Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Surat Cintaku yang Pertama

14 November 2020   15:25 Diperbarui: 14 November 2020   15:30 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulang sekolah biasanya aku suka keluyuran dulu bersama teman-teman melewati sekolah sebelah. Di sana cewe-cewenya memang tidak secantik di sekolahku. Tapi cowo-cowonya parah abis. Jadi kalau kami nongkrong di depan sekolahan mereka, lumayan banyak cewe-cewe yang melirik. Yah, lumayanlah membuat hidup lebih bahagia. Daripada di sekolah sendiri tidak ada yang melirik, hiks.

Hari ini aku langsung pulang ke rumah karena penasaran dengan bentuk bibir tersebut. Secara kasat mata mungkin tidak terlihat. Akan tetapi aku merasa ada yang kurang wajar dari bibir tersebut menyangkut aspek dimensi dan warna. Sesampainya di rumah, aku segera membuka ensiklopedia untuk memeriksa kebenarannya.

Ya ampun memang benar dugaanku adanya. Setelah memeriksa dan mengukur dimensi bibir tersebut dengan teliti, aku menyimpulkan bibir tersebut adalah milik seorang lelaki berumuran dua-tiga puluhan. Melihat ketebalan bibir tersebut, sepertinya itu adalah milik orang ras Melanesoid/Melanesia yang penyebarannya mulai dari Maluku hingga Timor/Papua.

Aha, aku sudah mendapat gambaran siapa kira-kira orangnya. Tapi lipstick itu? Aku kemudian memeriksanya lagi dengan teliti memakai lup. Aha, Itu bukan lipstick om, tapi warna oranye dari sari biji pinang! Onde mande...

Patutlah waktu pelajaran agama tadi, pak guru sibuk terus mondar mandir melewati mejaku. Namun anehnya beliau ini selalu melihat kebawah kursiku.

Aha, aku tersenyum geli. Rumornya, guru agama kelahiran Dilli, Timor Leste ini memang naksir berat kepada Juni yang duduk persis di depan mejaku. Fixed, surat itu untuk Juni bukan untukku.

Syukurlah kalau begitu. Jadi besok pagi aku gak perlu cengengesan dan kegeeran kepada semua cewe di kelasku yang mungkin saja menjadi salah satu pengirim surat tersebut.

Aku terkejut ketika tiba-tiba pak Purba dengan suara menggelegar berdiri di sampingku, lalu menjewerku. Ya ampun, rupanya aku ketiduran pas pelajaran matematika sialan ini. Mampus aku! Eh, mana surat merah jambuku tadi?

Onde mande. Rupanya aku cuma bermimpi! Surat itu memang tak pernah berwujud. Tapi koq terasa beneran ya! Aku lalu membetulkan gesper celanaku yang suka melorot itu.

Salam sayang, hepi wikend...

Reinhard

*In memoriam Pak Xaverius Aja, guru dan sahabat terbaik yang sulit dilupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun