang membuat pembacanya harus "pegangan agar tidak terjatuh." Memang belum teruji di "alam nyata" karena kebanyakan masih jomlo pula, hiks.

Rizal terkenal reputasinya dengan surat-surat rayuan pulau kelapanya. Belum lagi dari kelas seberang. Kelas seberang? Yah mungkin saja dari kelas seberang atau kelas IPS yang berada di lantai bawah.

Bah, sekarang semakin banyak kemungkinan yang membuat kepalaku jadi pusing.

Pulang sekolah biasanya aku suka keluyuran dulu bersama teman-teman melewati sekolah sebelah. Di sana cewe-cewenya memang tidak secantik di sekolahku. Tapi cowo-cowonya parah abis. Jadi kalau kami nongkrong di depan sekolahan mereka, lumayan banyak cewe-cewe yang melirik. Yah, lumayanlah membuat hidup lebih bahagia. Daripada di sekolah sendiri tidak ada yang melirik, hiks.

Hari ini aku langsung pulang ke rumah karena penasaran dengan bentuk bibir tersebut. Secara kasat mata mungkin tidak terlihat. Akan tetapi aku merasa ada yang kurang wajar dari bibir tersebut menyangkut aspek dimensi dan warna. Sesampainya di rumah, aku segera membuka ensiklopedia untuk memeriksa kebenarannya.

Ya ampun memang benar dugaanku adanya. Setelah memeriksa dan mengukur dimensi bibir tersebut dengan teliti, aku menyimpulkan bibir tersebut adalah milik seorang lelaki berumuran dua-tiga puluhan. Melihat ketebalan bibir tersebut, sepertinya itu adalah milik orang ras Melanesoid/Melanesia yang penyebarannya mulai dari Maluku hingga Timor/Papua.

Aha, aku sudah mendapat gambaran siapa kira-kira orangnya. Tapi lipstick itu? Aku kemudian memeriksanya lagi dengan teliti memakai lup. Aha, Itu bukan lipstick om, tapi warna oranye dari sari biji pinang! Onde mande...

Patutlah waktu pelajaran agama tadi, pak guru sibuk terus mondar mandir melewati mejaku. Namun anehnya beliau ini selalu melihat kebawah kursiku.

Aha, aku tersenyum geli. Rumornya, guru agama kelahiran Dilli, Timor Leste ini memang naksir berat kepada Juni yang duduk persis di depan mejaku. Fixed, surat itu untuk Juni bukan untukku.

Syukurlah kalau begitu. Jadi besok pagi aku gak perlu cengengesan dan kegeeran kepada semua cewe di kelasku yang mungkin saja menjadi salah satu pengirim surat tersebut.

Aku terkejut ketika tiba-tiba pak Purba dengan suara menggelegar berdiri di sampingku, lalu menjewerku. Ya ampun, rupanya aku ketiduran pas pelajaran matematika sialan ini. Mampus aku! Eh, mana surat merah jambuku tadi?

Onde mande. Rupanya aku cuma bermimpi! Surat itu memang tak pernah berwujud. Tapi koq terasa beneran ya! Aku lalu membetulkan gesper celanaku yang suka melorot itu.

Salam sayang, hepi wikend...

Reinhard

*In memoriam Pak Xaverius Aja, guru dan sahabat terbaik yang sulit dilupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun